BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
hubungan politik, simbol-simbol yang diperkembang seperti “bupati” dianggap
sebagai “penguasa” sesungguhnya, lengkap dengan peralatan upacara, membentuk
realitasnya sendiri yang sering bertentangan dengan realitas yang bisa dilihat.
Kekecewaan politik, konflik pergeseran elite-orang baru yang diangkat dan yang
lama didesak pada eskapisme cultural dan pemberontakan bangsawan yang tak bisa
dielakkan. Kekuasaan riil yang disembunyikan dibelakang simbol-simbol yang
mempesona adalah memang salah satu factor dinamik sejarah kolonial. Dan
diperlukan waktu yang cukup lama bagi pemerintah kolonial untuk secara lebih
nyata memperlihatkan kekuasaan adanya kesesuaian antara simbol-simbol yang
politik dengan kenyataan riilnya. Di Sumenep dan Pamekasan seperti kebanyakan
daerah lainnya, dilakukan pada saat-saat meninggalnya penguasa yang lama.
Penguasa
Sumenep dan Pamekasan demi “keagungan”-nya diberi gelar masing-masing “Sultan”
dan “Panembahan”, seperti juga dengan penguasa sisa daerah Madura lainnya, juga
bergelar “Sultan”. Mereka karena satu dan lain hal terikat dalam hubungan
keluarga yang memungkinkan mereka saling bisa mengharapkan “kemenangan” dalam
tiap pergantian “penguasa”. Begitulah ketika pada bulan November 1842,
pemerintah Belanda mengangkat Pangeran Suryokusumo, cucu dari Panembahan
Pamekasan yang baru meninggal, sebagai pengganti kakeknya timbuk ketidakpuasan
dikalangan keluarga Madura dan Pamekasan sendiri. Almarhum Panembahan
sebenarnya menginginkan anaknya, Pangeran Ario Cokrowinoto sebagai
penggantinya. Dalam hal ini ia didukung oleh saudara-saudaranya dan terutama
pamannya, yaitu Sultan Madura. Pengangkatan Pangeran Suryokusumo sebagai
Panembahan Pamekasan adalah suatu kemenangan politik bagi Sumenep. Jadi
sebenarnya diusahakan adanya perimbangan pengaruh dari kekuasaan antara Sultan
Madura yang daerahnya luas dengan Sultan Sumenep. Tetapi untuk menjaga hal yang
tidak diinginkan maka Pangeran Ario Cokrowinoto diangkat sebagai Bupati
Lamongan (Arsip Nasional RI 1973: LXXVI-LXXVII dan 68-80)
Dengan
begini proses mobilitas horizontal penguasa dipercepat dan keterikatan penguasa
pada daerahnya diperlonggar. Dengan memperlonggar ini dirapuhkan pula ikatan
tradisional antara “penguasa pribumi” dengan rakyat banyak. Kecenderungan ini
bertambah kuat dengan dimulainyapula proses sirkulasi elite yang memungkinkan
orang baru muncul sebagai penguasa.
Menjelang
abad ke 20 “penguasa pribumi” di Jawa hanyalah tinggal sebagai istilah tanpa
substansi (Schrike 1956). Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai Sumenep dan Pamekasan yang ditinjau dari berbagai segi kehidupan pada
periode tertentu.
B. Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
Sumenep dan Pamekasan dibawah naungan Kompeni (1680-1800) ?
b. Seperti apa gambaran Sumenep dan
Pamekasan dalam abad ke 19 (1800-1883) ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Tujuan umum penulisan ini adalah
untuk memenuhi tugas Sejarah Lokal mengenai Sejarah
Perkembangan Kedudukan Hukum Swapraja di Pulau Madura.
2. Tujuan Khusus penulisan ini adalah
untuk mengetahui tentang :
a. Sumenep
dan Pamekasan dibawah naungan Kompeni (1680-1800)
b.Sumenep dan Pamekasan dalam abad ke
19 (1800-1883)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumenep
dan Pamekasan dibawah naungan Kompeni (1680-1800)
1.
Sejarah
perkembangan kedudukan hukum daerah Sumenep dan Pamekasan tidaklah beraneka
warna benar, menjangkau kembali ke zaman yang lebih silam, tidaklah
berlandaskan pada suatu hubungan yang jelas berdasarkan pada sesuatu perjanjian
akan tetapi lebih banyak didasarkan atas hubungan-hubungan yang nyata, yang
timbul sesudah tahun 1680 pada waktu daerah Sumenep dan Pamekasan memisahkan
diri dari daerah-daerah Madura lainnya.
a.
Dalam
sepucuk surat tahun 1686 dari pemerintah agung kepada Heren XVII (pimpinan kompeni di negara Belanda) diberitahukan bahwa
“Bupati Sumenep… sudah bertahun-tahun tidak lagi menghirauan Pangeran Tjakra
Ningrat dari Madura dan juga tidak ingin lagi terkat kepada perintah-perintah
susuhunan secara langsung akan tetapi lebih cenderung pada apa yang disebut
menyandarkan diri kepada kompeni “Bupati ini mengajukan permohonan” agar
kompeni dalam perintah-perintahnya dan keinginan-keinginannya memahami benar
daerah ini dan “pula memohon agar Aria Poelang Djeuwa diserahi kekuasaan
sepenuhnya atas daerah dan rakyatnya”. Keinginan Aria ini diperkenankan oleh
kompeni dalam tahun berikutnya Poelang Djeuwa diserahi “kekuasaan sementara”.
