Jumat, 20 Juni 2014

Sejarah Perkembangan Kedudukan Hukum Swapraja di Pulau Madura


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hubungan politik, simbol-simbol yang diperkembang seperti “bupati” dianggap sebagai “penguasa” sesungguhnya, lengkap dengan peralatan upacara, membentuk realitasnya sendiri yang sering bertentangan dengan realitas yang bisa dilihat. Kekecewaan politik, konflik pergeseran elite-orang baru yang diangkat dan yang lama didesak pada eskapisme cultural dan pemberontakan bangsawan yang tak bisa dielakkan. Kekuasaan riil yang disembunyikan dibelakang simbol-simbol yang mempesona adalah memang salah satu factor dinamik sejarah kolonial. Dan diperlukan waktu yang cukup lama bagi pemerintah kolonial untuk secara lebih nyata memperlihatkan kekuasaan adanya kesesuaian antara simbol-simbol yang politik dengan kenyataan riilnya. Di Sumenep dan Pamekasan seperti kebanyakan daerah lainnya, dilakukan pada saat-saat meninggalnya penguasa yang lama.
Penguasa Sumenep dan Pamekasan demi “keagungan”-nya diberi gelar masing-masing “Sultan” dan “Panembahan”, seperti juga dengan penguasa sisa daerah Madura lainnya, juga bergelar “Sultan”. Mereka karena satu dan lain hal terikat dalam hubungan keluarga yang memungkinkan mereka saling bisa mengharapkan “kemenangan” dalam tiap pergantian “penguasa”. Begitulah ketika pada bulan November 1842, pemerintah Belanda mengangkat Pangeran Suryokusumo, cucu dari Panembahan Pamekasan yang baru meninggal, sebagai pengganti kakeknya timbuk ketidakpuasan dikalangan keluarga Madura dan Pamekasan sendiri. Almarhum Panembahan sebenarnya menginginkan anaknya, Pangeran Ario Cokrowinoto sebagai penggantinya. Dalam hal ini ia didukung oleh saudara-saudaranya dan terutama pamannya, yaitu Sultan Madura. Pengangkatan Pangeran Suryokusumo sebagai Panembahan Pamekasan adalah suatu kemenangan politik bagi Sumenep. Jadi sebenarnya diusahakan adanya perimbangan pengaruh dari kekuasaan antara Sultan Madura yang daerahnya luas dengan Sultan Sumenep. Tetapi untuk menjaga hal yang tidak diinginkan maka Pangeran Ario Cokrowinoto diangkat sebagai Bupati Lamongan (Arsip Nasional RI 1973: LXXVI-LXXVII dan 68-80)
Dengan begini proses mobilitas horizontal penguasa dipercepat dan keterikatan penguasa pada daerahnya diperlonggar. Dengan memperlonggar ini dirapuhkan pula ikatan tradisional antara “penguasa pribumi” dengan rakyat banyak. Kecenderungan ini bertambah kuat dengan dimulainyapula proses sirkulasi elite yang memungkinkan orang baru muncul sebagai penguasa.
Menjelang abad ke 20 “penguasa pribumi” di Jawa hanyalah tinggal sebagai istilah tanpa substansi (Schrike 1956). Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai Sumenep dan Pamekasan yang ditinjau dari berbagai segi kehidupan pada periode tertentu.

B.  Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Sumenep dan Pamekasan dibawah naungan Kompeni (1680-1800) ?
b.      Seperti apa gambaran Sumenep dan Pamekasan dalam abad ke 19 (1800-1883) ?

C. Tujuan Penulisan
1.  Tujuan umum penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas Sejarah Lokal mengenai Sejarah Perkembangan Kedudukan Hukum Swapraja di Pulau Madura.
2.      Tujuan Khusus penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang :
a. Sumenep dan Pamekasan dibawah naungan Kompeni (1680-1800)
b.Sumenep dan Pamekasan dalam abad ke 19 (1800-1883)

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sumenep dan Pamekasan dibawah naungan Kompeni (1680-1800)
1.      Sejarah perkembangan kedudukan hukum daerah Sumenep dan Pamekasan tidaklah beraneka warna benar, menjangkau kembali ke zaman yang lebih silam, tidaklah berlandaskan pada suatu hubungan yang jelas berdasarkan pada sesuatu perjanjian akan tetapi lebih banyak didasarkan atas hubungan-hubungan yang nyata, yang timbul sesudah tahun 1680 pada waktu daerah Sumenep dan Pamekasan memisahkan diri dari daerah-daerah Madura lainnya.
a.       Dalam sepucuk surat tahun 1686 dari pemerintah agung kepada Heren XVII (pimpinan kompeni di negara Belanda) diberitahukan bahwa “Bupati Sumenep… sudah bertahun-tahun tidak lagi menghirauan Pangeran Tjakra Ningrat dari Madura dan juga tidak ingin lagi terkat kepada perintah-perintah susuhunan secara langsung akan tetapi lebih cenderung pada apa yang disebut menyandarkan diri kepada kompeni “Bupati ini mengajukan permohonan” agar kompeni dalam perintah-perintahnya dan keinginan-keinginannya memahami benar daerah ini dan “pula memohon agar Aria Poelang Djeuwa diserahi kekuasaan sepenuhnya atas daerah dan rakyatnya”. Keinginan Aria ini diperkenankan oleh kompeni dalam tahun berikutnya Poelang Djeuwa diserahi “kekuasaan sementara”.