Dalam tahun 1688 kompeni merasa
berhak meminta keterangan-keterangan lebih lanjut mengenai “urusan rumah tangga
pemerintahan Aria Poelang Djeuwa”. Dalam tahun 1689 Gubernur Jendral dan Dewan
menulis bahwa “Bupati Sumenep… mengatakan kepada kami… hanya akan menuruti
perintah-perintah dari kompeni saja” dalam tahun 1692 induk ayam kompeni
berkotek lagi: “Rakyat Sumenep… seluruhnya bernaung di bawah sayap kompeni”.
Ketika dalam tahun 1702 Aria Poelang
Djeuwa meninggal, timbulah perselisihan soal pergantian (diharapkan) suatu
perselisihan yang diharapkan disesuaikan kompeni. Kompeni tidak perlu
mengkhawatirkan tuntutan-tuntutan Bupati dari daerah Madura pusat, karena
Pangeran ini sudah berjanji “untuk membiarkan daerah Sumenep dan Pamekasan
berada di bawah pemerintahan dan perlindungan kompeni, seperti keadaannya
ketika itu.
b.
Atas
perintah Gubernur Jendral dan Dewan Pertimbangan Agung maka Komisaris Kompeni,
Ram menyerahkan di Semarang pada tanggal 9 April 1705, pemerintahan atas daerah
Sumenep dan Pamekasan kepada cakra negara dalam akte yang diperbuat cakra
negara dikukuhkan dan diakui sebagai bupati daerah-daerah Sumenep dan
Pamekasan… agar ia memerintah, membimbing dan melindungi… daerah dan rakyatnya.
Kepada semua pegawai kompeni diperintahkan agar mereka mengakuinya sebagai
penguasa yang demikian dan tidak menghalang-halanginya dalam pelaksanaan
kekuasaan yang sah.
Kemudian pada tanggal 5 Oktober
diadakan perjanjian antara Susuhunan dengan Kompeni. Dalam pasal 4 perjanjian
itu kompeni mengajukan persyaratan bahwa: “Paduka yang maha mulia Susuhunan
dengan ini menyerahkan secara sah kepada Kompeni untuk melindungi daerah
Sumenep dan Pamekasan…secara yang dilakukan oleh Bupati yang terdahulu waktu
menyerahkan daerahnya kepada Kompeni… pada zaman pemerintahan susuhunan
Tegalwangi dan pembangkangan Trunajaya, seterusnya penyerahan itu diakui oleh
bupati-bupati yang kemudian memerintah daerah itu sampai dewasa ini masih tetap
diakui oleh mereka dengan akte yang disampaikan oleh Komisaris Ram pada tanggal
5 April 1705 atasnama mendiang Bupati Raden Aria Cakra Negara penyerahan ini
diperkuat kembali.
Daerah Sumenep dan Pamekasan
dimasukkan ke bawah lindungan dan dijadikan milik oleh Kompeni. Walaupun hal
ini tidak dapat dinyatakan dengan tegas dari perkataan-perkataan “Wettelijk
Afstaat” tetapi selama 40 tahun berikutnya kata-kata itu selalu ditafsirkan
sebagai kepemilikan. Selanjutnya adalah Kompeni mempunyai hak untuk mengangkat
para Bupati dan daerah itu mendapat hak berpemerintahan sendiri sampai batas
tertentu akan tetapi posisi takluknya sangat jelas sehingga dirasa tidak perlu
untuk memperincinya dengan khusus dalam hubungan pertuanan. Pada akhir 1705
ketika Koopman Van Der Horst dikirim ke Sumenep untuk “mengukuhkan Raden Cakra
Negara yang masih muda sebagai Bupati menggantian ayahnya”, diberi usaha penuh
“untuk mmutus sesuatu mengenai pemerintahan Sumenep dan Pamekasan bagi
kepentingan Kompeni dan daerah itu.
2. Dalam tahun 1728 bahwa Sumenep dan
Pamekasan hanya tergantung pada Kompeni dan karena di bawah sub-ordinasinya dan
pula dijadikan daerah dan rakyat kompeni, dalam tahun 1729 daerah itu dianggap
“hanya terhitung sebagai daerah kompeni saja”. Begitu pula dalam tahun 1731,
dalam tahun 1734 dan 1736 Gubernur Jendral dan Dewan Hindia menyebut-nyebut
Bupati Sumenep dan Pamekasan yang sudah takluk dalam tahun 1741 mereka masih
terhitung daerah-daerah kompeni, sedangan perintah dalam tahun yang sama kepada
Veryssel dituangkan dalam bahasa yang tidak memungkinkan suatu keraguan.
3.
Pada
tanggal 28 April 1746 Bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan “Dikukuhkan kembali”
dengan dua buah akta yang sama bunyinya, akta-akta itu jauh lebih mirip dengan
akta-akta yang mengukuhkan bupati-bupati Surabaya daripada akta yang bupati
Madura diharuskan bersumpah atasnya.
Seterusnya, seperti dalam pasal 17
dalam “Conditien” bupati Madura tidak disebutkan adanya bantuan senjata dan
tidak perlu mencantumkan larangan surat menyurat atau kirim mengirim hantaran
dari dan ke pulau Jawa. Pula dirasa tidak perlu secara khusus melarang
melakukan pelayaran tanpa izin kompeni, berbeda dengan pasal 12 “Conditien”
Bupati Madura yang memang melarang melakukan pelayaran sedemikian. Selanjutnya
kekuasaan bupati Sumenep dan Pamekasan di bidang kehakiman tidak sebesar
kekuasaan bupati Surabaya dan lebih besar daripada kekuasaan bupati Madura.
Menurut mereka pasal 6 hanya berwenang mengadili perkara kecil, sedangkan
bupati Madura hanya menyerahkan wewenangnya di bidang perkara pidana saja yang
selanjutnya dialihkan kepada wewenang suatu badan pengadilan campuran (pasal 20
dan 21).
Selanjutnya ketaklukan para Bupati
daerah Surabaya secara menyeluruh kepada “yang dipertuan” mereka ternyata pula
dari ketentuan, bahwa “dalam keadaan luar biasa, yang tidak disebut dalam akta
ini secara khusus, mereka akan bertindak menurut peretujuan Kompeni dan akan
menaati perintah-perintah Kompeni dalam hal ini dengan jujur dan tekun” (pasal
10), tidak pula kurang tegasnya bunyi pasal 1 akta-akta mereka itu, yang
memerintahkan bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan untuk tegun dan setia dalam
pengabdian kepada kompeni dan bersama-sama dengan rakyatnya menjalankan
kewajiban-kewajiban sebaik-baiknya, pula dengan segala ketelitian, ketaatan dan
ketekunan menjalankan semua perintah yang disampaikan kepada mereka secara
berkala oleh pembesar-pembesar kompeni.
Bupati Sumenep dan Pamekasan yang
dimaksud adalah penguasa dan dewanya di Jawa Timur dan Pang Lima, di Pasuruan,
kebalikannya bupati Madura berada langsung di bawah kemendur Semarang yang
kemudian diganti denan Gubernur.
Begitu pula dihapuskan perintah,
seperti yang tercantum dalam surat pengukuhan Bupati Sumenep dan Pamekasan
tanggal 9 April 1705 agar pegawai kompeni tidak menghalang-halangi bupati itu
dalam menjalankan kekuasaan yang sah ternyata bupati-bupati Sumenep dan
Pamekasan tidak dilantik sendiri oleh Van Imhoff seperti yang dilakukannya
terhadap bupati Madura.
Jadi titik tolak hubungan antara
bupati-bupati Sumenep dan Pamekasan di satu pihak dan kompeni dipihak lainnya
jauh berbeda dari titik tolak asal mula perkembangan kedudukan hokum kabupaten
Madura, akta-akta berikutnya sama nada dan iramanya dengan “Conditien en
Voorwaarden” terhadap daerah Surabaya dan akta persekutuan yang kemudian
diperbuat terhadap bupati-bupati di pesisir utara Jawa Timur.
Mengenai Pamekasan diketahui
data-data berikut: surat perjanjian 30 April 1751 yang hampir sama isinya
dengan kontrak tanggal 28 April 1746, kemudian sebuah akta tanggal 1 Juli 1763
yang tidak memuat suatu yang khusus kecuali suatu perjanjian mengenai
penyerahan barang daganan, akhirnya sebuah akta tanggal 22 Oktober 1772 yang
sebagian besar materinya serupa dengan akta-akta tahun 1746 dan 1751.
Data-data mengenai Sumenep lebih
kurang lagi dalam tahun 1751 dan 1762 bertrut-turut dua orang bupati baru
memangku jabatannya, diketahui hanya mengenai bupati yang pertama terdapat
suatu kontrak, yakni yang bertanggal 30 April 1751 yang sama bunyinya dengan
kontrak Pamekasan bertanggalkan yang sama, akta tanggal 1 Juli 1763 disusun
secaa sama dengan akta bupati Pamekasan pada tanggal yang sama pula kemudian
sebuah kontrak tambahan tahun 1784 yang tidak memuat sesuatu yang luar biasa
dan dalam tahun-tahun 1786, 1788, 1789, 1790 da 1793 diadakan perjanjian
mengenai prajurit-prajurit, akan tetapi semuanya ini tidak memberikan gambaran
lebih jelas mengeni kedudukan hokum para bupati Sumenep.
Selanjutnya bupati-bupati Sumenep
dan Pamekasan, berbeda dengan bupati Madura tidak langsung dibawahi Paduka
tuan-tuan Kompeni dan sang Gubernur di Semarang, begitula bunyi surat seorang
Gezaghebber di daerah ujung Jawa Timur dalam surat serah terimanya kepada
penggantinya begitu pula Gezaghebber ini tidak perlu menunjukkan kepada sesuatu
akta perjanjian kalau ia memperbincangkan kedudukan hukum bupati-bupati Sumenep
dan Pamekasan seperti dilakukannya pada waktu ia menguraikan kedudukan bupati
Madura.
Kalaupun mereka dalam surat-surat
resmi disebut secara terpisah bersama dengan bupati Madura maka itu tidak
disebabkan karena kedudukan mereka bertiga dalam pemerintahan adaah sama
tinggi, tetapi hal ini adalah semata-mata karena posisi mereka yang terpencil
di sebuah pulau.
B.
Sumenep dan Pamekasan dalam abad ke
19 (1800-1883)
Tahun-tahun pertama abad 19 masih belum membawa perubahan
terhadap Sumenep dan Pamekasan. Akta pengangkatan Bupati Pamekasan pada tanggal
19 September 1804 sama bunyinya dengan surat pengangkatan Bupati Surabaya 11
tahun sebelumnya. Surat pengangkatan itu disampakan ke Pamekasan tanggal 10
November 1804 sesuda Bupati menandatangani sebuah “contract of acte van verband” (kontak atau akta ikatan politik)
bertanggalkan hari yang sama, delapan buah pasalnya mempunyai isi yang sama
dengan delapan buah pasal surat ikatan politik tanggal 22 Oktober 1772, empat
buah pasal lainnya mengenai kedudukan swaprajanya tidaklah begitu penting, akta
ikatan politik terhadap Bupati Sumenep tanggal 18 Mei 1805 mengikuti jalannya
surat-surat ikatan politik Kompeni yang biasa terutama jejak-jejak kontrak
Pamekasan tahun 1804.