Dalam tahun 1688 kompeni merasa berhak meminta keterangan-keterangan lebih lanjut mengenai “urusan rumah tangga pemerintahan Aria Poelang Djeuwa”. Dalam tahun 1689 Gubernur Jendral dan Dewan menulis bahwa “Bupati Sumenep… mengatakan kepada kami… hanya akan menuruti perintah-perintah dari kompeni saja” dalam tahun 1692 induk ayam kompeni berkotek lagi: “Rakyat Sumenep… seluruhnya bernaung di bawah sayap kompeni”.
Ketika dalam tahun 1702 Aria Poelang Djeuwa meninggal, timbulah perselisihan soal pergantian (diharapkan) suatu perselisihan yang diharapkan disesuaikan kompeni. Kompeni tidak perlu mengkhawatirkan tuntutan-tuntutan Bupati dari daerah Madura pusat, karena Pangeran ini sudah berjanji “untuk membiarkan daerah Sumenep dan Pamekasan berada di bawah pemerintahan dan perlindungan kompeni, seperti keadaannya ketika itu.
b.      Atas perintah Gubernur Jendral dan Dewan Pertimbangan Agung maka Komisaris Kompeni, Ram menyerahkan di Semarang pada tanggal 9 April 1705, pemerintahan atas daerah Sumenep dan Pamekasan kepada cakra negara dalam akte yang diperbuat cakra negara dikukuhkan dan diakui sebagai bupati daerah-daerah Sumenep dan Pamekasan… agar ia memerintah, membimbing dan melindungi… daerah dan rakyatnya. Kepada semua pegawai kompeni diperintahkan agar mereka mengakuinya sebagai penguasa yang demikian dan tidak menghalang-halanginya dalam pelaksanaan kekuasaan yang sah.
Kemudian pada tanggal 5 Oktober diadakan perjanjian antara Susuhunan dengan Kompeni. Dalam pasal 4 perjanjian itu kompeni mengajukan persyaratan bahwa: “Paduka yang maha mulia Susuhunan dengan ini menyerahkan secara sah kepada Kompeni untuk melindungi daerah Sumenep dan Pamekasan…secara yang dilakukan oleh Bupati yang terdahulu waktu menyerahkan daerahnya kepada Kompeni… pada zaman pemerintahan susuhunan Tegalwangi dan pembangkangan Trunajaya, seterusnya penyerahan itu diakui oleh bupati-bupati yang kemudian memerintah daerah itu sampai dewasa ini masih tetap diakui oleh mereka dengan akte yang disampaikan oleh Komisaris Ram pada tanggal 5 April 1705 atasnama mendiang Bupati Raden Aria Cakra Negara penyerahan ini diperkuat kembali.
Daerah Sumenep dan Pamekasan dimasukkan ke bawah lindungan dan dijadikan milik oleh Kompeni. Walaupun hal ini tidak dapat dinyatakan dengan tegas dari perkataan-perkataan “Wettelijk Afstaat” tetapi selama 40 tahun berikutnya kata-kata itu selalu ditafsirkan sebagai kepemilikan. Selanjutnya adalah Kompeni mempunyai hak untuk mengangkat para Bupati dan daerah itu mendapat hak berpemerintahan sendiri sampai batas tertentu akan tetapi posisi takluknya sangat jelas sehingga dirasa tidak perlu untuk memperincinya dengan khusus dalam hubungan pertuanan. Pada akhir 1705 ketika Koopman Van Der Horst dikirim ke Sumenep untuk “mengukuhkan Raden Cakra Negara yang masih muda sebagai Bupati menggantian ayahnya”, diberi usaha penuh “untuk mmutus sesuatu mengenai pemerintahan Sumenep dan Pamekasan bagi kepentingan Kompeni dan daerah itu. 
2.      Dalam tahun 1728 bahwa Sumenep dan Pamekasan hanya tergantung pada Kompeni dan karena di bawah sub-ordinasinya dan pula dijadikan daerah dan rakyat kompeni, dalam tahun 1729 daerah itu dianggap “hanya terhitung sebagai daerah kompeni saja”. Begitu pula dalam tahun 1731, dalam tahun 1734 dan 1736 Gubernur Jendral dan Dewan Hindia menyebut-nyebut Bupati Sumenep dan Pamekasan yang sudah takluk dalam tahun 1741 mereka masih terhitung daerah-daerah kompeni, sedangan perintah dalam tahun yang sama kepada Veryssel dituangkan dalam bahasa yang tidak memungkinkan suatu keraguan.
3.      Pada tanggal 28 April 1746 Bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan “Dikukuhkan kembali” dengan dua buah akta yang sama bunyinya, akta-akta itu jauh lebih mirip dengan akta-akta yang mengukuhkan bupati-bupati Surabaya daripada akta yang bupati Madura diharuskan bersumpah atasnya.
Seterusnya, seperti dalam pasal 17 dalam “Conditien” bupati Madura tidak disebutkan adanya bantuan senjata dan tidak perlu mencantumkan larangan surat menyurat atau kirim mengirim hantaran dari dan ke pulau Jawa. Pula dirasa tidak perlu secara khusus melarang melakukan pelayaran tanpa izin kompeni, berbeda dengan pasal 12 “Conditien” Bupati Madura yang memang melarang melakukan pelayaran sedemikian. Selanjutnya kekuasaan bupati Sumenep dan Pamekasan di bidang kehakiman tidak sebesar kekuasaan bupati Surabaya dan lebih besar daripada kekuasaan bupati Madura. Menurut mereka pasal 6 hanya berwenang mengadili perkara kecil, sedangkan bupati Madura hanya menyerahkan wewenangnya di bidang perkara pidana saja yang selanjutnya dialihkan kepada wewenang suatu badan pengadilan campuran (pasal 20 dan 21).