Daendles tidak membawa perubahan-perubahan walaupun
kontrak-kontra politik dengan para Bupati di Jawa dihapuskan, ternyata
ketentuan ini tidak dijalankan terhadap Sumenep dan Pamekasan. Sampai abad 19
Bupati-Bupatina selalu menandatangani perjanjian politik . akan tetapi surat ketetapan
tanggal 1 September 1808 yang tidak berlaku terhadap kabupaten Madura sendiri
membuat Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan jadi pegawai Sri Baginda Raja
Belanda (Pasal 7) menganggap mereka terikat pada gelar dan kedudukan yang
disebut dalam Pasal 8, berbeda dengan Bupati Madura yang ketika itu sudah
dianugerahi kenaikan gelar sedangkan Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan tidak
menikmati kehormatan ini setelah ketetapan itu (berbeda pula dengan ketentuan
terhadap Madura) memuat pasal yang menetapkan “jumlah pelayan-pelayan dan
pengiring rumah tangga Bupati” (pasal 54) dan juga mengangkat Bupati Pamekasan
jadi anggota Pengadilan Negeri di Surabaya (Pasal 65). Ketetapan tersebut
mensejajarkan kabupaten-kabupaten Sumenep dan Pamekasan dengan kabupaten-kabupaten
lainnya di Jawa.
Perlakuan peraturan pajak tanah Raffles menjalankan pula
sistem Bupati sebagai Pegawai Negeri. Daerah raja-raja Jawa Tengah (Vorstenlanden, Surakarta dan
Yogyakarta), Priangan dan seluruh Madura bebas dari pajak tanah ini dan bebas
pula dari sistem Bupati sebagai pegawai negeri.
Raffles tidak saja membiarkan Sumenep dan Pamekasan dengan
”status Swapraja” malahan Bupati Pamekasan dianugerahi pula kenaikan gelar yang
di sahkan oleh Komisaris Jenderal dengan keptusan tanggal 7 Januari 1820
Reglement voor de Regenten (Peraturan mengenai para Bupati)
dalam lembaran negara tahun 1820 No.22 tidak dapat diterapkan terhadap
kedudukan para Bupati Sumenep dan Pamekasan berdasarkan alasan-alasan yang sama
yang telah diuraikan mengenai Madura.
Keputusan tangga 29 November 1825 No. 1 Menaikkan derajat
Bupati Sumenep menjadi Sultan. Keputusan tanggal 27 Juli 1829 No.22 menjadi
Bupati Pamekasan Panembahan daerahnya.
Keputusan tanggal 6 November 1829 La D D menentukan bahwa
peraturan yang dimuat dalam keputusan tanggal 13 November 1829 No. 13 mengenai
“hak raja-raja bumiputera untuk diadili didepan Pengadilan Tinggi” tidak
berlaku “terhadap raja-raja di Jawa maupun di Pulau Madura” dari sini ternyata
bahwa Bupati-Bpati Sumenep dan Pamekasan sudah dianggap sebagai raja-raja
dengan siapa Gubernemen Belanda mengadakan perjanjian-perjanjian politik.
Tahun 1817 kontrak dengan Sumenep mengenai pengerahan
prajurit-prajurit sudah dinamakan “overeenkomsten”
(persetujuan) sedangkan tahun 1838 kontrak ini menyangkut penyerahan
perahu-perahu berawak yang dipersenjatai, maka dalam tahun 1831 Residen
Surabaya sudah membuat suatu persetujuan dengan Panembahan Pamekasan yang berjanji
untuk membangun pasukan Barisan di daerahnya.
Dengan keputusan tanggal 7 Oktober 1833 No.2 kepada Bupati
Sumenep diserahkan hak cukai tertentu , suatu hak yang tidak pernah dimiliki
oleh Bupati-bupati di Jawa. Kemudian ternyata jelas sekali dari pemberitaan
Massink mengenai upacara-upacara kehormatan raja-raja yang diperlakukan
terhadap Bupati-bupati Madura. Bupati-bupati berswapraja di daerah-daerah
kompeni atau Gubernemen (daerah-daerah yang dibawahi langsung oleh VOC atau
pemerintah Hindia Belanda) yakni Sumenep dan Pamekasan itu didudukkan sama
sederajat dengan Sultan Madura terutama Raffles yang bersusah payah benar dalam
hal ini. Menurut ukuran Vorstenlanden (Surakarta
dan Yogyakarta) mereka itu tetap merupakan raja-raja kecil saja dan dalam
pandangan pemerintah kedudukan tersebut dikarenakan factor-faktor yang kebetulan
belaka.
Fakta-fakta ini ditinjau secara obyektif oleh pemerintah
sewaktu Menteri Jajahan merenanakan memberitahu kepada raja-raja Madura bahwa
mereka seterusnya akan dipandang sebagai raja-raja yang merdeka dibawah
lindungan langsung Gubernemen. Tetapi pandangan pemerintah ini tetap tidak
seobyektif itu. Consideratien dari
Baud, dalam tahun 1837 menyediakan bahan-bahan yang dapat merubah pandangan
obyektif. Berupa dalil bahwa Pangeran-pangeran Madura beberapa tahun yang lalu
adalah Bupati-Bupatiyang memiliki sejumlah hak-hak kedaulatan sebanyak yang
telah ditentukan oleh Gubernemen. Namun Baud masih memiliki pandangan yang
realistis ketika ia menasehatkan agar pangeran-pangeran itu dipertahankan
dengan tanah gugahan mereka dan agar kesepakatan-kesepakatan baru dengan mereka
itu berpangkal pada sebuah prinsip yang tidak menyulitkan penyelenggarakan
kekuasaan administrative mereka.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, keputusan tanggal 11
April 1838 La V merupakan landasan bagi pendapat yang dimaksud. Ternyata
Residen Valck dalam suratnya tanggal 8 Desember 1838 No. 863/6 telah
mengutarakan pendapat yang sejenis, ketika ia menasehatkan agar anah gugahan
Pamekasan dalam kontrak apapun sebearnya tidak pernah disinggung “tanah
gugahan” itu dianggap bubar saja dan mengangkat penggantinya sebagai Bupati
dengan gaji tetap. Dalam surat Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda tanggal
20 Februari 1839 La Q Van Hogendrop mengoper pandangan Valck mengenai hubungan
gugahan ini, dalam surat itu disebut Pamekasan sebagai daerah gugahan atau
kerajaan kecil dan menyebut Panembahan sebagai leenvorst. Akan tetapi ia tidak mau meihat gugahan itu dibatalkan.
Nota yang dilampirkan pada surat Kabinet tanggal 20 Maret
1839 No.69 Rahasia kepada Residen Surabaya menyamaratakan ketiga kabupaten
Madura itu dalam perkembangan sejarahnya mengenai hubungan gugahan itu dan
mencerminkan pendapat tentang cara pengimplementasikannya sebagai pertokohan
takhlukan. Surat resmi Kabinet tanggal 26 Mei 1839 No. 98 Rahasia bermaksud
membujuk Panembahan agar bersedia menggugurkan haknya atas kebesarannya sebagai
Bupati sekarang ini dengan imabalan ganti rugi tertentu dengan maksud merubah
kedudukannya menjadi seperti kedudukannya Bupati-bupati lainnya di Jawa yang
lebih mudah dijelaskan ketergantungannya kepada Gubernemen melalui
perubahan-perubahan tertentu dalam kontrak atau denan cara lain. Akan tetapi Residen Surabaya menyatakan dalam
suratnya tanggal 7 November 1839 No.68/8 bahwa Bupati-Bupati sekali-kali tidak
meragukan membawahnya mereka pada Kompeni. Jadi ia tidak ingin mempersoalkan
masalah menyurutkan kedudukan Panembahan itu menjadi Bupati seperti di Jawa dan
ingin mengundurkan persoalannya sampai Panembahan itu meninggal. Sementara itu
ia merencanakan persyaratan-persyaratan yang harus diterima oleh calon
pengganti. Dewan Hindia dan Pemerintah menyetujui gagasan ini. Suatu masa
tentang berlangsungnya selama dua tahun.
Dalam tahun 1842 Panembahan meninggal, dalam suratnya
tanggal 23 Mei 1842 No. 279/6 Residen Surabaya menyampaikan rencana
persyaratannya kepada Pemerintah akan tetapi membela dipertahankannya hubungan
seperti sekarang ini. Sesudah itu menyusul pertimbangan Dewan Hindia tanggal 11
Juni 1842 La. V3 yang menyatakan bahwa istilah-istilah “Dipertuan Lanskap” dan
“Raja Gugahan” yang masing-masing terdapat dalam pasal 2 dan 5 rencana
persyaratan itu seharusnya diganti dengan “Dipertuan Daerah” dan “Bupati”, pula
dalam penutup rencana itu perkataan “Pelakat Ikatan Politik” diganti dengan
“Persyaratan”. Selanjutnya bunyi surat resmi Sekretaris Hindia Belanda tanggal
5 Agustus 1842 La M1, akta ini dimaksudkan oleh Gubernemen untuk untuk
ditandatangani bukan sebagai kontrak tetapi sebagai perjanjian yang dibuat
dalam tahun 1804. Pengukuhanpun hanya akan dilakukan sesudah dokumen itu
ditandatangani. Keputusan bulan November 1824 La H2 berisi surat pengangkatan
Pangeran Suriokusumo jadi Bupati Pamekasan dengan syarat-syarat bahwa ia
sebelum menjalankan jabatan harus menandatanganinya dan diambil sumpahnya.
Jelaslah bahwa persyaratan itu tidak memuat sesuatu yang bekaitan dengan
hubungan gugahan, tetapi persyaratan-persyaratan tersebut memberikan cukup
banyak alasan untuk menyimpulkan bahwa sebenarnya daerah Pamekasan tetap
merupakan suatu Swapraja. Syarat-syarat itu adalah :
1. Hak akan junjungan duli (Pasal 2)
2. Hak peradilan adat untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa kecil (Pasal 7)
3. Larangan untuk mengadakan hubungan
luar negeri (Pasal 10)
4. Kewajiban untuk menyerahkan
penyelesaian sengketa dengan Sumenep dan Madura kepada Pertimbangan dan
keputusan Gubernemen (Pasal 11)
5. Perjanjian menyerahkan prajurit
(Pasal 15)
Cara-cara
penandatanganan kontrak dengan buln November 1804, kontrak 21 Desember 1842 dan
kontrak yang disetujui dengan Madura
anggal 9 Oktober 1847 sebenarnya tidak terdapat suatu perbedaan yang nyata
antara cara-cara itu. Jadi surat resmi Sekretaris Hindia tanggal 5 Agustus 1842
La M1 yang begitu menekankan pentingnya tata cara penandatanganan naskah, hal
itu sebenarnya merupakan suatu formalitas yang sangat berlebih-lebihan. Akan
tetapi formalitas bersifat liat: masih dalam tahun 1847 sebuah nota Sekretariat
Negara menekankn lagi pentingnya kejadian bahwa kontrak dengan Pamekasan yang
terakhir tidak diratifikasi. Dalam tahun yang sama Residen Surabaya kebetulan
menulis sesuatu mengenai Sumenep dalam suratnya tanggal 24 Pebruari 1847,
rupanya ia memperkirakan bahwa Bupati daerah ini akan segera meninggal lalu
disusunnya syarat-syarat pengangkatan baru yang sama bunyinya dengan yang
disiapkannya untuk Bupati Madura. Mengherankan juga bahwa pasal 1 rencana
persyaratan itu ditambah dengan perkataan gagahan, tambahan ini didasarkan atas
dalil bahwa dalam pasal 1 dari kontrak pada bulan Mei 1805 Bupati berjanji akan
setia dan taat sebagaimana yang dapat diharapkan dari seorang rakyat atau
pegawai akan tetapi suatu peningkatan pangkat merubah kedudukannya terhadap
pemerintah menjadi sama dengan hubungannya Sultan Madura terhadap Gubernemen.