Selanjutnya ketaklukan para Bupati daerah Surabaya secara menyeluruh kepada “yang dipertuan” mereka ternyata pula dari ketentuan, bahwa “dalam keadaan luar biasa, yang tidak disebut dalam akta ini secara khusus, mereka akan bertindak menurut peretujuan Kompeni dan akan menaati perintah-perintah Kompeni dalam hal ini dengan jujur dan tekun” (pasal 10), tidak pula kurang tegasnya bunyi pasal 1 akta-akta mereka itu, yang memerintahkan bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan untuk tegun dan setia dalam pengabdian kepada kompeni dan bersama-sama dengan rakyatnya menjalankan kewajiban-kewajiban sebaik-baiknya, pula dengan segala ketelitian, ketaatan dan ketekunan menjalankan semua perintah yang disampaikan kepada mereka secara berkala oleh pembesar-pembesar kompeni.
Bupati Sumenep dan Pamekasan yang dimaksud adalah penguasa dan dewanya di Jawa Timur dan Pang Lima, di Pasuruan, kebalikannya bupati Madura berada langsung di bawah kemendur Semarang yang kemudian diganti denan Gubernur.
Begitu pula dihapuskan perintah, seperti yang tercantum dalam surat pengukuhan Bupati Sumenep dan Pamekasan tanggal 9 April 1705 agar pegawai kompeni tidak menghalang-halangi bupati itu dalam menjalankan kekuasaan yang sah ternyata bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan tidak dilantik sendiri oleh Van Imhoff seperti yang dilakukannya terhadap bupati Madura.
Jadi titik tolak hubungan antara bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan di satu pihak dan kompeni dipihak lainnya jauh berbeda dari titik tolak asal mula perkembangan kedudukan hokum kabupaten Madura, akta-akta berikutnya sama nada dan iramanya dengan “Conditien en Voorwaarden” terhadap daerah Surabaya dan akta persekutuan yang kemudian diperbuat terhadap bupati-bupati di pesisir utara Jawa Timur.
Mengenai Pamekasan diketahui data-data berikut: surat perjanjian 30 April 1751 yang hampir sama isinya dengan kontrak tanggal 28 April 1746, kemudian sebuah akta tanggal 1 Juli 1763 yang tidak memuat suatu yang khusus kecuali suatu perjanjian mengenai penyerahan barang daganan, akhirnya sebuah akta tanggal 22 Oktober 1772 yang sebagian besar materinya serupa dengan akta-akta tahun 1746 dan 1751.
Data-data mengenai Sumenep lebih kurang lagi dalam tahun 1751 dan 1762 bertrut-turut dua orang bupati baru memangku jabatannya, diketahui hanya mengenai bupati yang pertama terdapat suatu kontrak, yakni yang bertanggal 30 April 1751 yang sama bunyinya dengan kontrak Pamekasan bertanggalkan yang sama, akta tanggal 1 Juli 1763 disusun secaa sama dengan akta bupati Pamekasan pada tanggal yang sama pula kemudian sebuah kontrak tambahan tahun 1784 yang tidak memuat sesuatu yang luar biasa dan dalam tahun-tahun 1786, 1788, 1789, 1790 da 1793 diadakan perjanjian mengenai prajurit-prajurit, akan tetapi semuanya ini tidak memberikan gambaran lebih jelas mengeni kedudukan hokum para bupati Sumenep.
Selanjutnya bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan, berbeda dengan bupati Madura tidak langsung dibawahi Paduka tuan-tuan Kompeni dan sang Gubernur di Semarang, begitula bunyi surat seorang Gezaghebber di daerah ujung Jawa Timur dalam surat serah terimanya kepada penggantinya begitu pula Gezaghebber ini tidak perlu menunjukkan kepada sesuatu akta perjanjian kalau ia memperbincangkan kedudukan hukum bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan seperti dilakukannya pada waktu ia menguraikan kedudukan bupati Madura.
Kalaupun mereka dalam surat-surat resmi disebut secara terpisah bersama dengan bupati Madura maka itu tidak disebabkan karena kedudukan mereka bertiga dalam pemerintahan adaah sama tinggi, tetapi hal ini adalah semata-mata karena posisi mereka yang terpencil di sebuah pulau.

B.     Sumenep dan Pamekasan dalam abad ke 19 (1800-1883)
Tahun-tahun pertama abad 19 masih belum membawa perubahan terhadap Sumenep dan Pamekasan. Akta pengangkatan Bupati Pamekasan pada tanggal 19 September 1804 sama bunyinya dengan surat pengangkatan Bupati Surabaya 11 tahun sebelumnya. Surat pengangkatan itu disampakan ke Pamekasan tanggal 10 November 1804 sesuda Bupati menandatangani sebuah “contract of acte van verband” (kontak atau akta ikatan politik) bertanggalkan hari yang sama, delapan buah pasalnya mempunyai isi yang sama dengan delapan buah pasal surat ikatan politik tanggal 22 Oktober 1772, empat buah pasal lainnya mengenai kedudukan swaprajanya tidaklah begitu penting, akta ikatan politik terhadap Bupati Sumenep tanggal 18 Mei 1805 mengikuti jalannya surat-surat ikatan politik Kompeni yang biasa terutama jejak-jejak kontrak Pamekasan tahun 1804.