Persoalan
ini sementara didiamkan saja. Hanya sebuah Nota Sekretariat saja yang tidak
mengijinkan kenyataan swapraja itu ditetapkan secara hukum. Dalam hal ini
Sekretaris mendalihkan pendirian itu diatas sejarah. Bupati-bupati Sumenep dan
Pamekasan tidak pernah merupakan raja-raja gugahan, kedudukan mereka condong
kepada kedudukan Bupati-Bupati di Jawa. Mereka adalah pemimpin yang diangkat
dengan syarat yang lebih menguntungkan dalam hal gelar, pendapatan dan derajat
disbanding dengan para Bupati di Jawa yang dahulunya adalah penguasa-penguasa
berpengaruh, akan tetapi lambat laun merosot derajatnya seperti keadaan mereka
sekarang. Keputusan Daendels tanggal 1 September 1808 masih berlaku terhadap
mereka,baru sesudah itu Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan itu menanjak dalam
derajat dan kekuasaan yang hampir menyerupai kedudukan seorang raja. Pemerintah
menginginkan mereka diturunkan kedudukannya kembali sebagai Bupati biasa. Jadi
suatu penokohan raja-raja gugahan dalam kontrak yang mungkin akan diperbuat
nanti tidak perlu dimuat.
Jadi
Pemerintah dan Residen sependapat menjadikan hubungan gugahan sebagai faktor
yang secara formal menentukan status swapraja., akan tetapi mereka berbeda
pendapat, kalau sudah sampai pada tahap memperbincangkan soal apakah Pemerintah
dalam kontrak yang akan dibuat itu akan berpegang pada kenyataan-kenyataan yang
ada ketika itu ataupun akan memenuhi keinginan-keinginan saja.
Pemerintah
menghendaki dalam keputusan tanggal 10 Januari 1848 La. L yang belum disahkan,
dalam keputusan ini dipertimbangkan bahwa dirasa perlu mengembalikan kedudukan
Bupati-Bpati Sumenep pada yang ditempatinya semula dalam kontrak-kontrak tahun
1746. Terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan semula yang mungkin
lambat laun menimbulkan harapan-harapan untuk merdeka yang tidak selaras dengan
kedudukannya dan berlawanan dengan hak-hak Gubernemen sebagai Daulat dan pula
terlepas dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Gubernemen mempunyai hak
sepenuhnya menyodorkan kepada pengganti Bupati yang memerintah, persyaratan-persyaratan
yang dianggap oleh Pemerintah merupakan kepentingan-kepentingannya.
Dengan
alasan ini maka Residen diberi kuasa untuk mengadakan perundingan buat sebuah
kontrak yang mengandung persyaratan, bila Bupati itu meninggal dan akan
diangkat seorang pengganti, dasar dari persyaratan-persyaratan itu dapat
ditemukan dalam rencana persyaratan yang dilampirkan pada keputusan itu. Dalam
tahun 1854 terjadilah apa yang sudah diharapkan sejak tahun 1847, Bupati
Sumenep meninggal. Disatu pihak pertimbangan Dewan tanggal 21 April 1854 No.
L111 mengakui bahwa daerah Sumenep adalah sebuah daerah gugahan, akan tetapi
dipihak lain surat resmi Sekretaris Hindia tanggal 2 Mei 1854 No. 852
memerintahkan pengajuan usul-usul yang senada dengan kecenderungan dalam “Memorie ontren den Vroegeren en
tegenwoordigen toestand van Madoera” yang ditulis Brest van Kempen 1852.
Laporan
“Memori mengenai keadaan Madura dahulu dan sekarang” ini menunjukkan bagaimana
berbedanya pangkal tolak mulainya perkembangan hukum di Madura dengan asal-usul
hukum di Sumenep dan Pameksan yakni : dalam hal pertama hubungan gugahan yang
jadi dasar perkembangan itu sedangkan dalam hal kedua yang dipersoalkan
hanyalah semata-mata kedudukan Kepala-Kepala di daerah-daerah Kompeni. Selanjutnya
diingatkan kembali oleh Brest, bagaimana tidak memuaskannya peningkatan Sumenep
dan Pamekasan jadi daerah swapraja di abad ke 19. Sebagai penutup ditekankannya
keperluan untuk mengembalikan kedudukan Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan
kepada landasan lama seperti Bupati-Bupati lainnya di Pulau Jawa.
Surat
resmi Sekretaris Negara Hindia Belanda itu mengesankan sekali bagi Residen
Surabaya sehingga ia mengajukan usul sebuah pertimbangan Dewan Hindia Belanda
tangal 19 September 1854 No. VIII menyetujui usul Residen tersebut, tetapi
berpendapat bahwa Bupati-Bupati yang baru lima bulan mengepalai daerah
gugahan itu tidak pernah berstatus “leenroerige vorsten of leenmannen”
sehingga tidak ada keberatanuntuk membiarkan daerah itu dalam keadaan semula.
Ditetapkanlah dengan keputusan tanggal 4 Oktober 1854 La P1, Bupati baru dengan
gelar Panembahan sesuatunya dengan persyaratan yang selain dari ketentuan
mengenai kedudukan gugahan hampir serupa bunyinya dengan syarat-syarat yang
diterima Bupati Madura atas sumpah dalam tahun 1847.
Kedudukan
swapraja di Pamekasan dan Sumenep tetap dipertahankan. Dalam tahun 1854 juga
yang membawa ketetapan berlangsung seharusnya swapraja di Sumenep,
rencana-rencana untuk menghapuskan swapraja Pamekasan malah kian jelas
bentuknya. Kalau memori Brest telah mengisyaratkan suatu penyurutan kembali
kedudukan swapraja. Suatu “Penelitian Sejarah” mengenai soal sejauh manakah
Gubernemen dapat dianggap berhak untuk mengoper Pemerinahan Kabupaten Pamekasan
secara langsung dengan penarikan kembali ketentan mengenai pemerintahan daerah
gugahan disitu. Hal ini didasarkan atas dalih bahwa kontrak tanggal 21 Desember
1842 seolah-olah menempatkan Bupati Pamekasan itu dalam suatu kedudukan yang
sama dasarnya dengan kedudukan seorang Bupati di Jawa, alaupun ia memerintah
daerahnya menurut ketentuan-ketentuan yang berbeda yang memberinya lebih banyak
keleluasaan dalam menjalankan kekuasaanya.
Perkataan
yang terakhir tentu saja tidak benar sama sekali, sebuah kontrak bukanlah seuah
perintah dan istilah lebih leluasa menjalankan kekuasannya itu sebenarnya
berarti “Swapraja” ( Pemerinahan Sendiri). Nota yang disebut ini disusul oleh
pertimbangan Dewan tanggal 10 Februari 1854 No. XXXVIII. Pertimbangan mana
menelorkan keputusan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist yang tanpa ragu-ragu
mengakui hak Gubernemen untuk melaksanakan pemerintahan secara langsung
didaerah itu. Menteri jajahan Pahud sepakat dengan ini. Sementara itu keputusan
tanggal 25 Maret 1854 No. 11 memerintahkan diadakan kembali suatu penelitian
lagi, dari hasil penelitian baru inilah bergantung tindakan yang akan diambil :
“apakah akan diserahkan lagi kabupaten Pamekasan sebagai suatu gugahan walaupun
dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan atau menempatkan daerah itu pada
kedudukan yang serupa dengan Kabupaten-kabupten lainnya di Jawa?”
Lagi-lagi
kelihatan dengan jelas disini, keinginan untuk menentukan status swapraja
dengan cirri hubungan gugahan. Hal yang lebih jelas lagi dari laporan Brest van
Kempen tanggal 30 November 1854 No. 72/Rahasia mengenai pertimbangan Residen
Surabaya yang ingin melihat Pamekasan sekali lagi diserahkan sebagai gugahan
walaupun dengan syarat-syarat yang disesuaikan. Akan tetapi pemerintah tidak
mau tahu dengan usul ini dan kemudian dalam surat resmi Sekretaris Gubernemen
tanggal 31 Januari 1856 La. R menyatakan niatnya untuk memperlakukan suatu
peraturan mengenai pemerintahan Pamongpraja atas dasar sistem kabpaten di Jawa atau
secara yang dianggap efisien.
Alternative
terakhir sesudah dilepas, ketika diterima surat Menteri Jajahan tanggal 8 Maret
1856 La. A/136/K yang memuat laporan Menteri kepada Raja Belanda tanggal 7
Maret 1856 A/133. Dari laporan itu ternyata Pemerintah Agung ingin memisahkan
Madura dari Karisidenan Surabaya dan menempatkan Pulau itu dibawah kuasa suatu
Komisaris yang diberi kuasa secukupnya untuk ditgasi dengan kewajiban meneliti
persiapan pelaksanaan Pemerintahan secara langsung di Pulau itu. Surat Menteri
jajahan itu memerintahkan pengangkatan seorang Komisaris tersebut yang akan
diberi kekuasaan seperti seorang Residen.
Dalam
suratnya tanggal 18 September 1856 La. Y, Residen Surabaya secara resmi
mengajukan suatu usul pelaksanaan pemisahan pulau Madura. Sesudah itu sebuah
pertimbangan Dewan Hindia tanggal 31 Maret 1857berani mengemukakan usul untuk
tidak memulihkan kembali pemerintahan Adat di Kabupaten Pamekasan seperti yang
berlaku didaerah itu sampai tahun 1854 dan menganjurkan pengangkatan seorang Residen
di Madura. Dengan ketentuan Lembaran Negara tahun 1857 No. 144 dingkatlah
seorang Residen dan akhirnya Lembaran Negara tahun 1858 No. 54 menghapuskan
swapraja Pamekasan. Daerah Sumenep dan Pamekasan akan hidup seperempat abad
lebih lama dari saudara kembarnya Pamekasan. Surat Pemerintah yang ditetapkan
dengan keputusan tanggal 23 Februari 1864 La. K memohon kuasa dari Menteri
Jajahan untuk diperbolehkan memasukkan daerah Sumenep dalam tata pemerintahan
langsung kalau Panembahannya meninggal ataupun diijinkan membuat persetujuan
selaras dengan kontrak yang dibuat tahun yang lalu dengan Bupati Madura. Kuasa
yang dimintakan itu diberikan dengan resmi Menteri Jajahan tanggal 7 Sepetember
1864 La. A az/150/0. Keputusan tanggal 30 November 1876 No. 139 A/Sangat
Rahasia mempersilakan Residen Madura mengajukan usul-usulnya untuk memasukkan
Sumenep langsung dibawah pemerintahan Gubernemen, akan tetapi dengan syarat
bahwa harus ditunggu dahulu meninggalnya Panembahan yang memerintah, syarat ini
pada tanggal 26 Mei 1879 dapatlah dipenuhi. Pertimbangan Dewan tanggal 19
Agustus 1881 menyebut-nyebut bahwa kekuasaan untuk dan perlunya memasukkan
daerah itu kedalam pemerintahan langsung…sudah putus. Sehubungan dnegan
keputusan tanggal 23 Oktober 1881 No. Rahasia menyebut lebih lanjut perihal
“penghapusan” swapraja dan memasukkan daerah Sumenep dalam pemerintahan
langsung. Akhirnya dengan Lembaran Negara tahun 1883 No. 241 terwujud juag
penghapusan Swapraja ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Tahun-tahun pertama abad ke-19 masih belum membawa perubahan
apa-apa terhadap Sumenep dan Pamekasan: akta pengangkatan bupati Pamekasan
tertanggal 19 september 1804 seluruhnya sama bunyinya dengan surat pengangkatan
Bupati Surabaya 11 tahun sebelumnya. Didalam bab ini dijelaskan Daendles tidak
membawa perubahan-perubahan, walaupun kontrak-kontrak politik dengan para
Bupati di Jawa telah dihapuskan, ternyata ketentuan ini tidak dijalankan
terhadap Sumenep dan Pamekasan, sampai jaug dalam abad ke-19. Bupati-Bupatinya
selalu menandatangani perjanjian politik.