Daendles tidak membawa perubahan-perubahan walaupun kontrak-kontra politik dengan para Bupati di Jawa dihapuskan, ternyata ketentuan ini tidak dijalankan terhadap Sumenep dan Pamekasan. Sampai abad 19 Bupati-Bupatina selalu menandatangani perjanjian politik . akan tetapi surat ketetapan tanggal 1 September 1808 yang tidak berlaku terhadap kabupaten Madura sendiri membuat Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan jadi pegawai Sri Baginda Raja Belanda (Pasal 7) menganggap mereka terikat pada gelar dan kedudukan yang disebut dalam Pasal 8, berbeda dengan Bupati Madura yang ketika itu sudah dianugerahi kenaikan gelar sedangkan Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan tidak menikmati kehormatan ini setelah ketetapan itu (berbeda pula dengan ketentuan terhadap Madura) memuat pasal yang menetapkan “jumlah pelayan-pelayan dan pengiring rumah tangga Bupati” (pasal 54) dan juga mengangkat Bupati Pamekasan jadi anggota Pengadilan Negeri di Surabaya (Pasal 65). Ketetapan tersebut mensejajarkan kabupaten-kabupaten Sumenep dan Pamekasan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Jawa.
Perlakuan peraturan pajak tanah Raffles menjalankan pula sistem Bupati sebagai Pegawai Negeri. Daerah raja-raja Jawa Tengah (Vorstenlanden, Surakarta dan Yogyakarta), Priangan dan seluruh Madura bebas dari pajak tanah ini dan bebas pula dari sistem Bupati sebagai pegawai negeri.
Raffles tidak saja membiarkan Sumenep dan Pamekasan dengan ”status Swapraja” malahan Bupati Pamekasan dianugerahi pula kenaikan gelar yang di sahkan oleh Komisaris Jenderal dengan keptusan tanggal 7 Januari 1820
Reglement voor de Regenten (Peraturan mengenai para Bupati) dalam lembaran negara tahun 1820 No.22 tidak dapat diterapkan terhadap kedudukan para Bupati Sumenep dan Pamekasan berdasarkan alasan-alasan yang sama yang telah diuraikan mengenai Madura.
Keputusan tangga 29 November 1825 No. 1 Menaikkan derajat Bupati Sumenep menjadi Sultan. Keputusan tanggal 27 Juli 1829 No.22 menjadi Bupati Pamekasan Panembahan daerahnya.
Keputusan tanggal 6 November 1829 La D D menentukan bahwa peraturan yang dimuat dalam keputusan tanggal 13 November 1829 No. 13 mengenai “hak raja-raja bumiputera untuk diadili didepan Pengadilan Tinggi” tidak berlaku “terhadap raja-raja di Jawa maupun di Pulau Madura” dari sini ternyata bahwa Bupati-Bpati Sumenep dan Pamekasan sudah dianggap sebagai raja-raja dengan siapa Gubernemen Belanda mengadakan perjanjian-perjanjian politik.
Tahun 1817 kontrak dengan Sumenep mengenai pengerahan prajurit-prajurit sudah dinamakan “overeenkomsten” (persetujuan) sedangkan tahun 1838 kontrak ini menyangkut penyerahan perahu-perahu berawak yang dipersenjatai, maka dalam tahun 1831 Residen Surabaya sudah membuat suatu persetujuan dengan Panembahan Pamekasan yang berjanji untuk membangun pasukan Barisan di daerahnya.
Dengan keputusan tanggal 7 Oktober 1833 No.2 kepada Bupati Sumenep diserahkan hak cukai tertentu , suatu hak yang tidak pernah dimiliki oleh Bupati-bupati di Jawa. Kemudian ternyata jelas sekali dari pemberitaan Massink mengenai upacara-upacara kehormatan raja-raja yang diperlakukan terhadap Bupati-bupati Madura. Bupati-bupati berswapraja di daerah-daerah kompeni atau Gubernemen (daerah-daerah yang dibawahi langsung oleh VOC atau pemerintah Hindia Belanda) yakni Sumenep dan Pamekasan itu didudukkan sama sederajat dengan Sultan Madura terutama Raffles yang bersusah payah benar dalam hal ini. Menurut ukuran Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) mereka itu tetap merupakan raja-raja kecil saja dan dalam pandangan pemerintah kedudukan tersebut dikarenakan factor-faktor yang kebetulan belaka.
Fakta-fakta ini ditinjau secara obyektif oleh pemerintah sewaktu Menteri Jajahan merenanakan memberitahu kepada raja-raja Madura bahwa mereka seterusnya akan dipandang sebagai raja-raja yang merdeka dibawah lindungan langsung Gubernemen. Tetapi pandangan pemerintah ini tetap tidak seobyektif itu. Consideratien dari Baud, dalam tahun 1837 menyediakan bahan-bahan yang dapat merubah pandangan obyektif. Berupa dalil bahwa Pangeran-pangeran Madura beberapa tahun yang lalu adalah Bupati-Bupatiyang memiliki sejumlah hak-hak kedaulatan sebanyak yang telah ditentukan oleh Gubernemen. Namun Baud masih memiliki pandangan yang realistis ketika ia menasehatkan agar pangeran-pangeran itu dipertahankan dengan tanah gugahan mereka dan agar kesepakatan-kesepakatan baru dengan mereka itu berpangkal pada sebuah prinsip yang tidak menyulitkan penyelenggarakan kekuasaan administrative mereka.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, keputusan tanggal 11 April 1838 La V merupakan landasan bagi pendapat yang dimaksud. Ternyata Residen Valck dalam suratnya tanggal 8 Desember 1838 No. 863/6 telah mengutarakan pendapat yang sejenis, ketika ia menasehatkan agar anah gugahan Pamekasan dalam kontrak apapun sebearnya tidak pernah disinggung “tanah gugahan” itu dianggap bubar saja dan mengangkat penggantinya sebagai Bupati dengan gaji tetap. Dalam surat Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda tanggal 20 Februari 1839 La Q Van Hogendrop mengoper pandangan Valck mengenai hubungan gugahan ini, dalam surat itu disebut Pamekasan sebagai daerah gugahan atau kerajaan kecil dan menyebut Panembahan sebagai leenvorst. Akan tetapi ia tidak mau meihat gugahan itu dibatalkan.
Nota yang dilampirkan pada surat Kabinet tanggal 20 Maret 1839 No.69 Rahasia kepada Residen Surabaya menyamaratakan ketiga kabupaten Madura itu dalam perkembangan sejarahnya mengenai hubungan gugahan itu dan mencerminkan pendapat tentang cara pengimplementasikannya sebagai pertokohan takhlukan. Surat resmi Kabinet tanggal 26 Mei 1839 No. 98 Rahasia bermaksud membujuk Panembahan agar bersedia menggugurkan haknya atas kebesarannya sebagai Bupati sekarang ini dengan imabalan ganti rugi tertentu dengan maksud merubah kedudukannya menjadi seperti kedudukannya Bupati-bupati lainnya di Jawa yang lebih mudah dijelaskan ketergantungannya kepada Gubernemen melalui perubahan-perubahan tertentu dalam kontrak atau denan cara lain.  Akan tetapi Residen Surabaya menyatakan dalam suratnya tanggal 7 November 1839 No.68/8 bahwa Bupati-Bupati sekali-kali tidak meragukan membawahnya mereka pada Kompeni. Jadi ia tidak ingin mempersoalkan masalah menyurutkan kedudukan Panembahan itu menjadi Bupati seperti di Jawa dan ingin mengundurkan persoalannya sampai Panembahan itu meninggal. Sementara itu ia merencanakan persyaratan-persyaratan yang harus diterima oleh calon pengganti. Dewan Hindia dan Pemerintah menyetujui gagasan ini. Suatu masa tentang berlangsungnya selama dua tahun.
Dalam tahun 1842 Panembahan meninggal, dalam suratnya tanggal 23 Mei 1842 No. 279/6 Residen Surabaya menyampaikan rencana persyaratannya kepada Pemerintah akan tetapi membela dipertahankannya hubungan seperti sekarang ini. Sesudah itu menyusul pertimbangan Dewan Hindia tanggal 11 Juni 1842 La. V3 yang menyatakan bahwa istilah-istilah “Dipertuan Lanskap” dan “Raja Gugahan” yang masing-masing terdapat dalam pasal 2 dan 5 rencana persyaratan itu seharusnya diganti dengan “Dipertuan Daerah” dan “Bupati”, pula dalam penutup rencana itu perkataan “Pelakat Ikatan Politik” diganti dengan “Persyaratan”. Selanjutnya bunyi surat resmi Sekretaris Hindia Belanda tanggal 5 Agustus 1842 La M1, akta ini dimaksudkan oleh Gubernemen untuk untuk ditandatangani bukan sebagai kontrak tetapi sebagai perjanjian yang dibuat dalam tahun 1804. Pengukuhanpun hanya akan dilakukan sesudah dokumen itu ditandatangani. Keputusan bulan November 1824 La H2 berisi surat pengangkatan Pangeran Suriokusumo jadi Bupati Pamekasan dengan syarat-syarat bahwa ia sebelum menjalankan jabatan harus menandatanganinya dan diambil sumpahnya. Jelaslah bahwa persyaratan itu tidak memuat sesuatu yang bekaitan dengan hubungan gugahan, tetapi persyaratan-persyaratan tersebut memberikan cukup banyak alasan untuk menyimpulkan bahwa sebenarnya daerah Pamekasan tetap merupakan suatu Swapraja. Syarat-syarat itu adalah :
1.      Hak akan junjungan duli (Pasal 2)
2.      Hak peradilan adat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa kecil (Pasal 7)
3.      Larangan untuk mengadakan hubungan luar negeri (Pasal 10)
4.      Kewajiban untuk menyerahkan penyelesaian sengketa dengan Sumenep dan Madura kepada Pertimbangan dan keputusan Gubernemen (Pasal 11)
5.      Perjanjian menyerahkan prajurit (Pasal 15)
Cara-cara penandatanganan kontrak dengan buln November 1804, kontrak 21 Desember 1842 dan kontrak yang disetujui  dengan Madura anggal 9 Oktober 1847 sebenarnya tidak terdapat suatu perbedaan yang nyata antara cara-cara itu. Jadi surat resmi Sekretaris Hindia tanggal 5 Agustus 1842 La M1 yang begitu menekankan pentingnya tata cara penandatanganan naskah, hal itu sebenarnya merupakan suatu formalitas yang sangat berlebih-lebihan. Akan tetapi formalitas bersifat liat: masih dalam tahun 1847 sebuah nota Sekretariat Negara menekankn lagi pentingnya kejadian bahwa kontrak dengan Pamekasan yang terakhir tidak diratifikasi. Dalam tahun yang sama Residen Surabaya kebetulan menulis sesuatu mengenai Sumenep dalam suratnya tanggal 24 Pebruari 1847, rupanya ia memperkirakan bahwa Bupati daerah ini akan segera meninggal lalu disusunnya syarat-syarat pengangkatan baru yang sama bunyinya dengan yang disiapkannya untuk Bupati Madura. Mengherankan juga bahwa pasal 1 rencana persyaratan itu ditambah dengan perkataan gagahan, tambahan ini didasarkan atas dalil bahwa dalam pasal 1 dari kontrak pada bulan Mei 1805 Bupati berjanji akan setia dan taat sebagaimana yang dapat diharapkan dari seorang rakyat atau pegawai akan tetapi suatu peningkatan pangkat merubah kedudukannya terhadap pemerintah menjadi sama dengan hubungannya Sultan Madura terhadap Gubernemen.
Persoalan ini sementara didiamkan saja. Hanya sebuah Nota Sekretariat saja yang tidak mengijinkan kenyataan swapraja itu ditetapkan secara hukum. Dalam hal ini Sekretaris mendalihkan pendirian itu diatas sejarah. Bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan tidak pernah merupakan raja-raja gugahan, kedudukan mereka condong kepada kedudukan Bupati-Bupati di Jawa. Mereka adalah pemimpin yang diangkat dengan syarat yang lebih menguntungkan dalam hal gelar, pendapatan dan derajat disbanding dengan para Bupati di Jawa yang dahulunya adalah penguasa-penguasa berpengaruh, akan tetapi lambat laun merosot derajatnya seperti keadaan mereka sekarang. Keputusan Daendels tanggal 1 September 1808 masih berlaku terhadap mereka,baru sesudah itu Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan itu menanjak dalam derajat dan kekuasaan yang hampir menyerupai kedudukan seorang raja. Pemerintah menginginkan mereka diturunkan kedudukannya kembali sebagai Bupati biasa. Jadi suatu penokohan raja-raja gugahan dalam kontrak yang mungkin akan diperbuat nanti tidak perlu dimuat.
Jadi Pemerintah dan Residen sependapat menjadikan hubungan gugahan sebagai faktor yang secara formal menentukan status swapraja., akan tetapi mereka berbeda pendapat, kalau sudah sampai pada tahap memperbincangkan soal apakah Pemerintah dalam kontrak yang akan dibuat itu akan berpegang pada kenyataan-kenyataan yang ada ketika itu ataupun akan memenuhi keinginan-keinginan saja.
Pemerintah menghendaki dalam keputusan tanggal 10 Januari 1848 La. L yang belum disahkan, dalam keputusan ini dipertimbangkan bahwa dirasa perlu mengembalikan kedudukan Bupati-Bpati Sumenep pada yang ditempatinya semula dalam kontrak-kontrak tahun 1746. Terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan semula yang mungkin lambat laun menimbulkan harapan-harapan untuk merdeka yang tidak selaras dengan kedudukannya dan berlawanan dengan hak-hak Gubernemen sebagai Daulat dan pula terlepas dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Gubernemen mempunyai hak sepenuhnya menyodorkan kepada pengganti Bupati yang memerintah, persyaratan-persyaratan yang dianggap oleh Pemerintah merupakan kepentingan-kepentingannya.
Dengan alasan ini maka Residen diberi kuasa untuk mengadakan perundingan buat sebuah kontrak yang mengandung persyaratan, bila Bupati itu meninggal dan akan diangkat seorang pengganti, dasar dari persyaratan-persyaratan itu dapat ditemukan dalam rencana persyaratan yang dilampirkan pada keputusan itu. Dalam tahun 1854 terjadilah apa yang sudah diharapkan sejak tahun 1847, Bupati Sumenep meninggal. Disatu pihak pertimbangan Dewan tanggal 21 April 1854 No. L111 mengakui bahwa daerah Sumenep adalah sebuah daerah gugahan, akan tetapi dipihak lain surat resmi Sekretaris Hindia tanggal 2 Mei 1854 No. 852 memerintahkan pengajuan usul-usul yang senada dengan kecenderungan dalam “Memorie ontren den Vroegeren en tegenwoordigen toestand van Madoera” yang ditulis Brest van Kempen 1852.
Laporan “Memori mengenai keadaan Madura dahulu dan sekarang” ini menunjukkan bagaimana berbedanya pangkal tolak mulainya perkembangan hukum di Madura dengan asal-usul hukum di Sumenep dan Pameksan yakni : dalam hal pertama hubungan gugahan yang jadi dasar perkembangan itu sedangkan dalam hal kedua yang dipersoalkan hanyalah semata-mata kedudukan Kepala-Kepala di daerah-daerah Kompeni. Selanjutnya diingatkan kembali oleh Brest, bagaimana tidak memuaskannya peningkatan Sumenep dan Pamekasan jadi daerah swapraja di abad ke 19. Sebagai penutup ditekankannya keperluan untuk mengembalikan kedudukan Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan kepada landasan lama seperti Bupati-Bupati lainnya di Pulau Jawa.
Surat resmi Sekretaris Negara Hindia Belanda itu mengesankan sekali bagi Residen Surabaya sehingga ia mengajukan usul sebuah pertimbangan Dewan Hindia Belanda tangal 19 September 1854 No. VIII menyetujui usul Residen tersebut, tetapi berpendapat bahwa Bupati-Bupati yang baru lima bulan mengepalai daerah gugahan  itu tidak pernah berstatus “leenroerige vorsten of leenmannen” sehingga tidak ada keberatanuntuk membiarkan daerah itu dalam keadaan semula. Ditetapkanlah dengan keputusan tanggal 4 Oktober 1854 La P1, Bupati baru dengan gelar Panembahan sesuatunya dengan persyaratan yang selain dari ketentuan mengenai kedudukan gugahan hampir serupa bunyinya dengan syarat-syarat yang diterima Bupati Madura atas sumpah dalam tahun 1847.
Kedudukan swapraja di Pamekasan dan Sumenep tetap dipertahankan. Dalam tahun 1854 juga yang membawa ketetapan berlangsung seharusnya swapraja di Sumenep, rencana-rencana untuk menghapuskan swapraja Pamekasan malah kian jelas bentuknya. Kalau memori Brest telah mengisyaratkan suatu penyurutan kembali kedudukan swapraja. Suatu “Penelitian Sejarah” mengenai soal sejauh manakah Gubernemen dapat dianggap berhak untuk mengoper Pemerinahan Kabupaten Pamekasan secara langsung dengan penarikan kembali ketentan mengenai pemerintahan daerah gugahan disitu. Hal ini didasarkan atas dalih bahwa kontrak tanggal 21 Desember 1842 seolah-olah menempatkan Bupati Pamekasan itu dalam suatu kedudukan yang sama dasarnya dengan kedudukan seorang Bupati di Jawa, alaupun ia memerintah daerahnya menurut ketentuan-ketentuan yang berbeda yang memberinya lebih banyak keleluasaan dalam menjalankan kekuasaanya.
Perkataan yang terakhir tentu saja tidak benar sama sekali, sebuah kontrak bukanlah seuah perintah dan istilah lebih leluasa menjalankan kekuasannya itu sebenarnya berarti “Swapraja” ( Pemerinahan Sendiri). Nota yang disebut ini disusul oleh pertimbangan Dewan tanggal 10 Februari 1854 No. XXXVIII. Pertimbangan mana menelorkan keputusan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist yang tanpa ragu-ragu mengakui hak Gubernemen untuk melaksanakan pemerintahan secara langsung didaerah itu. Menteri jajahan Pahud sepakat dengan ini. Sementara itu keputusan tanggal 25 Maret 1854 No. 11 memerintahkan diadakan kembali suatu penelitian lagi, dari hasil penelitian baru inilah bergantung tindakan yang akan diambil : “apakah akan diserahkan lagi kabupaten Pamekasan sebagai suatu gugahan walaupun dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan atau menempatkan daerah itu pada kedudukan yang serupa dengan Kabupaten-kabupten lainnya di Jawa?”
Lagi-lagi kelihatan dengan jelas disini, keinginan untuk menentukan status swapraja dengan cirri hubungan gugahan. Hal yang lebih jelas lagi dari laporan Brest van Kempen tanggal 30 November 1854 No. 72/Rahasia mengenai pertimbangan Residen Surabaya yang ingin melihat Pamekasan sekali lagi diserahkan sebagai gugahan walaupun dengan syarat-syarat yang disesuaikan. Akan tetapi pemerintah tidak mau tahu dengan usul ini dan kemudian dalam surat resmi Sekretaris Gubernemen tanggal 31 Januari 1856 La. R menyatakan niatnya untuk memperlakukan suatu peraturan mengenai pemerintahan Pamongpraja atas dasar sistem kabpaten di Jawa atau secara yang dianggap efisien.
Alternative terakhir sesudah dilepas, ketika diterima surat Menteri Jajahan tanggal 8 Maret 1856 La. A/136/K yang memuat laporan Menteri kepada Raja Belanda tanggal 7 Maret 1856 A/133. Dari laporan itu ternyata Pemerintah Agung ingin memisahkan Madura dari Karisidenan Surabaya dan menempatkan Pulau itu dibawah kuasa suatu Komisaris yang diberi kuasa secukupnya untuk ditgasi dengan kewajiban meneliti persiapan pelaksanaan Pemerintahan secara langsung di Pulau itu. Surat Menteri jajahan itu memerintahkan pengangkatan seorang Komisaris tersebut yang akan diberi kekuasaan seperti seorang Residen.
Dalam suratnya tanggal 18 September 1856 La. Y, Residen Surabaya secara resmi mengajukan suatu usul pelaksanaan pemisahan pulau Madura. Sesudah itu sebuah pertimbangan Dewan Hindia tanggal 31 Maret 1857berani mengemukakan usul untuk tidak memulihkan kembali pemerintahan Adat di Kabupaten Pamekasan seperti yang berlaku didaerah itu sampai tahun 1854 dan menganjurkan pengangkatan seorang Residen di Madura. Dengan ketentuan Lembaran Negara tahun 1857 No. 144 dingkatlah seorang Residen dan akhirnya Lembaran Negara tahun 1858 No. 54 menghapuskan swapraja Pamekasan. Daerah Sumenep dan Pamekasan akan hidup seperempat abad lebih lama dari saudara kembarnya Pamekasan. Surat Pemerintah yang ditetapkan dengan keputusan tanggal 23 Februari 1864 La. K memohon kuasa dari Menteri Jajahan untuk diperbolehkan memasukkan daerah Sumenep dalam tata pemerintahan langsung kalau Panembahannya meninggal ataupun diijinkan membuat persetujuan selaras dengan kontrak yang dibuat tahun yang lalu dengan Bupati Madura. Kuasa yang dimintakan itu diberikan dengan resmi Menteri Jajahan tanggal 7 Sepetember 1864 La. A az/150/0. Keputusan tanggal 30 November 1876 No. 139 A/Sangat Rahasia mempersilakan Residen Madura mengajukan usul-usulnya untuk memasukkan Sumenep langsung dibawah pemerintahan Gubernemen, akan tetapi dengan syarat bahwa harus ditunggu dahulu meninggalnya Panembahan yang memerintah, syarat ini pada tanggal 26 Mei 1879 dapatlah dipenuhi. Pertimbangan Dewan tanggal 19 Agustus 1881 menyebut-nyebut bahwa kekuasaan untuk dan perlunya memasukkan daerah itu kedalam pemerintahan langsung…sudah putus. Sehubungan dnegan keputusan tanggal 23 Oktober 1881 No. Rahasia menyebut lebih lanjut perihal “penghapusan” swapraja dan memasukkan daerah Sumenep dalam pemerintahan langsung. Akhirnya dengan Lembaran Negara tahun 1883 No. 241 terwujud juag penghapusan Swapraja ini. 
    
           


BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Tahun-tahun pertama abad ke-19 masih belum membawa perubahan apa-apa terhadap Sumenep dan Pamekasan: akta pengangkatan bupati Pamekasan tertanggal 19 september 1804 seluruhnya sama bunyinya dengan surat pengangkatan Bupati Surabaya 11 tahun sebelumnya. Didalam bab ini dijelaskan Daendles tidak membawa perubahan-perubahan, walaupun kontrak-kontrak politik dengan para Bupati di Jawa telah dihapuskan, ternyata ketentuan ini tidak dijalankan terhadap Sumenep dan Pamekasan, sampai jaug dalam abad ke-19. Bupati-Bupatinya selalu menandatangani perjanjian politik.
Dengan memperlakukan peraturan pajak tanah Raffles menjalankan pula system Bupati sebagai pegawai negri. Daerah-daerah raja-raja Jawa Tengah, Priangan dan seluruh Madura bebas dari pajak tanah ini dan bebas pula dari system Bupati sebagai pegawai negri.
Raffles tidak saja membiarkan Sumenep dan Pamekasan dengan “status swapraja” malahan Bupati Pamekasan di anugrahinya pula kenaikan gelar, yang di sahkan oleh Komisaris Jenderal dengan keputusan tanggal 7 januari 1820, keputusan tanggal 29 november 1825 no.1 menaikkan derajat Bupati Sumenep jadi Sultan, keputusan tanggal 27 juli 1829 no. 22 menjadi Bupati Pamekasan Panembahan daerahnya. Kemudian ternyata jelas sekali dari pemberitaan Massink mengenai upacara kehormatan raja-raja yang diperlukan terhadap Bupati-Bupati berswapraja di daerah-daerah Kompeni atau Gubernemen(daerah-daerah yang dibawahi langsung oleh V.O.C atau pemerintah Hindia Belanda, yakni Sumenep dan Pamekasan itu didudukkan sama sederajat dengan Sultan Madura
Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan tidak pernah merupakan raja-raja gugahan, kedudukan mereka condong yang diangkat, dengan syarat yang lebih menguntungkan dalam hal gelar, pendapatan dan derajat, di banding dengan bupati di Jawa, yang dulunya adalah juga penguasa-penguasa yang berpengaruh, akan tetapi lambat laun merosot derajatnya seperti keadaan mereka sekarang. Keputusan Daendels tanggal 1 september 1808 masih berlaku terhadap mereka, baru sesudah itu Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan itu menanjak dalam “derajat dan kekuasaan yang hamper menyerupai kedudukan seorang raja, pemerintah menginginkan mereka itu diturunkannya kembali sebagai Bupati biasa.
Sementara itu Keputusan tanggal 25 Maret 1854 No. 11 memerintahkan diadakan kembali siatu penelitian lagi, dari gasil penelitian baru inilah bergantung tindakan yang akan di ambil, apakah akan diserahkan lagi Kabupaten Pamekasan sebagai suatu gugahan, walaupun dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan, atau menempatkan daerah itu pada kedudukan yang serupa dengan Kabupaten-Kabupaten lain di Jawa. Di sini kelihatan dengan jelas, keinginan untuk menentukan status swapraja dengan ciri hubungan gugahan.
Tidak saja secara ekonomis menguntungkan kompeni untuk mempertahankan Bupati-Bupati itu sebagai penguasa berswapraja, tetapi hal itu secara psikologis dapat juga diteranfkan sebagai berikut: hal itu disebabkan selain oleh teori Hukum Alam Eropa modern, terutama sekali oleh praktek Hukum Tata Negeri Belanda kuno, yang menyebabkan pula Gubernur Jenderal Mossel mengulangi kata-kata Tuan Tanah Casteleyn dari Depok yang masyur itu ditahun 1754 sebagai berikut: “ Sudah ternyata, bahwa manusia itu tidak dapat hidup bersama secara rukun, tanpa adanya suatu pemerintahan atau penguasa seperti di tanah air kita atau yang di lakukan di seluruh dunia: sampai perkampungan kecil pun, pemerintah itu harus ada, berasal dari perlembagaan dan peraturan yang diakuinya atau sejak dahulu disetujui bersama karena kebiasaan atau karena ditetapkan ataupun diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi.
Pengertian tentang Negara birokrasi, dengan pemerintahan yang sentralis barulah timbul dan mulai dilaksanakan dalam abad ke-19. Daendels tidaklah membawa perubahan-perubahan dalam tatanan pemerintahan para Bupati, sebaliknya Raffles mengadakan perombakan besar-besaran. Susunan pemerintahan di Yogyakarta dan Surakarta dan Madura di biarkan dalam keadaanya yang tak di rubah. Sumenep dan Pamekasan memperoleh kehendaknya yakni: swapraja.

DAFTAR PUSTAKA


Sumber Buku :
Abdullah Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia, Kumpulan Tulisan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press




Tidak ada komentar:

Posting Komentar