Dengan memperlakukan peraturan pajak tanah Raffles
menjalankan pula system Bupati sebagai pegawai negri. Daerah-daerah raja-raja
Jawa Tengah, Priangan dan seluruh Madura bebas dari pajak tanah ini dan bebas
pula dari system Bupati sebagai pegawai negri.
Raffles tidak saja membiarkan Sumenep dan Pamekasan dengan
“status swapraja” malahan Bupati Pamekasan di anugrahinya pula kenaikan gelar,
yang di sahkan oleh Komisaris Jenderal dengan keputusan tanggal 7 januari 1820,
keputusan tanggal 29 november 1825 no.1 menaikkan derajat Bupati Sumenep jadi
Sultan, keputusan tanggal 27 juli 1829 no. 22 menjadi Bupati Pamekasan
Panembahan daerahnya. Kemudian ternyata jelas sekali dari pemberitaan Massink
mengenai upacara kehormatan raja-raja yang diperlukan terhadap Bupati-Bupati
berswapraja di daerah-daerah Kompeni atau Gubernemen(daerah-daerah yang
dibawahi langsung oleh V.O.C atau pemerintah Hindia Belanda, yakni Sumenep dan
Pamekasan itu didudukkan sama sederajat dengan Sultan Madura
Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan tidak pernah merupakan
raja-raja gugahan, kedudukan mereka condong yang diangkat, dengan syarat yang
lebih menguntungkan dalam hal gelar, pendapatan dan derajat, di banding dengan
bupati di Jawa, yang dulunya adalah juga penguasa-penguasa yang berpengaruh,
akan tetapi lambat laun merosot derajatnya seperti keadaan mereka sekarang.
Keputusan Daendels tanggal 1 september 1808 masih berlaku terhadap mereka, baru
sesudah itu Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan itu menanjak dalam “derajat dan
kekuasaan yang hamper menyerupai kedudukan seorang raja, pemerintah
menginginkan mereka itu diturunkannya kembali sebagai Bupati biasa.
Sementara itu Keputusan tanggal 25 Maret 1854 No. 11
memerintahkan diadakan kembali siatu penelitian lagi, dari gasil penelitian
baru inilah bergantung tindakan yang akan di ambil, apakah akan diserahkan lagi
Kabupaten Pamekasan sebagai suatu gugahan, walaupun dengan syarat-syarat yang
lebih menguntungkan, atau menempatkan daerah itu pada kedudukan yang serupa
dengan Kabupaten-Kabupaten lain di Jawa. Di sini kelihatan dengan jelas,
keinginan untuk menentukan status swapraja dengan ciri hubungan gugahan.
Tidak saja secara ekonomis menguntungkan kompeni untuk
mempertahankan Bupati-Bupati itu sebagai penguasa berswapraja, tetapi hal itu
secara psikologis dapat juga diteranfkan sebagai berikut: hal itu disebabkan
selain oleh teori Hukum Alam Eropa modern, terutama sekali oleh praktek Hukum
Tata Negeri Belanda kuno, yang menyebabkan pula Gubernur Jenderal Mossel
mengulangi kata-kata Tuan Tanah Casteleyn dari Depok yang masyur itu ditahun
1754 sebagai berikut: “ Sudah ternyata, bahwa manusia itu tidak dapat hidup
bersama secara rukun, tanpa adanya suatu pemerintahan atau penguasa seperti di
tanah air kita atau yang di lakukan di seluruh dunia: sampai perkampungan kecil
pun, pemerintah itu harus ada, berasal dari perlembagaan dan peraturan yang
diakuinya atau sejak dahulu disetujui bersama karena kebiasaan atau karena
ditetapkan ataupun diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi.
Pengertian tentang Negara birokrasi, dengan pemerintahan
yang sentralis barulah timbul dan mulai dilaksanakan dalam abad ke-19. Daendels
tidaklah membawa perubahan-perubahan dalam tatanan pemerintahan para Bupati,
sebaliknya Raffles mengadakan perombakan besar-besaran. Susunan pemerintahan di
Yogyakarta dan Surakarta dan Madura di biarkan dalam keadaanya yang tak di
rubah. Sumenep dan Pamekasan memperoleh kehendaknya yakni: swapraja.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Abdullah Taufik.
1990. Sejarah Lokal di Indonesia,
Kumpulan Tulisan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar