Jumat, 20 Juni 2014

Pemberontakan Petani di Banten 1888


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Banten, seperti halnya di seluruh Indonesia, abad XIX ditandai oleh kontak yang semakin meningkat dengan dunia Barat. Seperti telah dikemukakan, perekonomian uang, perpajakan yang seragam, administrasi yang terpusat dan sarana-sarana komunikasi yang modern merupakan gejala-gejala yang menyertai penetrasi kekuasaan kolonial yang berlangsung secara berangsur-angsur. Kebijaksanaan fiskal, administratif dan peradilan yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat harus dilaksanakan oleh pejabat-pejabat pribumi baik di tingkat regional maupun di tingkat lokal. Pelaksanaan pajak kepala, peraturan-peraturan tentang rodi, dan vaksinasi tak disangsikan lagi sangat mempengaruhi kehidupan kaum petani dan karenanya menyebabkan timbulnya kerusuhan-kerusuhan di daerah-daerah pedesaan.
Pemberontakan itu, sebagai buah hasil suatu gerakan sosial yang telah berlangsung lama, dapat dipandang dari segi akulturasi pada umumnya dan fenarisme pada khususnya. Kontak kebudayaan mengakibatkan perubahan institusional yang dinamis, menimbulkan destrukturalisasi dan diferensiasi norma-norma, nilai-nilai, dan simbol-simbol. Dari sudut pandangan sosiologis, kita dengan mudah dapat melihat proses-proses perubahan sosial dan gejala-gejala yang menyertainya-konflik sosial, disorganisasi dan reintegrasi sosial. Suatu penjelasan berdasarkan sosiologi agama akan menampilkan proses-proses yang esensial seperti sekularisasi, identifikasi golongan dan escapism. Sebenarnya analisa ini hanya mencakup pula unsur-unsur yang esensial dari gerakan sosial, seperti tujuan-tujuan, ideologi, kohesi golongan, organisasi dan taktik. Dan akhirya, transformasi politik yang terjadi selama abad XIX dapat dianalisa dari segi peralihan dari otoritas tradisional ke otoritas legal-rasional, dan gerakan itu sendiri dari segi penyelenggaraan otoritas karismatik.
Pemberontakan besar yang telah terjadi di Cilegon, Banten membuktikan bahwa kaum petani juga memiliki kekuatan dan berusaha dengan aktif untuk memperjuangkan nasibnya. Walaupun pada akhirnya belum mencapai hasil yang diharapkan dari oleh kaum pemberontak tersebut, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan yang dimiliki kaum petani baik segi kemampuan maupun sarana dan prasarana.

B.  Rumusan Masalah
a.       Awal Mula Terjadinya Gerakan Pemberontakan Petani
b.      Proses Terjadinya Gerakan Pemberontakan Petani
c.       Penumpasan dan Kelanjutan Gerakan Pemberontakan Petani
d.      Dampak Gerakan Pemberontakan Petani

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas Sejarah Lokal mengenai Pemberontakan Petani di Banten 1888.
2.      Tujuan Khusus penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang :
a.       Awal Mula Terjadinya Gerakan Pemberontakan Petani
b.      Proses Terjadinya Gerakan Pemberontakan Petani
c.       Penumpasan dan Kelanjutan Gerakan Pemberontakan Petani
d.      Dampak Gerakan Pemberontakan Petani


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Awal Mula Terjadinya Gerakan Pemberontakan Petani
Bagi banyak pengamat di masa itu, pemberontakan tahun 1888 itu kelihatannya seperti suatu fonemena yang berdiri sendiri. Akan tetapi peristiwa itu bukan merupakan suatu tindakan yang tiba-tiba di pihak petani-petani yang tidak tahu apa-apa, yang mengamuk karena fanatik agama, seperti yang hendak dikesankan oleh beberapa laporan. Sejak hari pertama sudah jelas bahwa ini merupakan suatu pemberontakan yang telah dipersiapkan dan direncanakan dan mempunyai lingkup yang jauh melampaui Batas-batas kota kecil Cilegon. Peristiwa.peristiwa yang telah terjadi menunjukkan bahwa tarekat atau perkumpulan tertutup yang merupakan sarana untuk menyebarkan informasi-informasi rahasia dan komunikasi di antara anggota-anggota komplotan telah memainkan peranan yang penting. Dalam pertemuan-pertemuan itulah gerakan tersebut mempersatukan para kiyai sebagai pemimpin komplotan di daerah masing-masing. Dengan menggunakan agama sebagai kedok mereka tukar-menukar pengalaman dan membicarakan strategi kampanye.
Dalam peristiwa ini harus dipahami bahwa kaum elite agama, para haji dan kiyai mempunyai prestise sosial yang sangat besar, terutama di daerah-daerah pedesaan. Di sana ukuran prestise yang berdasarkan agama sangat berbeda dengan yang berlaku di Barat dan di kalangan priyayi. Konsekuensi politik dari ketimpangan itu adalah bahwa di mata rakyat, kiyai atau haji lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan pamongpraja pribumi, sehingga menurut pendapat mereka yang disebut pertama tidak saja harus lebih dihormati akan tetapi juga merupakan orang-orang yang harus ditaati lebih dulu. Tidak mengherankan bahwa kiyai atau haji dapat dengan mudah mengerahkan orang untuk segala macam tujuan. Pengaruh para guru menjadi demikian dominan sehingga pamongpraja pribumi harus mengandalkan kepada perantaraan mereka dalam soal-soal seperti memungut pajak atau mengerahkan tenaga kerja untuk pekerjaan umum.
Namun disayangkan sekali bahwa tidak banyak diperoleh informasi mengenai para pemimpin gerakan revolusioner atau para elite agama tersebut. Begitu pula dengan tentang tarekatnya yang tidak banyak diketahui seperti tidak adanya catatan-catatan mengenai pertemuan-pertemuan dari tarekat tersebut. Hanya tentang beberapa orang saja di antara mereka terdapat sejumlah data yang pasti. Mereka antara lain ; Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki dan Haji Wasid.
1.      Haji Abdul Karim
Haji Abdul Karim bergelar Kiyai Agung yang merupakan ulama besar yang dihormati, disegani dan populer karena  dianggap wali Allah oleh masyarakat. Beliau juga dianggap sebagai ulama yang paling menonjol di antara pemimpin-pemimpin gerakan itu.  Haji Karim merupakan salah satu pelopor pemberontakan karena ia penumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup merdeka terlepas dari kolonialisme. Beliau adalah seorang pemimpin agama dan guru tarekat khadiriyah. Pada tahun 1872 Beliau mendirikan sebuah pesantren. Oleh karena Beliau sudah terkenal, maka dalam waktu singkat ia sudah mempunyai murid-murid yang sangat setia, mengabdi dan patuh kepadanya. Sulit untuk memperkirakan jumlah pengikutnya. Tetapi yang pasti, dengan cepat Beliau tampil sebagai tokoh yang dominan di kalangan elite agama. Khotbah-khotbah Haji Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap penduduk. Dalam kegiatan dakwahnya Beliau menekankan keyakinan dan praktek agama harus menjalani proses pemurnian yang intensif melalui zikir untuk mebangkitkan semangat masyarakat untuk merdeka dari kekuasaan orang kafir. Dalam kotbahnya ia juga sering menyampaikan ramalan-ramalan  tentang hari kiamat dan akan datangnya seorang penolong yakni Mahdi yang terus membakar semangat. Namun hal ini ia tidak langsng menyuruh pengikutnya untuk memberontak, karena menurutnya, perang Sabil belum waktunya terjadi. Namun, dalm pekembangannya Haji Karim pergi ke Mekkah. Kepada murid-muridnya yang paling dekat ia memberitahukan bahwa ia tidak bermaksud kembali ke Banten selama daerah itu masih terbelenggu di bawah dominasi asing. Hanya di atas bumi Islam yang murni ia akan menginjakkan kakinya lagi.
2.      Kyai Haji Tubagus Ismail
Kyai Haji Tubagus Ismail adalah murid Haji Abdul Karim. Beliau dianggap sebagai calon wali Allah. Ia termasuk dalam kaum bangsawan Banten yang telah kehilangan semua pengaruh politiknya namun masih memilki prestise sosial di kalangan penduduk. Untuk menambah prestise sosialnya ia mendirikan sebuah pesantren dan sebuah cabang tarekat Kadiriah. Dengan demikian ia dapat menaikkan prestisenya dan mempunyai pengikut yang banyak. Ia telah beberapa kali naik haji, dan perjalanannya ke mekah itu telah menambah permusuhan dengan pemerintahan kolonial. Kyai haji Tubagus Ismail mulai mengadakan propaganda untuk gerakan pemberontakan melawan pemerintahan kafir. Hal pertama yang dilakukannya dalam proses propaganda adalah meyakinkan rekan-rekan seperjalanannya bahwa menurut para ulama di Mekah, Banten akan mempunyai rajanya sendiri tidak lama setelah pohon-pohon johar ditanam di pinggir-pinggir jalan. Setelah itu ia memperoleh dukungan dari beberapa ulama. Gerakan pemberontakan pada masa ini menggunakan Guru-guru tarekat sebagai alat untuk menyebarkan gagasan itu dan mencari pengikut. Dan merahasiakan pertemuan-pertemuan dengan cara menggunakan kedok pesta, umpamanya pesta perkawinan, pesta sunatan, atau pertemuan zikir.
3.      Haji Marjuki
Haji Marjuki merupakan salah seorang pengikut Haji Abdul Karim yang paling setia dan paling disenangi. Beliau sudah mempunyai reputasi yang mapan sebagai guru agama, dan kemasyhuran yang sangat menambah prestise dan pengaruhnya di mata rekan-rekannya sesama haji di Banten. Tidak mengherankan jika Haji Wasid dan Kiyai Haji Tubagus Ismail menganggapnya sebagai seorang sekutu yang sangat kuat dan mereka memintanya dengan sangat agar ikut dalam gerakan pemberontakan. Oleh karena ia bertindak atas perintah Haji Abdul Karim, propagandanya dengan cepat diterima oleh umum. Haji Marjuki ini juga turut mengobarkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah kafir dan mempropagandakan bahwa untuk melawan pemerintah harus menggunakan cara jihad. Haji Marjuki melanjutkan propagandanya tentang jihad dengan jalan mengunjungi para kiyai tarekat Kadiriah di Tangerang dan Batavia, termasuk Haji Kasiman dari Tegalkunir dan Haji Camang dari Pakojan. Karena mereka menaruh simpati mereka menjanjikan dukungan yang kuat. Mereka siap mengirimkan murid-murid mereka sebagai sukarelawan ke Banten. Oleh karena ia terkenal sebagai orang yang pandai, maka murid-murid yang mengikuti kuliah-kuliahnya selalu banyak. la tidak pernah merahasiakan prinsip-prinsip politiknya.Namun demikian, dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan sahabat-sahabat dan murid-muridnya seusai memberikan kuliah, tidak ada indikasi sedikit pun bahwa ia seorang penganjur gerakan revolusioner di kalangan umat Islam di Indonesia. Begitu pula ia tidak menghasut murid-muridnya agar memberontak dan mematahkan belenggu penguasa-penguasa Kristen. Ia mengecam keras pemberontakan yang dipimpin oleh Haji Wasid sebagai terlalu pagi dan menimbulkan korban jiwa yang sia-sia saja.
4.      Haji Wasid
Haji wasid merupakan pemimpin pemberontak yang baru muncul beberapa tahun sebelum pemberontakan itu pecah. Haji Wasid muncul setelah haji Marjuki telah gagal dalam perencanaan pemberontakan. Ia dengan penuh semangat ikut ambil bagian dalam kegiatan propaganda-propaganda yang ditujukan kepada para kyai  di luar banten. la cukup cerdik untuk menarik keuntungan dari suasana kebangunan agama yang sedang meliputi lingkungannya, dengan jalan mengidentifikasikan urusan-urusan pribadinya dengan kepentingan bersama masyarakatnya. la sangat berpengaruh, tidak hanya dalam kedudukannya sebagai guru agama, tetapi juga karena kepribadiannya yang kuat. Selain itu, ia dikenal sebagai orang yang suka bertengkar dan gampang marah dengan kecenderungan kepada mistik. Namun, kemampuannya untuk mengkoordinasikan pemberontakan tidak perlu diragukan. Hal ini terbukti dengan, pada bulan puasa(Juni 1887) dia mampu mengkoordinisasikan sebuah pertemuaan untuk membahas kelanjutan pemberotakan.
Seperti dijelaskan diawal bahwa untuk menjaga supaya tidak dicurigai oleh pemerintah, para pemimpin beserta pengikutnya ini dalam mengadakan pertemuan tidak secara terang-terangan. Mereka menggunakan kedok pertemuan adat, kenduri, dan ibadah untuk memicarakan rencana pemberontakan. Pada bulan Juni 1887 mereka mengadakan pertemuan yang terutama membicarakan tentang soal mempropagandakan gagasan tentang jihad dan usaha-usaha yang menyertainya, yakni merekrut pengikut, oleh karena para pemimpin pemberontak tahu benar bahwa pemberontakan hanya akan berhasil apabila mengikut sertakan sebagian besar penduduk yang tersebar di daerah yang luas. Sebaliknya, mereka menghendaki kepastian bahwa semua bawahan mereka akan melaksanakan perintah-perintah mereka. Hasil yang telah dicapai oleh para propagandia sejak pertemuan terakhir pada pertengahan tahun 1886, adalah bahwa propaganda tentang rencana pemberontakan itu telah dapat diperluas sampai kepada kiyai-kiyai tertentu di luar Banten. Ini berarti bahwa gerakan revolusioner itu tidak lagi hanya terbatas pada kalangan kecil murid-murid para pemimpin pemberontak di Banten Utara; satu langkah besar ke arah terlaksananya gagasan mengenai suatu pemberontakan yang umum seperti yang telah dikemukakan oleh Haji Marjuki.
Pada tanggal 29 September 1887, kyai-kyai Banten mengadakan pertemuan dalam tempo kurang dari sebulan di Beji, sebagai tamu H. Wasid. Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan selama tiga bulan terakhir tahun 1887, ditandai oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a)      Latihan pencak silat, pencak merupakan bagian yang penting dari pendidikan di pesantren di masa itu. Sejak bertahun-tahun ini merupakan cabang olah raga yang populer di desa-desa, dimana sering diselenggarakan pertandingan pencak di bawah terang bulan. Jenis hiburan rakyat yang tidak terlihat membahayakan ini tidak akan dicurigai oleh pemerintah. Akan tetapi dalam waktu yang bersamaan orang-orang berlatih kelewang di rumah mereka. Dalam periode ini orang dengan mudah melihat bagaimana pencak dengan cepat menjadi populer. Rupa-rupanya olahraga yang populer ini digunakan sebagai kedok untuk menutupi kegiatan yang sebenarnya melatih para pengikut dalam ilmu perang.
b)      Usaha pengumpulan senjata. Dapat dikemukakan bahwa senjata-senjata itu untuk sebagian dibuat oleh para pandai besi setempat, sedangkan sebagian lagi dari persediaan senjata gelap itu diperoleh dari tempat lain, terutama Batavia. Haji Abdulsalam ditugaskan untuk menyediakan senjata-senjata gelap dan ia dibantu oleh Haji Dulgani dan Haji Usman.. pengangkutan senjata-senjata gelap itu berlangsung terus sampai beberapa hari sebelum dimulainya pemberontakan. Pada tanggal 18 Juni 1888, Haji Abdulsalam pulang dari Batavia; dua hari kemudian ia mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Haji Wasid, Haji Usman, dan Haji Sapiudin, dan ia diberi tahu bahwa Haji Wasid akan memulai pemberontakan itu setelah Lebaran Haji, yakni dalam bulan September 1888. Sekali lagi ia diperintahkan untuk membeli senjata di Batavia, bersama-lama dengan Haji Dulgani. Oleh karena itu, maka pada tanggal 22 Juni ia berangkat ke Batavia, dan sekitar delapan hari kemudian ia kembali ke Bojonegoro dengan membawa sekitar 75 golok. Jumlah sebenarnya semua senjata gelap yang telah ia angkut dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya tidak disingkapkan.
c)      Propaganda di luar banten, seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa haji Marjuki telah beberapa kali mengunjungi ulama-ulama di  Tangerang, Bogor, Priangan, dan di Ponorogo. Kegiatan ini dilanjutkan seperti menghasut rakyat dengan membakar semangat mereka dengan kotbah-kotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil, mendorong mereka untuk menggunakan jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan. Sayang sekali, kita boleh dikatakan tak dapat mengetahui sedikit pun tentang pokok pembicaraan mereka. Pertemuan-pertemuan itu sendiri biasanya diadakan bertepatan dengan acara sedekah, sehingga mereka tidak menarik perhatian pejabat-pejabat yang melakukan pengawasan yang ketat. Perang Sabil yang sedang direncanakan jelas merupakan pokok utama pembicaraan-pembicaraan itu. Salah satu contoh yang baik adalah sedekah yang diselenggarakan di Pasilian (Tangerang), pada suatu hari dalam bulan Mei 1888.
Semangat revolusioner semakin menggelora di hati rakyat. Rakyat sudah tidak sabar untuk mengadakan pemberontakan. Yang sangat penting artinya adalah pertemuan pada tanggal 12 bulan Ruwah,atau 22 April 1888, yang diadakan di rumah Haji Wasid di Beji. Pada akhir jamuan, ketiga ratus orang tamu berkumpul di masjid, dimana para kyai dan murid-murid mereka bersumpah bahwa mereka akan ambil bagian dalam Perang Sabil dan mereka berjanji yang melanggar janji akan dianggap sebagai kafir. Selanjutnya mereka berjanji bahwa mereka tidak akan membocorkan rencana mereka pada pihak luar.
Tidak lama sesudah itu, pada akhir Bulan April 1888, para kyai berkumpul lagi di Kaloran, dimana diputuskan bahwa pemberontakan akan dimulaipada bulan Sura (September 1888). Juga diputuskan pembagian para kyai dalam penyerangan yakni ke distrik Cilegon, distrik Serang, distrik Tanaka dan Cikandi, dan distrik Anyer. Setelah setiap kelompok  menyelesaikan tugas di daerah yang telah ditetapkan baginya, mereka harus terus bergerak ke Serang dimana akan berlangsung pertempuran yang menentukan. Mereka dengan khidmat berjanji membunuh semua orang Eropa dan semua pejabat pemerintah. Keputusan lain yang diambil adalah seperti berikut : untuk setiap empat puluh orang akan diangkat seorang pemimpin kelompok, pakaian-pakaian dikumpulkan dan dipakai dalam pertempuran, setiap orang yang telah bersumpah akan menendatangani pengukuhannya secara tertulis. Pemerintah kolonial sebenarnya telah mendengar desas-desus mengenai akan diadakannya Perang Sabil. Hanya mereka tidak tahu hal itu akan terjadi kapan ,dimana dan terhadap siapa perang tersebut akan dilancarkan. Para kyai terus mengadakan pertemuan-pertemuan dan perjalanan selama dua bulan berikutnya. Dan kegiatan mereka mencapai puncaknya antara pertengahan bulan Juni dan hari dimulainya pemberontakan. Mengenai hari pemberontakan belum tercapai kesepakatan. Pada tanggal 15 Juni 1888; atau hari kelima bulan Sawal, beberapa pemimpin terkemuka bertemu di rumah Haji Wasid di Beji, di mana mereka terutama membicarakan soal tanggal dimulainya pemberontakan. Selain tuan rumah, hadir pula Haji Tubagus Ismail, Haji Abubakar, Haji Iskak, Haji Usmar dan Haji Marjuki. Mereka mencapai kata sepakat bahwa pemberontakan dimulai pada tanggal 12 Juli, atau hari ketiga Zulkaidah. Semua kiyai yang akan ikut serta akan diundang untuk menghadiri sebuah pertemuan besar yang menurut rencana akan diadakan pada tanggal 22 Juni atau hari kedua belas bulan Sawal. Pada kesempatan itu, para kiyai akan diyakinkan bahwa keadaan memaksa mereka untuk mengibarkan panji pemberontakan pada hari ketiga bulan Zulkaidah. Haji Wasid mendesak agar pemberontakan tidak dimulai sebelum Bulan Sura (September 1888), sementara Haji Wasid mengusulkan untuk sesegera mungkin mengadakan pemberontakan. Akhirnya dengan pembicaraan yang cukup lama, mereka berdua menghitung tanggal pemberontakan menurut ilmu ramal tradisional. Tanggal yang dipilih adalah 9 Juli 1888.
Pada hari Minggu tanggal 8 Juli 1888. Cilegon menyaksikan sebuah arak-arakan berpakaian putih dan sepotong kain putih yang diikat di kepala. Takbir dan kasidah dengan iringan rebana menambah semaraknya suasana. Kemudian malam harinya, barisan orang-orang yang terus bertambah besar, bersenjata golok dan tombak, dan dipimpin oleh Haji Wasid dan haji Tubagus Ismail, bergerak ke arah Saneja, salah satu tempat pemusatan yang penting, dimana mereka menantikan tanda yang akan diberikan untuk menyerang. Adegan pembukaan tragedi berdarah yang berlangsung selama bulan Juli ini telah direncanakan di Desa saneja tersebut yang berbatasan dengan Cilegon. Sebagai ibukota afdeling Anyer, Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamong praja, Eropa, dan pribumi, yakni asisten residen,kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam, dan pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial.
Serangan pertama dilancarkan di desa Saneja tersebut. Serangan dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail dan menuju ke rumah pejabat-pejabat di Cilegon. Lalu terjadilah peristiwa pertama, yakni penyerangan ke rumah Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten residen. Rumah dikepung oleh pemberontak, namun Dumas lari ke rumah jaksa, istri dan kedua anaknya lari kerumah Ajun kolektor. Sementara peristiwa itu berlangsung di bagian tenggara Cilegon, sepasukan pemberontak diperintahkan untuk menuju Kepatihan. Sejak semula telah jelas bahwa patih merupakan orang yang hendak dibunuh oleh kaum pemberontak. Bukti nyata ketidakpopuleran patih di kalangan rakyat karena patih seringkali bersikap sinis terhadap soal-soal agama dan peraturan-peraturan yang mengikat soal agama. Setibanya di kepatihan, ternyata patih tidak dirumah sehingga pemberontak bergerak ke tempat lain. Serangan umum dilancarkan keesokan harinya. Memang pada saat itu sepasukan pemberontak di bawah pimpinan kyai Haji Tubagus Ismail dan haji Usman dari Aryawinangun sedang menuju gardu di pasar Jombang Wetan. Mukanya ditutupi oleh kain putih. Dari segala jurusan kaum pemberontak, baik yang bersenjata maupun yang tidak berdatangan menuju gardu tersebut.
Pemimpin utama operasi ini adalah Haji Wasid. Atas perintahnya, sebagian kaum pemberontak akan menyerbu penjara untuk membebaskan semua tahanan, sebagian lagi akan menyerang kepatihan , dan sebagian lagi akan menuju ke rumah Asisten Residen. Sementara kaum pemberontakan berkumpul, pejabat-pejabat pamongpraja dan keluarga mereka berusaha menyelamatkan diri dalam suasana ketakutan. Jaksa dan istrinya bersembunyi di rumah Ajun kolektor, sementara Gubels, wedana, dua orang opas dan beberapa orang lain bersembunyi di penjara. Kekerasan dan kekacauan terjadi dimana-mana. Hampir senua pejabat terkemuka di Cilegon jatuh sebagai korban senjata kaum pemberontak yang haus darah. Disini kekuatan asing benar-benar berhadapan dengan kekeuatan kaum pemberontakan. Dalam pertumpahan darah dan penghancuran yang berlangsung, Dumas merupakan korban pertama. Ia jatuh ke tangan Kyai Haji Tubagus ismail, Kamidin dll, di rumah seorang Cina, tan Keng Hok, dan dibunuh di tempat persembunyiannya. Dari informasi yang diberikan, jaksa dan ajun Kolektor jatuh ke tangan pemberontak. Oleh karena mereka sangat dibenci oleh rakyat sehingga mereka langsung dibunuh.
Tempat lainnya yang menjadi ajang amukan rakyat pada hari Senin berdarah itu adalah rumah Asisten residen. Seperti telah dikemukakan di atas, sepasukan pemberontak di bawah pimpinan Kyai haji tubagus ismail bergerak menuju rumah itu. Begitu Abusamad seorang opas melihat kedatangannya,ia menyuruh pelayan-pelayan bersembunyi di sebuah kamar di bagian belakang rumah. Ia sendiri berhasil meloloskan diri dengan jalan melompati tembok halaman belakang rumah. Semua personil lainnya di rumah asisten residen, bersembunyi di  sebuah kamar. Seorang anak Gubels menangis, sehingga diketahui oleh pemberontak maka ia di bunuh tanpa ampun. Begitu juga saudaranya juga dibunuh dengan kejam, namun terhadap pembantunya tidak dbunuh asalkan ia mengucapkan kalimat syahadat. Satu kekejaman lain terjadi di rumah Bachet, kepala penjualan di gudang garam. Karena ia adalah orang Eropa maka ia dibunuh juga. Kemudia pemberontak di bawah pimpinan Lurah Jasim bergerak ke penjara dan membebaskan tahanan sebanyak dua puluh orang. Salah satu dari tahanan yang dibebaskan adalah Agus Suradikaria. Ia adalah penjahat yang kejam, yang akhirnya bergabung dengan kaum pemberontak karena ingin membalas dendan karena telah dipenjarakan oleh pemerintah kolonial.
Sebagian besar pejabat pemerintah dapat dibunuh, yang tidak dibunuh adalah kaum wanita dan para babu yang merupakan pribumi. Setelah itu dilakukan pencarian terhadap orang-orang yang telah melarikan diri. Dikabarkan pemberotak telah mendekat dari arah utara. Grondhout diburu oleh pemberontak yang dipimpin oleh Lurah kasar. Sementara itu banyak satuan pemberontak masih berkeliaran di desa-desa untuk memburu korban mereka. Para pelarian merupakan pejabat dan keluarganya, mereka tidak diperbolehkan tinggal di desa-desa  karena mereka bukan muslim. Di Trate Udik mereka mendapat perlakuan serupa, namun jaro setempat menasihatkan agar mereka menyatakan masuk Islam jika mereka berjumpa dengan pemberontak. Pencarian tetap dilanjutkan, akhirnya Gubbels berhasil ditangkap dan dibunuh. Nasib yang lebih baik di dapat oleh istri dan anak-anak Dumas. Ketika mereka bersembunyi, pintu kamar diketuk dengan keras dan dipaksa untuk membukanya, Istri Dumas memohon supaya tidak dibunuh dengan mengatakan bahwa ia akan masuk Islam. Oleh karena itu ia diampuni oleh kaum pemberontak.
Di tengah gencarnya para pemberontak dalam memberangus para pejabat pemerintah yang dibencinya, terjadi suatu peristiwa yang tragis, takni terbunhnya orang yang tidak bersalah. Tokoh fenomenal yang menjadi salah salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, Wedana Cilegon. Menurut rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu adalah ketika ia akan bermusyawarah dengan para perjuang (peroeseh, Djajadiningrat), namun di antara mereka terdapat seorang tahanan yang sedang menunggu putusan perkara, namanya Kasidin. Kasidin adalah seorang pencuri yang ditangkap oleh Wedana Tjakradiningrat. Kasidin membacok leher Wedana Tjakradiningrat (PAA. Djajdiningrat, 1936:56). Paman PAA. Djajadiningrat, yaitu Raden Astrasoetadiningrat mendapati jenazah Raden Tjakradiningrat tanpa kepala terbaring dijalanan dekat alun-alun, dan kepalanya ditemukan di tempat yang tidak jauh dari tempat badannya terbaring, bersama dua mayat anak dari assisten Resident. Menurut keterangan yang masih belum pasti kebenarannya, jenazah almarhum Wedana Raden Tjakradiningrat dimakamkan di suatu tempat dekat penjara yang kini telah menjadi pemukiman penduduk, kurang lebih 300 meter di sebelah barat perapatan jalan Raya Cilegon-Anyer-Bojonegara, setidaknya terdapat asumsi bahwa di dalam suatu keributan, pertempuran atau pun anarki, sering kali jatuh korban yang tidak berdosa. Dan Raden Tjakradiningrat salah satu korban yang mati sia-sia karena seharusnya beliau tidak mati oleh orang kita sendiri, sebab ia termasuk pejuang yang saat itu sebagai pejabat di dalam pemerintahan.
Karena besarnya kekacauan yang timbul ketika pemberontakan terjadi, banyak korban yang berjatuhan. Paling tidak 17 pejabat pemerintah tewas, dimana 7 diantaranya adalah orang Belanda, dan selebihnya adalah orang pribumi, dan salah satunya Wedana Cilegon yaitu Raden Tjakradiningrat serta seorang Jaksa. Dari pihak pejuang dinyatakan 11 orang gugur, diantaranya Kiyai Haji Wasid, Haji Ismail, Haji Usman, dan kesemuanya merupakan tokoh pahlawan puncak pergerakaan tersebut, selain itu 19 orang gugur dalam perperangan tersebut dan perang terjadi selama tiga minggu, setelah peperangan reda 94 orang pejuang yang tertangkap dibuang oleh para penjajah kedaerah Sumatera, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur.

B.     Proses Terjadinya Gerakan Pemberontakan Petani
Gerakan pemberontakan kaum petani ini dipimpin oleh beberapa elit desa dan tokoh agama. Antara lain Haji Abdul Karim,Kyai Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan lain-lain. Mengingat pentingnya peran mereka dalam pemberontakan, maka akan diuraikan mengenai kegiatan-kegiatan pemimpin itu.
Haji Abdul Karim,ulama besar dan suci di mata rakyat, adalah yang paling menonjol di mata rakyat. Beliau adalah seorang pemimpin agama dan guru Tarekat khadiriyah. Melalui kotbah-kotbahnya ia dapat membakar semangat rakyat agar dapat memperbarui kehidupan agaam dan menjalankan syariat Islam. Dalam kotbahnya ia sering menyampaikan ramalan-ramalan  tentang hari kiamat dan akan datangnya seorang penolong yakni Mahdi. Namun hal ini ia tidak langsung menyuruh pengikutnya untuk memberontak, karena menurutnya, perang Sabil belum waktunya terjadi.
Kyai Haji Tubagus Ismail, ia adalah murid Haji Abdul Karim. Ia termasuk dalam kaum bangsawan Banten yang telah kehilangan semua pengaruh politiknya namun masih memilki prestise sosial di kalangan penduduk. Ia telah beberapa kali naik haji, dan perjalanannya ke mekah itu telah menambah permusuhan dengan pemerintahan kolonial. Kyai haji Tubagus Ismail mulai mengadakan propagandauntuk gerakan pemberontakan melawan pemerintahan kafir.
Haji Marjuki, ia merupakan alim pribumi yang sudah berkali-kali ke Mekah. Ia bersama H. Tubagus Ismail menjalin relasi yang sangat kuat. Haji Marjuki ini juga turut mengobarkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah kafir dan mempropagandakan bahwa untuk melawan pemerintah harus menggunakan cara jihad. Ia adalah pemimpin yang paling agresif dari tokoh yang lain, karena ia yangmengusulkan supaya pemberontakan harus segera dilakukan secepatnya. Namun yang janggal adalah ketika hari pemberotakan akan dilaksanakan, ia justru pulang ke mekah dengan keluarganya ada di sana. Karena hal inilah banyak pendapat nahwa haji Marjuki hanya ingin menyelamatkan dir tanpa ingin terlibat dalam pemberontakan.
Haji wasid, Karena haji Marjuki telah gagal dalam perencanaan pemberontakan, maka muncullah tokoh haji Wasid. Ia dengan penuh semangat ikut ambil bagian dalam kegiatan propaganda-propaganda yang ditujukan kepada para kyai  di luar banten.
Untuk menjaga supaya tidak dicurigai oleh pemerintah, para pemimpin beserta pengikutnya ini dalam mengadakan pertemuan tidak secara terang-terangan. Mereka menggunakan kedok pertemuan adat, kenduri, dan ibadah untuk memicarakan rencana pemberontakan. Sejauh ini tidak tercium gelagat yang buruk oleh pemerintah. Karena ketika seseorang yang akan masuk dalam pertemuan harus mengucapkan sumpah untuk tidak membocorkan rencana pemberontakan
Pada tanggal 29 September 1887, kyai-kyai Banten mengadakan pertemuan dalam tempo kurang dari sebulan di Beji, sebagai tamu H. Wasid. Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan selama tiga bulan terakhir tahun 1887, ditandai oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1.      Latihan pencak silat, pencak merupakan bagian yang penting dari pendidikan di pesantren di masa itu. Sejak bertahun-tahun ini merupakan cabang olah raga yang populer di desa-desa, dimana sering diselenggarakan pertandingan pencak di bawah terang bulan. Jenis hiburan rakyat yang tidak terlihat membahayakan ini tidak akan dicurigai oleh pemerintah. Akan tetapi dalam waktu yang bersamaanorang-orang berlatih kelewang di rumah mereka.Dalam periode ini orang dengan mudah melihat bagaimana pencak dengan cepat menjadi populer. Rupa-rupanya olahraga yang populer ini digunakan sebagai kedok untuk menutupi kegiatan yang sebenarnya melatih para pengikut dalam ilmuperang.
2.      Usaha pengumpulan senjata. Dapat dikemukakan bahwa senjata-senjata itu untuk sebagian dibuat oleh para panai besi setempat, sedangkan sebagian lagi dari persediaan senjata gelap itu diperoleh dari tempat lain, terutama Batavia. Seorang yang bernama Haji Abdulsalam dari Bojonegoro ditugaskan untuk membeli senjata di Batavia.
3.      Propaganda di luar banten, seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa haji Marjuki telah beberapa kali mengunjungi ulama-ulama di  Tangerang, Bogor, Priangan, dan di Ponorogo. Kegiatan ini dilanjutkan seperti menghasut rakyat dengan membakar semangat mereka dengan kotbah-kotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil, mendorong mereka untuk menggunakan jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan.
Semangat revolusioner semakin menggelora di hati rakyat. Rakyat sudah tidak sabar untuk mengadakan pemberontakan. Yang sangat penting artinya adalah pertemuan pada tanggal 12 bulan Ruwah,atau 22 April 1888, yang diadakan di rumah Haji Wasid di Beji. Pada akhir jamuan, ketiga ratus orang tamu berkumpul di masjid, dimana para kyai dan murid-murid mereka bersumpah : pertama, bahwa mereka akan ambil bagian dalam Perang Sabil, kedua, bahwa mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagai kafir, ketiga, bahwa mereka tidak akan membocorkan rencana mereka pada pihak luar.
Tidak lama sesudah itu, pada akhir Bulan April 1888, para kyai berkumpul lagi di Kaloran, dimana diputuskan bahwa pemberontakan akan dimulaipada bulan Sura (September 1888). Juga diputuskan pembagian para kyai dalam penyerangan yakni ke distrik Cilegon, distrik Serang, distrik Tanaka dan Cikandi, dan distrik Anyer.
Setelah setiap kelompok menyelesaikan tugas di daerah yang telah ditetapkan baginya, mereka harus terus bergerak ke Serang dimana akan berlangsung pertempuran yang menentukan. Mereka dengan khidmat berjanji membunuh semua orang Eropa dan semua pejabat pemerintah. Keputusan lain yang diambil adalah seperti berikut : untuk setiap empat puluh orang akan diangkat seorang pemimpin kelompok; pakaian-pakaian dikumpulkan dan dipakai dalam pertempuran; setiap orang yang telah bersumpah akan menendatangani pengukuhannya secara tertulis.
Pemerintah kolonial sebenarnya telah mendengar desas-desus mengenai akan diadakannya Perang Sabil. Hanya mereka tidak tahu hal itu akan terjadi kapan ,dimana dan terhadap siapa perang tersebut akan dilancarkan. Para kyai terus mengadakan pertemuan-pertemuan dan perjalanan selama dua bulan berikutnya. Dan kegiatan mereka mencapai puncaknya antara pertengahan bulan Juni dan hari dimulainya pemberontakan.
Mengenai hari pemberontakan belum tercapai kesepakatan. Haji Marjuki mendesak agar pemberontakan tidak dimulai sebelum Bulan Sura (September 1888), sementara Haji Wasid mengusulkan untuk sesegera mungkin mengadakan pemberontakan. Akhirnya dengan pembicaraan yang cukup lama, mereka berdua menghitung tanggal pemberontakan menurut ilmu ramal tradisional. Tanggal yang dipilih adalah 9 Juli 1888.
Pada hari Minggu tanggal 8 Juli 1888. Cilegon menyaksikan sebuah arak-arakan berpakaian putih dan sepotong kain putih yang diikat di kepala. Takbir dan kasidah dengan iringan rebana menambah semaraknya suasana. Kemudian malam harinya, barisan orang-orang yang terus bertambah besar, bersenjata golok dan tombak, dan dipimpin oleh Haji Wasid dan haji Tubagus Ismail, bergerak ke arah Saneja, salah satu tempat pemusatan yang penting, dimana mereka menantikan tanda yang akan diberikan untuk menyerang.
Adegan pembukaan tragedi berdarah yang berlangsung selama bulan Juli ini telah direncanakan di Desa saneja tersebut yang berbatasan dengan Cilegon. Sebagai ibukota afdeling Anyer, Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamong praja, Eropa, dan pribumi, yakni asisten residen,kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam, dan pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial.
Serangan pertama dilancarkan di desa Saneja tersebut. Serangan dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail dan menuju ke rumah pejabat-pejabat di Cilegon. Lalu terjadilah peristiwa pertama, yakni penyerangan ke rumah Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten residen. Rumah dikepung oleh pemberontak, namun Dumas lari ke rumah jaksa, istri dan kedua anaknya lari kerumah Ajun kolektor.
Sementara peristiwa itu berlangsung di bagian tenggara Cilegon, sepasukan pemberontak diperintahkan untuk menuju Kepatihan. Sejak semula telah jelas bahwa patih merupakan orang yang hendak dibunuh oleh kaum pemberontak. Bukti nyata ketidakpopuleran patih di kalangan rakyat karena patih seringkali bersikap sinis terhadap soal-soal agama dan peraturan-peraturan yang mengikat soal agama.
Setibanya di kepatihan, ternyata patih tidak dirumah sehingga pemberontak bergerak ke tempat lain. Serangan umum dilancarkan keesokan harinya. Memang pada saat itu sepasukan pemberontak di bawah pimpinan kyai Haji Tubagus Ismail dan haji Usman dari Aryawinangun sedang menuju gardu di pasar Jombang Wetan. Mukanya ditutupi oleh kain putih. Dari segala jurusan kaum pemberontak, baik yang bersenjata maupun yang tidak berdatangan menuju gardu tersebut.
Pemimpin utama operasi ini adalah Haji Wasid. Atas perintahnya, sebagian kaum pemberontak akan menyerbu penjara untuk membebaskan semua tahanan, sebagian lagi akan menyerang kepatihan , dan sebagian lagi akan menuju ke rumah Asisten Residen. Sementara kaum pemberontakan berkumpul, pejabat-pejabat pamongpraja dan keluarga mereka berusaha menyelamatkan diri dalam suasana ketakutan.
 Jaksa dan istrinya bersembunyi di rumah Ajun kolektor, sementara Gubels, wedana, dua orang opas dan beberapa orang lain bersembunyi di penjara. Kekerasan dan kekacauan terjadi dimana-mana. Hampir senua pejabat terkemuka di Cilegon jatuh sebagai korban senjata kaum pemberontak yang haus darah. Disini kekuatan asing benar-benar berhadapan dengan kekeuatan kaum pemberontakan.
Dalam pertumpahan darah dan penghancuran yang berlangsung, Dumas merupakan korban pertama. Ia jatuh ke tangan Kyai Haji Tubagus ismail, Kamidin dll, di rumah seorang Cina, tan Keng Hok, dan dibunuh di tempat persembunyiannya. Dari informasi yang diberikan, jaksa dan ajun Kolektor jatuh ke tangan pemberontak. Oleh karena mereka sangat dibenci oleh rakyat sehingga mereka langsung dibunuh.
Tempat lainnya yang menjadi ajang amukan rakyat pada hari Senin berdarah itu adalah rumah Asisten residen. Seperti telah dikemukakan di atas, sepasukan pemberontak di bawah pimpinan Kyai haji tubagus ismail bergerak menuju rumah itu. Begitu Abusamad seorang opas melihat kedatangannya,ia menyuruh pelayan-pelayan bersembunyi di sebuah kamar di bagian belakang rumah. Ia sendiri berhasil meloloskan diri dengan jalan melompati tembok halaman belakang rumah. Semua personil lainnya di rumah asisten residen, bersembunyi di  sebuah kamar. Seorang anak men Gubels menangis, sehingga diketahui oleh pemberontak maka ia di bunuh tanpa ampun. Begitu juga saudaranya juga dibunuh dengan kejam, namun terhadap babunya tidak dbunuh asalkan ia mengucapkan kalimat syahadat.
Satu kekejaman lain terjadi di rumah Bachet, kepala penjualan di gudang gaam. Karena ia adalah orang Eropa maka ia dibunuh juga. Kemudia pemberontak di bawah pimpinan Lurah Jasim bergerak ke penjara dan membebaskan tahanan sebanyak dua puluh orang. Salah satu dari tahanan yang dibebaskan adalah Agus Suradikaria. Ia adalah penjahat yang kejam, yang akhirnya bergabung dengan kaum pemberontak karena ingin membalas dendan karena telah dipenjarakan oleh pemerinah kolonial.
Sebagian besar pejabat pemerintah dapat dibunuh, yang tidak dibunuh adalah kaum wanita dan para babu yang merupakan pribumi. Setelah itu dilakukan pencarian terhadap orang-orang yang telah melarikan diri. Dikabarkan pemberotak telah mendekat dari arah utara. Grondhout diburu oleh pemberontak yang dipimpin oleh Lurah kasar. Sementara itu banyak satuan pemberontak masih berkeliaran di desa-desa untuk memburu korban mereka.
Para pelarian merupakan pejabat dan keluarganya, mereka tidak diperbolehkan tinggal di desa-desa  karena mereka bukan muslim. Di Trate Udik mereka mendap perlakuan serupa, namun jaro setempat menasihatkan agar mereka menyatakan masuk Islam jika mereka berjumpa dengan pemberontak. Pencarian tetap dilanjutkan, akhirnya Gubbels berhasil ditangkap dan dibunuh. Nasib yang lebih baik di dapat oleh istri dan anak-anak Dumas. Ketika mereka bersmbunyi, pintu kamar diketuk dengan keras dan dipaksa untuk membukanya, Istri Dumas memohon supaya tidak dibunuh dengan mengatakan bahwa ia akan masuk Islam. Oleh karena itu ia diampuni oleh kaum pemberontak.
Di tengah gencarnya para pemberontak dalam memberangus para pejabat pemerintah yang dibencinya, terjadi suatu peristiwa yang tragis, takni terbunhnya orang yang tidak bersalah. Tokoh fenomenal yang menjadi salah salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, Wedana Cilegon, yang menurut PAA. Djajadiningrat “....tempat kediamannya tidak didekat orang Eropah atau dekat Ambtenar boemi-poetra jang lain......” (1936:55). Menurut rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu adalah ketika ia akan bermusyawarah dengan para perjuang (peroeseh, Djajadiningrat), namun di antara mereka terdapat seorang tahanan yang sedang menunggu putusan perkara, namanya Kasidin. Kasidin adalah seorang pencuri yang ditangkap oleh Wedana Tjakradiningrat. Catatan Djajdiningrat berikutnya, menunjukkan bahwa ketika Tjakradiningrat dikepung oleh para perjuang, terdengar suara “.....djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !” tapi Kasidin yang ada pada kerumunan tersebut, melompat kemuka terdengar suara “..... ini jang mesti didahoeloekan !” dan pada saat berikutnya Kasidin membacok leher Wedana Tjakradiningrat (PAA. Djajdiningrat, 1936:56).
Paman PAA. Djajadiningrat, yaitu Raden Astrasoetadiningrat mendapati jenazah Raden Tjakradiningrat tanpa kepala terbaring dijalanan dekat alun-alun, dan kepalanya ditemukan di tempat yang tidak jauh dari tempat badannya terbaring, bersama dua mayat anak dari assisten Resident. Menurut keterangan yang masih belum pasti kebenarannya, jenazah almarhum Wedana Raden Tjakradiningrat dimakamkan di suatu tempat dekat penjara yang kini telah menjadi pemukiman penduduk, kurang lebih 300 meter di sebelah barat perapatan jalan Raya Cilegon-Anyer-Bojonegara, setidaknya terdapat asumsi bahwa di dalam suatu keributan, pertempuran atau pun anarki, sering kali jatuh korban yang tidak berdosa. Dan Raden Tjakradiningrat salah satu korban yang mati sia-sia karena seharusnya beliau tidak mati oleh orang kita sendiri, sebab ia termasuk pejuang yang saat itu sebagai pejabat di dalam pemerintahan
Karena besarnya kekacauan yang timbul ketika pemberontakan terjadi, banyak korban yang berjatuhan. Paling tidak 17 pejabat pemerintah tewas, dimana 7 diantaranya adalah orang Belanda, dan selebihnya adalah orang pribumi, dan salah satunya Wedana Cilegon yaitu Raden Tjakradiningrat serta seorang Jaksa. Dari pihak pejuang dinyatakan 11 orang gugur, diantaranya Kiyai Haji Wasid, Haji Ismail, Haji Usman, dan kesemuanya merupakan tokoh pahlawan puncak pergerakaan tersebut, selain itu 19 orang gugur dalam perperangan tersebut dan perang terjadi selama tiga minggu, setelah peperangan reda 94 orang pejuang yang tertangkap dibuang oleh para penjajah kedaerah Sumatera, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur.
                                                                               
C.     Penumpasan dan Kelanjutan Gerakan Pemberontakan Petani
Distrik-distrik di bagian barat Afdeling Serang dapat dianggap merupakan bagian dari daerah utama pemberontakan bulan Juli 1888. Sebelum gelombang pemberontakan dapat mencapai ibukota Keresidenan Banten, reaksi dari pihak pemerintah sudah berjalan. Pada saat daerah di sekitar Serang hendak meledak menjadi suatu pemberontakan umum, kaum pemberontak menerima kabar buruk bahwa pasukan induk mereka telah dibubarkan. Tanda-tanda akan terjadinya huru-hara segera mereda dan pemberontakan tidak terjadi di Serang.
Setelah Cilegon diduduki dan diranjah, kaum pemberontak bergerak menuju Serang. Haji Wasid memimpin anak-buahnya menuju kota itu pada sore hari itu juga, tanggal 9 Juli. Sejak sernula pemimpin pemberontak itu, tak disangsikan lagi telah merencanakan hendak merebut ibukota keresidenan itu dan membantai pamong prajanya, baik yang Eropa maupun yang pribumi. Sementara kaum pemberontak sedang merajalela di Cilegon, semua pasukan pemberontak dari Trumbu dan Bendung dipusatkan di Kaloran dan Kaujon - di pinggir kota Serang - dan bersiap-siap hendak menyerbu kota itu. Tidaklah mungkin untuk memastikan bagaimana kesudahan pemberontakan itu andaikata pasukan-pasukan tersebut diperintahkan memasuki kota. Mengingat hal itu, menjadi jelaslah bahwa pertempuran antara kaum pemberontak dan pasukan tentara di Toyomerto merupakan peristiwa yang sangat penting yang menentukan jalannya pemberontakan. Seandainya pertempuran di Toyomerto berkesudahan lain, maka kaum pemberontak tentunya akan berusaha menduduki Serang sesuai dengan rencana mereka dan membantai pamong praja yang begitu mereka benci. Dalam kenyataannya, rencana-rencana kaum pemberontak seperti yang diungkapkan dalam sidang-sidang pengadilan di kemudian hari sedikit pun tak memberikan informasi tentang kekejaman-kekejaman yang dimaksudkan itu, yang akan dilakukan apabila mereka berhasil menduduki Serang.
1.      Pertempuran di Toyomerto
Pada petang hari tanggal 9 Juli kaum pemberontak diliputi semangat yang tinggi dan merasa yakin bahwa tidak lama lagi mereka akan berada di Serang. Sepanjang pagi hari itu, pasukan pemberontak satu demi satu berangkat menuju ibukota; mereka membentuk satu barisan dan, di bawah pimpinan Haji Wasid dan kawan-kawannya, maju terus. Di pagi hari itu juga, setelah mereka menyadari bahwa apa yang mereka sedang hadapi itu bukan sekedar soal perampokan, pejabat- pejabat di Serang memutuskan untuk mengirimkan pasukan tentara dengan 28 senjata api untuk memulihkan ketertiban di Cilegon. Ke sanalah Bupati dan Kontrolir Serang, bersama-sama dengan Letnan van der Star - komandan pasukan - memimpin pasukan tentara tersebut. Pada saat pemerintah sudah memulai tindakan-tindakan penumpasannya itu, pasukan-pasukan pemberontak baru saja mulai bergerak ke arah Kramat Watu. Mereka sedang mendekati tempat mereka harus melewati jalan yang lekung, ketika dengan tiba-tiba mereka diserang oleh kaum pemberontak yang menghujani mereka dengan batu dari atas lereng-lereng bukit. Serdadu-serdadu membalas dengan beberapa tembakan, dan itu sudah cukup untuk menghalau kaum pemberontak dari jalan. Beberapa tembakan lagi dilepaskan ke arah pemberontak-pemberontak yang sedang melarikan diri, yang lalu menghilang di baik pepohonan. Setelah terhindar dari penghadangan itu, konvoi meneruskan perjalanan menuju Cilegon dalam keadaan siap siaga dan siap tempur. Ketika mereka mendekati Toyomerto, mereka melihat kerumunan orang-orang bersenjata yang menutup jalan. Sementara pasukan tentara mendekat, kaum pemberontak mendapat balabantuan dari pelbagai jurusan. Pada jarak sekitar dua ratus meter dari kerumunan orang itu, Bupati dan Kontrolir turun dari dokar dan menghampiri mereka. Bupati berusaha membujuk mereka agar tidak meneruskan rencana mereka, akan tetapi sia-sia; kaum pemberontak menjawab dengan teriakan-teriakan "Sabil Allah" yang berapi-api. Bupati memperingatkan bahwa tentara akan melepaskan tembakan jika mereka tidak bubar, dan memerintahkan kepada mereka supaya meletakkan senjata. Akan tetapi peringatannya itu tidak diindahkan dan sebagai tantangan sebuah tembakan dilepaskan ke arah Bupati dan Kontrolir. Oleh karena kedua orang itu takut dikepung oleh kerumunan pemberontak, pimpinan diambil alih oleh van der Star, yang tiga kali memerintahkan kaum pemberontak supaya bubar. Lalu tentara melepaskan tembakan; mereka menewaskan sembilan pemberontak dan melukai banyak lainnya. Sisanya melarikan diri sambil berlindung di pepohonan. Ketika patroli menghampiri tempat pemberontak-pemberontak yang kena tembakan menggeletak, salah seorang di antara korban-korban itu melompat dan menerjang barisan depan tentara dengan kelewangnya. Pergulatan singkat berlangsung antara penyerang itu dan seorang kopral bernama Daams. Beberapa detik kemudian serentetan tembakan dilepaskan ke arah pemberontak itu yang tewas seketika. Setelah insiden ini, tentara dapat maju langsung ke Cilegon.
Kaum pemberontak mengalami satu pukulan yang hebat ketika mereka menyadari bahwa, walaupun mereka yakin akan kekebalan mereka terhadap peluru musuh, tak urung bentrokan dengan tentara pemerintah di Toyomerto berakhir dengan tewasnya sejumlah kawan seperjuangan mereka di samping banyak lainnya yang luka-luka. Selain dari itu, mereka sangat terkejut ketika untuk pertama kalinya melihat senapan jenis baru –yakni senapan repetir-yang digunakan oleh tentara pemerintah pada waktu terjadinya pemberontakan Wakhia dalam tahun 1850. Efeknya adalah suatu psikosis yang meluas di kalangan pemberontak yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap kecewa; dan sebagai akibatnya, mereka kehilangan semangat untuk meneruskan perjuangan guna mencapai cita-cita pemberontakan.
Sesungguhnya moril kaum pemberontak dapat dikatakan sudah dipatahkan dan dengan bercerai-berainya pasukan induk mereka setelah bentrokan di Toyomerto itu, pemberontakan mulai surut. Oleh karena itu kekalahan di Toyomerto dapat dianggap sebagai titik balik dalam jalannya pemberontakan itu.
2.      Operasi Pertolongan
Sekitar pukul empat sore, patroli memasuki pusat kekacauan, Cilegon. Begitu mendengar kabar tentang kedatangan mereka, para tawanan yang ditinggalkan oleh kaum pemberontak yang melarikan diri, bergegas menyongsong mereka. Penduduk setempat, yang tetap tinggal di kota, mundur ketika pasukan tentara mendekat, tanpa menunjukkan sikap melawan sedikit pun. Induk pasukan pemberontak yang bertugas menjaga Cilegon malahan sudah melarikan diri ke luar kota. Tentara berbaris menuju penjara, membuat pertahanan dan menyiapkan persediaan bahan makanan untuk beberapa hari dengan jalan mengambil kambing, ayam dan batas dari kampung-kampung yang sudah ditinggalkan oleh penduduknya. Sepanjang malam hari dari tanggal 9 sampai 10 Juli segala sesuatunya nampak tenang di Cilegon, hanya terdengar beberapa tembakan yang dilepaskan oleh penjaga ke arah segerombolan pemberontak yang terlihat di dekat penjara. Oleh karena pasukan tentara itu tidak besar, maka banyak pemberontak menjadi berani lagi dan mereka membuat rencana untuk melakukan serangan mendadak terhadap pasukan itu pada malam hari. Sekitar tengah malam sejumlah besar pemberontak di bawah pimpinan Haji Wasid dan Kiyai Haji Tubagus Ismail berkumpul di alun-alun. Dua kali mereka mencoba mendekati penjara, akan tetapi tiap kali beberapa tembakan sudah cukup untuk menghalau penyerang-penyerang itu. Sekitar pukul tiga dini hari kaum pemberontak menembaki penjaga; akan tetapi serangan yang diperkirakan akan segera terjadi, tak kunjung datang. Kaum pemberontak menghilang dalam gelap malam. Tak disangsikan lagi bahwa tak seorang pun di dalam penjara dapat tidur nyenyak pada malam itu. Keesokan harinya datang seorang kurir dari Serang membawa kabar bahwa bala bantuan dari Batavia sudah dalam perjalanan. Perlu dicatat bahwa baru sekitar pukul 10.30 pagi hari dan itu pun setelah ditawarkan hadiah sebesar lima puluh gulden, ada orang yang bersedia membawa sebuah pesan tertulis ke Serang. Hal itu tidak mengherankan, oleh karena mereka mengetahui bahwa masih banyak pemberontak yang berkeliaran. Sementara itu, istri-istri dan anak-anak para pejabat yang telah dibunuh keluar dari persembunyian mereka dan mencari perlindungan di penjara. Berangsur-angsur rakyat berdatangan untuk minta perlindungan tentara. Kepala Desa Jombang Wetan, atas nama penduduk desanya, minta agar mereka diizinkan kembali ke rumah mereka masing-masing. Perlu diketahui, bahwa selama terjadi huru-hara bagian terbesar dari mereka telah melarikan diri dan bersembunyi di tempat lain. Permintaan itu diluluskan dengan syarat bahwa penduduk desa itu harus menyumbangkan tenaga kerja untuk keperluan operasi pertolongan - seperti mengubur mayat - dan bahwa kepala desa itu sendiri akan dijadikan sandera untuk menjamin kelakuan baik penduduk desanya.
Setibanya di Anyer Lor pada hari Senin tanggal 9 Juli, Raden Penna dengan terburu-buru mengumpulkan orang-orang yang bersedia menyertainya untuk segera berangkat menuju Serang. Dalam keadaan ketakutan setelah mendengar cerita tentang peristiwa yang menyeramkan di Cilegon, kebanyakan orang Eropa di Anyer Lor tidak hanya menolak untuk ikut malahan mencari perlindungan di kapal Jerman "Elisabeth" yang sedang bersauh di pelabuhan. Keesokan harinya Raden Penna dan van Rinsum berhasil mengumpulkan sekitar tiga belas orang; mereka berangkat menuju Cilegon, dengan hanya bersenjatakan 2 senapan Beaumont, 2 senapan berburu, 2 senapan lantakan dan beberapa tombak. Antara Anyer Lor dan Cigading mereka tak melihat manusia seorang pun, akan tetapi ketika mereka sudah sampai di dekat Cilegon mereka melihat di kejauhan kerumunan orang yang kemudian bubar ketika detasemen dari Anyer Lor itu mendekat. Mereka juga mendengar dua tembakan meriam, akan tetapi baru setelah mereka sampai di Cilegon mereka mengetahui bahwa sebuah patroli militer dari Serang sudah tiba duluan di sana. Tidak lama setelah Raden Penna dan pasukannya sampai di Cilegon, satu pasukan besar kaum pemberontak di bawah pimpinan Haji Sapiudin dari Leuwibeureum melintasi jalan raya antara Anyer dan Cilegon, dan bergerak ke utara. Ketika mendengar kabar itu, Raden Penna dan pasukannya menyadari bahwa mereka telah lolos dari satu bahaya yang besar.
Pada pagi hari itu juga sepasukan tentara dari Batavia, yang berkekuatan satu batalyon, mendarat di pelabuhan Karangantu. Kedua tembakan meriam tersebut di atas sebenarnya dimaksudkan sebagai tanda kedatangan mereka. Dalam waktu yang bersamaan, sebuah skadron kavaleri juga sudah dalam perjalanan menuju Serang. Pengiriman detasemen-detasemen tentara yang kuat itu disebabkan oleh tersiarnya desas-desus yang sampai di Batavia yang menyatakan bahwa pemberontakan sudah berkobar di seluruh Banten dan bahwa Serang sedang dikepung oleh lima ribu orang pemberontak. Pengiriman bala bantuan yang begitu kuat itu untuk sebagian juga disebabkan karena pemerintah pusat telah menerima informasi yang samar-samar dari pejabat-pejabat di Banten selama hari-hari pertama pemberontakan. Setelah turun dari kapal, kompi pertama diperintahkan menuju Serang dan dari sana melanjutkan perjalanan ke Cilegon. Ketika detasemen itu bergerak menuju Serang, banyak orang berdiri di sepanjang jalan. Baru kemudian diketahui bahwa mereka bukan sekedar penonton, melainkan partisan-partisan dari Trumbu dan Kaganteran yang bermaksud menyerang pasukan tentara itu dalam perjalanan mereka. Bahwasanya hal itu tidak sampai terjadi mungkin disebabkan besarnya pasukan itu yang membuat kaum pemberontak membatalkan niat mereka.
Mengenai nasib kaum pemberontak setelah terjadi bentrokan di Toyomerto, rupa-rupanya bagian terbesar dari mereka bubar setelah bentrokan yang celaka itu. Dengan larinya banyak pemimpin mereka, induk pasukan pemberontak dibubarkan. Akan tetapi pemimpin-pemimpin yang paling terkemuka masih mempunyai sejumlah besar anak buah. Mereka membentuk pasukan yang rupa-rupanya telah mencoba menyerang penjara Cilegon pada malam hari Senin. Mereka nampaknya tetap berada di pinggir kota Cilegon selama sebagian dari hari berikutnya. Kaum pemberontak mulai memusatkan kekuatan mereka dengan maksud menyerang Cilegon untuk kedua kalinya. Kedua tembakan meriam tersebut di atas telah menimbulkan kebingungan yang besar di kalangan pemimpin-pemimpin pemberontak. Haji Wasid dan banyak haji lainnya berpendapat bahwa kedua tembakan meriam itu merupakan isyarat kedatangan Kiyai Agung, Haji Marjuki, dan syekh-syekh lainnya yang akan bergabung dengan mereka. Akan tetapi Agus Suradikaria tetap bersikeras bahwa tentara pemerintah kolonial sedang bergerak menuju Cilegon. Ia mengingatkan kembali bahwa dalam pemberontakan tahun 1850, pasukan tentara di bawah pimpinan Letnan Kolonel de Brauw telah mendarat di Bojonegoro; tindakan serupa mungkin telah diambil pula kali ini. Setelah mendengar penjelasan ini, banyak pemberontak dari distrik itu, yang lebih cenderung untuk mempercayai Suradikaria daripada Haji Wasid, cepat-cepat kembali ke desa mereka untuk menyelamatkan keluarga mereka. Jelaslah bahwa dalam keadaan seperti itu, Haji Wasid terpaksa membatalkan semua rencana untuk melancarkan serangan yang kedua. Sesungguhnya inisiatif telah terlepas dari tangan kaum pemberontak dan sekarang beralih ke pihak pejabat-pejabat pemerintah, militer dan sipil. Dengan tibanya bala bantuan dari Batavia, pejabat-pejabat pemerintah akhirnya merasa aman dan mulai merencanakan tindakan-tindakan yang akan diambil untuk menawan pemimpin-pemimpin pemberontak yang masih berkeliaran dan untuk menindas kerusuhan-kerusuhan yang masih berkobar di beberapa tempat.
3.      Tindakan Ekspedisi Militer
Untuk menumpas pemberontakan yang sudah hampir padam itu, dikirimkan pasukan-pasukan ekspedisi ke pelbagai jurusan. Pasukan-pasukan militer yang mengadakan patroli pada umumnya dimaksudkan untuk memamerkan kekuatan; selain itu mereka ditugaskan untuk melakukan penangkapan-penangkapan dan mengambil tindakan-tindakan terhadap kaum pemberontak. Patroli-patroli itu rupa-rupanya dimaksudkan untuk menenangkan banyak penduduk ibukota itu yang masih belum pulih dari kepanikan mereka. Pejabat-pejabat pemerintah, bersama-sama dengan satuan-satuan militer, benar-benar sibuk dengan usaha untuk memulihkan ketentraman di afdeling Cilegon, mengingat bahwa pemberontakan yang telah melanda daerah itu sangat hebat. Sasaran pertama operasi pasukan-pasukan ekspedisi itu adalah desa-desa asal pemimpin-pemimpin terkemuka pemberontak, oleh karena pasukan yang melakukan pengejaran nampaknya telah kehilangan jejak mereka, sedangkan informasi yang diberikan oleh penduduk sering kali sangat menyesatkan. Usaha pencarian yang dilancarkan di daerah sekitar desa-desa asal pemimpin-pemimpin pemberontak itu lebih berhasil oleh karena daerah-daerah itu telah dijadikan pangkalan operasi pemberontak.
Tidak lama setelah tiba di Cilegon, Residen Banten dan pejabat-pejabat lainnya mengadakan pembicaraan mengenai situasi dan tindakan penumpasan yang akan diambil. Banyak pemberontak, termasuk pemimpin-pemimpin mereka yang terkemuka, telah mengundurkan diri ke Beji, mereka memutuskan untuk mengirimkan sebuah detasemen penghukum ke sana dengan perintah untuk menangkap pelarian-pelarian itu. Sesuai dengan keputusan itu, pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten de Brauwn bergerak ke utara melalui desa-desa : Kapendilan, Beberan, Tangkurak, Kubanglaban Lor, lalu membelok ke timur melalui Kajuruan dan Kubangwatu sampai di Gunungsantri Kulon, di mana mereka berhenti sampai fajar. Pasukan harus bergerak maju dengan hati-hati sekali oleh karena banyak di antara penduduk desa-desa itu telah ikut aktif dalam pemberontakan. Ketika mereka melewati desa Kajuruan mereka melihat lampu masih menyala di rumah-rumah dan penduduk masih belum tidur. Nampaknya banyak penduduk sedang berkumpul, termasuk orang-orang dari desa-desa lain. Tiba-tiba dua orang yang bersenjata kelewang tampil ke depan. Kontrolir minta agar mereka menyerah dan meletakkan senjata. Mendengar seruan itu, kedua orang melompat maju sambil mengayunkan kelewang. Tentara melepaskan tembakan ke arah mereka. Kontrolir lalu memerintahkan penduduk agar tinggal di rumah masing-masing, dan siapa yang membangkang akan ditembak mati. Peringatan itu berhasil dan orang-orang cepat-cepat pulang ke rumah masing-masing. Terkecuali insiden ini, tidak nampak adanya perlawanan; penduduk desa hanya mundur. Jalan besar ke Beji melalui Gunungsantri Kidul, akan tetapi pasukan itu tidak menempuh jalan ini, melainkan memilih jalan yang mengitar dan lebih berat. Hal itu dilakukan karena dikhawatirkan penduduk Gunungsantri Kulon akan dikagetkan oleh kedatangan mereka. Kira-kira pada saat fajar menyingsing mereka sudah sampai di pinggir persawahan yang mengelilingi Beji.
Sementara itu ada usaha lain untuk sampai di Beji melalui jalan lain. Usaha itu dilakukan oleh pasukan tentara di bawah pimpinan Kapten Hojel, Raden Penna dan van Rinsum, yang mengambil jalan pintas melalui Pecek, Tunggak, Wadas dan Gunungsantri. Mereka tiba di sebelah selatan Beji kira-kira pada waktu yang bersamaan dengan kedatangan pasukan di bawah pimpinan de Brauw. Sebuah satuan kavaleri ditempatkan di sebelah selatan desa itu. Beji dikepung menurut rencana yang sudah dibuat, dan akan diserang pada saat matahari terbit. Persiapan-persiapan dilakukan secara rahasia agar tidak diketahui oleh penduduk Beji. Namun demikian, entah bagaimana, rupa-rupanya mereka telah mendapat peringatan tentang akan datangnya pasukan militer itu, oleh karena ketika pasukan memasuki Beji, mereka mendapatkan desa itu hampir kosong sama sekali; yang mereka jumpai hanyalah orang-orang yang sudah tua atau yang sedang sakit. Melihat lampu-lampu yang masih menyala di rumah-rumah, besar kemungkinan penduduk telah meninggalkan rumah mereka secara tergesa-gesa. Ekspedisi telah gagal dalam melaksanakan tugasnya.
Setelah menerima laporan bahwa pemimpin-pemimpin pemberontak sedang bersembunyi di Ciora Kulon, pasukan bergerak ke barat, akan tetapi dalam perjalanan menuju desa itu diputuskan bahwa mereka terlebih dulu akan menuju Kedung dan Trate Udik. Kedua desa itu sangat terkenal karena di sana terdapat banyak pemberontak. Penduduk beberapa desa yang dilalui pasukan ketakutan ketika melihat tentara itu; mereka takut bahwa juga desa mereka akan dibakar. Oleh karena itu mereka berusaha keras untuk bersikap ramah dan menawarkan makanan dan minuman kepada anggota-anggota tentara itu. Akan tetapi di Kedung tak seorang pun nampak kecuali dua orang laki-laki yang sedang duduk-duduk di pintu masuk desa. Ketika mereka mengetahui bahwa mereka telah terlihat, mereka mencoba melarikan diri; seorang di antara mereka dapat ditangkap sedangkan yang lainnya menghilang di balik rumah-rumah. Desa itu lalu dikepung dan rumah-rumah digeledah, namun tanpa hasil apa-apa; orang yang melarikan diri itu tidak ditemukan.
Sasaran berikutnya adalah Trate Udik. Desa itu dikepung dan digeledah dengan seksama. Seorang bekas juru tulis desa memberitahukan tempat persembunyian Haji Mahmud, dan serdadu-serdadu segera menuju tempat itu. la ditemukan sedang minum teh di rumahnya, dan di luar dugaan pengejar-pengejarnya, ia menyerah tanpa melawan sedikit pun. Pemburuan terhadap kaum pemberontak dilanjutkan akan tetapi tanpa hasil. Menghadapi "komplotan tutup mulut" dari pihak penduduk, pihak berwajib terpaksa mengambil tindakan-tindakan drastis.
Pada tanggal 13 Juli, sebuah detasemen di bawah Letnan van Winning dikirimkan ke bagian barat daya Distrik Cilegon, oleh karena pemerintah telah menerima laporan bahwa suami-istri Grondhout telah dibunuh di dekat Kusambi Buyut. Pasukan itu melakukan penggeledahan namun tak berhasil, oleh karena penduduk setempat tidak mau memberitahukan di mana mayat kedua orang itu disembunyikan. Oleh karena itu, penduduk desa, termasuk pemuka-pemuka mereka, dicurigai bersekutu dengan kaum pemberontak. Dalam perjalanan ke dan dari Kusambi Buyut, pasukan menangkap dua orang haji dari Bangu, yang berpakaian seperti penduduk biasa; sesudah itu, dua pemberontak ditawan di Tegalwangi. Wedana Kramat Watu memberitahukan kepada komandan pasukan bahwa baik Haji Wasid maupun Haji Kasiman tidak berada di sana. Seorang kemenakan Haji Kasiman mencoba melarikan diri ke sawah dan tidak mengindahkan perintah pasukan kavaleri untuk menyerah. Rumah Haji Kasiman dibakar. Perlu dikemukakan bahwa pada hari itu juga, sebuah detasemen lainnya dikirimkan ke Saneja dengan perintah untuk mengepung desa itu dan menawan Haji Iskak. Sudah tentu ia sudah melarikan diri.
Operasi menegakkan hukum benar-benar berjalan lancar setelah tibanya pasukan ekspedisi di daerah itu. Selama tiga minggu mereka sibuk melakukan pengejaran di pelbagai distrik afdeling Cilegon. Baru pada minggu ketiga operasi pengejaran diperluas ke bagian barat Kabupaten Caringin dan Lebak. Boleh dikatakan tiap tempat yang dapat dijadikan tempat persembunyian pemimpin-pemimpin pemberontak digeledah. Para tawanan dan penduduk desa dipaksa untuk memberikan keterangan-keterangan yang memungkinkan dilakukannya penangkapan-penangkapan lebih lanjut. Akan tetapi pejabat-pejabat pemerintah segera berkesimpulan bahwa cara-cara itu tidak ada gunanya.
Pada tanggal 14 Juli tentara diperintahkan bergerak ke tiga arah yang berlainan. Pasukan pertama di bawah komando Kapten Hojel bergerak ke arah Cibeber untuk mencari pemberontak-pemberontak yang luka dalam bentrokan di Toyomerto. Pagi hari itu juga pasukan itu kembali dengan membawa seorang laki-laki yang terluka dan sekitar 25 orang yang dicurigai. Sementara itu, sebuah detasemen lainnya bergerak ke arah Bagendung untuk meneruskan usaha mencari suami-istri Grondhout. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh dua orang tawanan yang hadir dalam peristiwa pembunuhan itu, pasukan ketiga ditugaskan menggeledah desa Tunggak, tempat Kiyai Tunggak yang luka-luka dan banyak partisan pemberontakan bersembunyi: Kiyai yang terkenal itu telah menghilang; hanya penduduk baik-baik saja yang masih tinggal. Dalam perjalanan kembali ke Cilegon, pasukan menggeledah dua desa lainnya, Mamengger dan Pecek, namun sia-sia. Hanya tiga orang yang dicurigai ditawan.
Pengejaran dilakukan dengan gesit sekali, namun hasilnya rupa-rupanya cukup mengecewakan, karena mereka tidak berhasil menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak yang sudah selama satu minggu dikejar-kejar. Sementara itu orang-orang yang ditawan sudah mencapai jumlah sekitar 150, akan tetapi seperti telah dikemukakan di atas, tentara nampaknya telah kehilangan semua jejak pemimpin-pemimpin pemberontak yang terkemuka. Rumah mereka dan rumah anggota-anggota kerabat mereka yang dekat sudah kosong, dan rupa-rupanya mereka selalu berhasil meloloskan diri setiap kali tentara mengepung desa mereka. Soal bagaimana caranya untuk dapat menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak itu benar-benar memusingkan pejabat-pejabat pemerintah. Setelah pengejaran berlangsung selama satu minggu tanpa berhasil, semua kepala desa afdeling Cilegon dikumpulkan oleh Residen pada tanggal 17 Juli. Bupati Serang angkat bicara dan menjelaskan pandangan dan keputusan-keputusan pemerintah mengenai situasi. Dalam pidatonya itu ia menandaskan kewajiban mereka untuk membantu pemerintah dalam usaha mengejar dan menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak dan pengikut-pengikut mereka. Pemerintah menawarkan hadiah sebesar lima ratus gulden kepada barangsiapa dapat menyerahkan Haji Wasid, Kiyai Haji Tubagus Ismail dan tokoh-tokoh terkemuka tertentu dalam pemberontakan itu, dalam keadaan hidup atau mati. Kepala-kepala desa itu lalu menjanjikan bantuan mereka dengan mengiyakan tanpa menunjukkan sikap bersungguh-sunguh.
4.      Pemberontak Berjuang Terus
Sebagai akibat dibakarnya desa-desa, kaum pemberontak terpaksa beralih ke strategi yang bersifat defensif semata-mata. Rencana Haji Wasid untuk bertahan di daerahnya sendiri - daerah sekitar Beji dan Gunung Gede - mendapat pukulan hebat, oleh karena ia kehilangan basis operasinya yang utama. la tidak mungkin mengerahkan kembali pasukan pemberontak dalam jumlah yang besar dan satu-satunya alternatif adalah melanjutkan perjuangan selama mungkin dengan menggunakan taktik kejar-lari. Setelah pasukan pemerintah menyerang daerah yang mempunyai arti paling penting bagi kaum pemberontak, mereka tanpa henti-hentinya mengejar pemimpin-pemimpin pemberontak yang masih berkeliaran dengan anak-buah mereka yang sedikit jumlahnya. Meskipun kampanye penumpasan yang pertama tidak begitu berhasil, namun pasukan-pasukan pemberontak yang paling besar sudah bercerai-berai.
Setelah terjadinya pemberontakan itu, timbul suatu kekosongan politik di seluruh afdeling Cilegon. Ada beberapa lamanya pejabat-pejabat pamongpraja tidak berani kembali ke pos mereka karena takut menjadi korban pembunuhan kaum pemberontak yang masih berkeliaran di daerah itu.
Saat induk pasukan pemberontak telah cepat-cepat meninggalkan Cilegon, dalam ketakutan setelah mendengar kabar tentang akan datangnya tentara dari Batavia. Haji Wasid dan anak-buahnya pergi ke utara. Rupa-rupanya pada tanggal 11 Juli Haji Wasid berada di Kaligandu, sebelah barat Beji, di mana ia singgah sebentar di rumah Haji Nasiman. Keesokan harinya ia menuju rumah Haji Madam di Ciora Kulon. Dengan tergesa-gesa ia mengumpulkan kembali pasukannya yang berjumlah seratus lima puluh orang. Pada tanggal 13 Juli pasukan Haji Wasid bergerak ke Gunung Gede, yang merupakan tempat yang baik sekali untuk bertahan. Sementara itu mereka terus-menerus menghadapi kesulitan dan rintangan yang semakin besar.
Setelah dikejar terus-menerus sehingga mereka terpaksa bersembunyi di hutan-hutan, banyak di antara kaum pemberontak yang tidak saja kehilangan semangat untuk berjuang terus, akan tetapi malahan meninggalkan induk pasukan mereka. Meskipun demikian, dalam keadaan yang serba sulit itu, di mana semangat sudah merosot, masih ada pemimpin-pemimpin sejati yang mendorong pengikut-pengikut mereka agar berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memulihkan kekuatan mereka, Soal yang paling penting yang dihadapi pemimpin-pemimpin pemberontak adalah cara apa yang paling baik untuk keluar dari keadaan pasif itu dan merebut kembali inisiatif. Mereka menyadari sedalam-dalamnya bahwa bagaimanapun mereka harus mencari pangkalan baru, oleh karena tetap tinggal di semenanjung kecil Gunung Gede berarti dikepung oleh pasukan pemerintah yang tak boleh tidak akan memusnahkan mereka. Daerah di mana kaum pemberontak akan dapat beroperasi dan mendapat dukungan kuat dari penduduk kiranya tak perlu dicari-cari lagi. Tidak ada daerah yang lebih cocok bagi strategi mereka daripada daerah Balagendung. Dalam sejarah Banten daerah itu sudah terkenal sebagai pusat sekian banyaknya pemberontakan, dan pada waktu itu di sana terdapat sejumlah keluarga yang dengan bangga dapat menyebutkan tokoh-tokoh pemberontak yang terkenal di antara leluhur mereka. Satu hal penting lainnya adalah bahwa daerah itu merupakan tempat asal Kiyai Haji Tubagus Ismail dan oleh karena itu dapat diharapkan bahwa ia akan bisa mengumpulkan pengikut yang banyak. Berdasarkan pertimbangan.pertimbangan itu, pemimpin-pemimpin pemberontak memutuskan untuk meninggalkan daerah asal Haji Wasid - Semenanjung Gunung Gede - dan memindahkan pasukan mereka ke daerah Balagendung dengan melintasi jalan raya antara Anyer dan Serang, di satu tempat di sebelah barat. Ini berarti bahwa mereka harus dapat melintasi pinggiran daerah yang dikuasai oleh pasukan pemerintah. Satu rencana lainnya yang mempunyai arti strategis yang penting adalah usaha untuk membingungkan pengejar-pengejar mereka dengan jalan menyiarkan kabar angin dan informasi-informasi palsu mengenai di mana mereka berada.
Sementara pasukan-pasukan tentara sibuk mengejar kaum pemberontak, Haji Wasid dan anak buahnya rupa-rupanya telah sampai di hutan-hutan Medang Batu. Induk pasukannya telah susut menjadi 27 orang, dan mereka tahu benar bahwa mereka akan harus berjuang mati-matian untuk dapat mempertahankan diri terhadap tentara. Sementara pasukan pemberontak itu harus mengalami kesulitan-kesulitan yang besar, rupa-rupanya telah timbul perselisihan di antara pemimpin-pemimpinnya. Perselisihan intern itu menampakkan diri dalam suatu rapat yang diadakan untuk mengambil keputusan mengenai strategi baru. Rapat itu dapat dianggap sebagai satu peristiwa yang sangat penting dalam sejarah pemberontakan itu, oleh karena kesudahannya jelas menentukan jalannya pemberontakan itu untuk selanjutnya. Satu di antara masalah-masalah utama yang harus dipecahkan adalah soal memilih tempat baru untuk dijadikan pangkalan operasi. Ketika mereka tiba di daerah Medang Batu mereka mendapat laporan bahwa penduduk setempat sudah tidak setia lagi kepada cita-cita pemberontakan dan sudah merasa enggan untuk memberi dukungan, apalagi ikut dalam pasukan sebagai pejuang. Bentrokan di Toyomerto yang merupakan pukulan besar bagi kaum pemberontak telah membuat penduduk Medang Batu tidak bernafsu lagi untuk kembali mengangkat senjata. Mengenai strategi, pendapat-pendapat yang berbeda telah dikemukakan oleh pemimpin-pemimpin pemberontak tentang cara melanjutkan perjuangan. Kiyai Haji Madani dan Haji Jahli lalu mengumumkan akan meninggalkan pasukan tanpa memberi alasan. Agus Suradikaria membuat rencana untuk mundur ke Cikandi, yang sudah sejak dulu terkenal sebagai tempat persembunyian yang disukai oleh kaum pemberontak dan penyamun. Kiyai Haji Tubagus Ismail mengusulkan agar mereka melancarkan pertempuran yang menentukan dan gugur sebagai pahlawan. Oleh karena sudah merasa jemu masuk-keluar hutan dan naik-turun gunung, ia bertekad untuk mengumpulkan murid-muridnya di daerah itu dan melancarkan serangan akhir terhadap orang-orang kafir; jika tidak bertindak demikian, mereka akan terus dikejar-kejar oleh pasukan-pasukan yang lebih kuat. Pada akhirnya Haji Wasid berusaha membujuk rekan-rekannya agar mereka mundur saja ke daerah belantara di Banten Selatan, melalui rute sepanjang pantai barat. Rencana itu didasarkan atas janji yang telah diberikan oleh Haji Marjuki bahwa ia akan kembali dengan disertai oleh Kiyai Agung dan syekh-syekh terkemuka lainnya dari Mekah untuk menggabungkan diri dalam perjuangan, apabila mereka dapat melanjutkan jihad selama satu tahun lagi. Satu pertimbangan lain yang sangat kuat adalah bahwa di daerah di sebelah selatan Caringin - di sekitar Camara dan Karangbolong - banyak penduduk yang berasal dari Cilegon akan bersimpati dengan perjuangan mereka dan memberi dukungan. Rencana Haji Wasid disetujui oleh mayoritas kaum pemberontak; sebagian dari mereka yang berbeda pendapat, seperti Haji Madam, Haji Jahli dan Agus Suradikaria, lalu memisahkan diri dari rombongan.
5.      Perlawanan Pemimpin- Pemimpin Pemberontakan yang Memisahkan Diri
Pada pagi hari tanggal 17 Juli, seorang laki-laki tak dikenal yang berpakaian orang pribumi biasa menghampiri serdadu yang sedang bertugas sebagai penjaga di gardu Benggala. Tiba-tiba ia melompat ke arah penjaga itu dan menyerangnya dengan senjata yang dibawanya, tanpa menghiraukan perintah untuk berhenti. Penyerang menghalang-halangi penjaga untuk menembak dengan jalan merebut senapannya. Ketika komandan jaga melihat bahwa si penyerang bermaksud membunuh penjaga itu, ia segera membidikkan senjatanya dan melepaskan tembakan yang menewaskan penyerang itu dengan seketika. Ketika mayat itu diperiksa ternyata orang tersebut memakai serban di bawah ikat kepala yang biasa dipakai oleh orang-orang pribumi biasa dan mengenakan selembar selendang di bawah sarungnya; di dalam kantong jasnya terdapat sebuah tasbih. Setelah itu mayat diperiksa oleh Panghulu Kepala Serang; ternyata orang itu adalah Haji Iskak dari Saneja, salah seorang pemimpin pemberontak. Rupa-rupanya, tidak lama setelah terjadi pertempuran di Toyomerto, Haji Iskak melarikan diri ke Palembangan di distrik Ondar-Andir, di mana ia disembunyikan oleh anggota-anggota kerabatnya selama beberapa hari.
Tidak lama setelah peristiwa itu, yakni pada tanggal 21 Juli, dua orang pemimpin pemberontak, yakni Haji Madani dan Haji Jahli, menemui ajal mereka. Setelah memisahkan diri dari induk pasukan, kedua haji itu menuju Cipinang, lalu bersembunyi di mesjid desa itu. Mereka rupa-rupanya berharap dapat terus bersembunyi di sana dan mengandalkan dukungan penduduk desa. Di sana mereka tinggal beberapa hari. Kerikuhan panghulu desa itu ketika mengetahui bahwa dua orang pelarian sedang bersembunyi di dalam mesjid mudah dipahami. Daripada harus menyeret mereka dari persembunyian mereka, ia memutuskan untuk menyerahkan kedua pelarian itu kepada pemerintah. Maka dilaporkannya mereka kepada pihak berwajib, yang segera mengirimkan dua detasemen ke Cipinang, sebuah skadron kavaleri dan sepasukan infanteri, dengan Kontrolir Herkens dan Patih sebagai penunjuk jalan. Tapi tempat itu sunyi dan rupanya sudah kosong. Akan tetapi tiba-tiba saja salah seorang serdadu diserang dari belakang. Serdadu itu berbalik dan menubruk si penyerang itu; lalu berlangsung pertarungan sengit di mana serdadu itu mendapat luka-luka dan di antaranya ada yang cukup parah. Sementara itu serdadu-serdadu lainnya datang membantu. Serentetan tembakan dilepaskan ke arah kedua pemberontak yang tewas seketika. Beberapa hari kemudian, pejabat-pejabat setempat di Kabupaten Serang menemukan jejak pemimpin-pemimpin pemberontak lainnya, yakni Agus Suradikaria dan dua orang pengikutnya. Begitu menerima laporan, komandan militer segera mengirimkan sebuah patroli yang terdiri dari empat orang ke Kusambisaba dengan Patih Serang sebagai penunjuk jalan. Sesampainya di rumah tempat ketiga pemberontak bersembunyi, mereka menempatkan penjaga di semua pintunya, Ialu Patih memerintahkan pemberontak-pemberontak itu agar menyerah. Dua pemberontak menjawab dengan menyerang Patih. Sebelum mereka sempat melukai Patih, mereka dibinasakan. Sementara itu pemberontak yang ketiga berusaha melarikan diri namun dapat ditangkap dan ditusuk dengan sangkur oleh seorang serdadu; orang itu roboh dan mati. Kedua pengikut Agus Suradikaria itu kemudian dikenali sebagai Haji Nasiman dan seorang agen polisi yang diperbantukan kepada jaksa di Cilegon. Kira-kira pada waktu yang bersamaan tersiar desas-desus yang menyatakan bahwa Haji Kasiman sedang bersembunyi di dekat Cigading, di sebuah kebun tebu tidak jauh dari pantai barat. Oleh karena ia mengenal baik keadaan medan di daerah itu ia dengan mudah dapat meloloskan diri dari pengejar-pengejarnya, sehingga ia berpikir bahwa ia dapat beristirahat untuk beberapa waktu. Akan tetapi pengejaran terus berlangsung tanpa mengendur dan seperti telah kita ketahui, hadiah-hadiah yang besar telah dijanjikan bagi mereka yang dapat menangkap pemberontak, sementara tentara reguler dikerahkan dalam perburuan itu. Tidak ada seorang pun di antara pemimpin-pemimpin pemberontak dapat menemukan tempat persembunyian yang aman; begitu pula halnya dengan Haji Kasiman. Meskipun banyak desas-desus tersiar mengenai dirinya selama beberapa waktu, namun persembunyiannya baru diketahui pada tanggal 27 Juli. Pada hari itu mata-mata berhasil menemukan jejaknya dan begitu pihak berwajib menerima laporan, sepasukan tentara segera dikirimkan ke Citangkil. Rumah tempat Haji Kasiman dan Haji Arbi diduga sedang bersembunyi dikepung rapat dan serdadu-serdadu siap dengan senapan mereka masing-masing. Ketika kedua haji mendengar derap kaki kuda mendekat - derap kaki kuda pasukan kavaleri - mereka menyadari bahwa ada tentara sedang datang. Haji Kasiman tak menunggu lebih lama lagi dan berusaha melarikan diri. la lari ke luar rumah diikuti oleh Haji Arbi. Haji Kasiman yang masih cekatan itu berhasil melompati pagar dan menghilang di balik pepohonan. Akan tetapi Haji Arbi tidak sempat lagi meloloskan diri dan setelah melihat bahwa baginya sekarang adalah soal hidup atau mati, ia dengan nekad mencoba membunuh salah seorang serdadu kavaleri. Dengan kelewangnya Haji Arbi membacok orang itu beberapa kali, namun sesaat kemudian serentetan tembakan dan sabetan pedang menamatkan riwayatnya. Sementara itu Haji Kasiman lari dengan cepatnya meninggalkan pengejar-pengejarnya di belakang. Pencarian segera dilancarkan, namun sia-sia. Oleh karena itu, penduduk desa lalu dipaksa untuk ikut dalam penguberan itu. Tak lama kemudian mereka dapat menemukan jejaknya, dan pasukan kavaleri cepat-cepat menuju tempat persembunyian Haji Kasiman. Dalam waktu singkat ia dikepung oleh pengejar-pengejarnya. Jaro memerintahkannya agar keluar dari persembunyiannya. Meskipun Haji Kasiman menyadari bahwa tak ada kemungkinan lagi baginya untuk meloloskan diri ia menolak untuk menyerah. la sudah nekat untuk melawan sampai mati dan berdiri tegak di tengah sawah sambil mengacungkan kerisnya. Menghadapi keberanian yang tak kenal menyerah itu, komandan pasukan dengan berat hari memerintahkan anak-anaknya untuk menembak. Mayat kedua haji kemudian diangkat ke Cilegon. Perlawanan gagah berani yang diberikan oleh pemimpin-pemimpin pemberontak yang telah memisahkan diri ini bagi kita nampaknya mungkin seperti perbuatan sia-sia saja, yang lebih memudahkan pekerjaan pihak penumpas pemberontakan daripada pelaku-pelakunya sendiri, namun demikian, kita harus ingat bahwa tindakan-tindakan perorangan kaum pemberontak di pelbagai tempat di daerah itu mungkin dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian pihak berwajib dari induk pasukan pemberontak dan dengan demikian memberikan kesempatan kepada Haji Wasid dan anak buahnya untuk menerobos kepungan. Apakah itu memang sudah direncanakan atau tidak, namun satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa usaha mengejar pemberontak-pemberontak yang telah memisahkan diri itu, telah mengalihkan perhatian pasukan pemerintah dari operasi pemburuan terhadap induk pasukan pemberontak. Penyebaran kabar-kabar bohong mengenai pemimpin-pemimpin pemberontak yang sedang melarikan diri, terutama Haji Wasid, juga dimaksudkan untuk membingungkan pihak berwajib.
Keberhasilan penyebar-penyebar kabar bohong itu nampak dalam arus informasi yang membingungkan dan saling bertentangan mengenai tempat Haji Wasid berada. Di samping desas-desus tentang akan berangkatnya Haji Wasid dengan menumpang sebuah kapal Perancis, Residen Priangan menyampaikan kabar kepada pemerintah, bahwa Haji Wasid dan anak buahnya pasti berada di Cianjur. Tidak lama kemudian seorang tawanan menerangkan bahwa Haji Wasid dan anak buahnya sedang bergerak ke arah timur dan bahwa Pamarayan - di bagian selatan Cikandi - merupakan tempat tujuan mereka. Pejabat-pejabat pamongpraja, yang sedikit-banyak diliputi suasana panik, bukannya menghentikan penyebaran kabar-kabar bohong itu, akan tetapi malahan ikut menyebarluaskannya. waktu pasukan Haji Wasid memulai "long march" mereka ke selatan, pihak berwajib masih percaya bahwa ada dua pasukan pemberontak, satu di bawah pimpinan Haji Wasid yang sedang menuju Pamarayan dan yang lainnya di bawah pimpinan Haji Sapiudin dari Leuwibeureum yang sedang bergerak di daerah Mancak.
6.      "Long March" ke Selatan
Induk pasukan pemberontak memulai perjalanan mereka ke selatan tidak lama setelah keputusan penting itu diambil dalam rapat yang diadakan di hutan Medang Batu. Tidak lama setelah kaum pemberontak menyeberangi Sungai Cidanu pada tanggal 21 Juli, pihak berwajib menerima laporan tentang hal itu dan tentang rencana perjalanan kaum pemberontak. Mereka mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk menutup semua jalan yang menuju selatan dan timur. Tindakan ini diambil untuk mencegah lolosnya kaum pemberontak seandainya mereka melarikan diri ke Cikandi.
7.      Kekalahan Terakhir
Untuk mempersiapkan kampanye terhadap sisa-sisa pemberontak, pejabat-pejabat pemerintah dan militer mengadakan rapat di Labuan pada malam hari tanggal 29 Juli. Hadir dalam rapat itu asisten residen Caringin, van der Meulen; patih Pandeglang, Raden Surawinangun; kontrolir Caringin, Maas; jaksa Caringin, Tubagus Anglingkusuma; Kapten Veenhuyzen, Letnan Visser dan sersan Wedel. Rapat memutuskan untuk mengirimkan sebuah pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kapten Veenhuyzen ke Citeureup untuk memotong jalan pemberontak. Setibanya di Citeureup, pasukan itu menerima laporan bahwa kaum pemberontak telah melalui Citeureup pada pagi hari tanggal 29 Juli dan melanjutkan perjalanan menuju Ciseureuheun. Laporan itu juga menyatakan bahwa Wedana Panimbang, Asisten Wedana Katumbiri dan beberapa opas sudah berangkat untuk mengejar mereka. Setelah pasukan itu menerima laporan dan mempelajari situasi, sebuah detasemen di bawah pimpinan Letnan Visser segera diperintahkan untuk menuju Sumur melalui daratan, sementara sebuah detasemen lainnya di bawah pimpinan Kapten Veenhuyzen sendiri akan menuju tempat yang sama melalui laut. Menurut rencana, kedua detasemen akan bertemu di sana untuk menghadang kaum pemberontak. Akan tetapi pertemuan itu tak pernah terjadi, oleh karena pasukan Visser, yang sudah sangat letih, berhenti di Camara dan menunggu di sana untuk diangkut dengan perahu ke Sumur. Akan tetapi dalam perjalanan ke Sumur, mereka dipaksa oleh angin kencang untuk kembali ke Citeureup. Tadinya direncanakan sebagian dari pasukan itu akan melakukan penghadangan di Sumur. Ketika mereka sedang sibuk melakukan persiapan, Jaksa melaporkan bahwa di sebuah tikungan jalan dekat Camara telah terlihat sekelompok orang yang mengenakan pakaian yang tidak lazim terlihat di daerah itu. Kapten Veenhuyzen segera memerintahkan seorang serdadu, Neuman, untuk menemui kelompok orang itu, sementara rekan-rekannya akan melindunginya dari belakang. Anggota-anggota pasukan lainnya bersembunyi di dalam sebuah rumah yang dianggap sangat cocok untuk digunakan sebagai kubu. Ketika Neuman berseru kepada kaum pemberontak agar menyerah, mereka menjawab dengan tembakan-tembakan. Veenhuyzen dan anak buahnya segera melancarkan serangan; pada saat itu juga, lima orang yang bersenjata kelewang, melompat dari persembunyian mereka dan menyerang pasukan. Empat atau lima tukang pikul melarikan diri dan bersembunyi di bawah rumput yang tinggi, sementara yang lainnya berlindung di belakang perahu-perahu. Lalu berkobarlah pertempuran kecil yang sengit. Kaum pemberontak yang mempertahankan diri sekuat tenaga berulang-ulang menyerang akan tetapi situasinya nampaknya sudah tak memberi harapan. Kaum pemberontak sudah nekat untuk berjuang sampai akhir. Ketika pertempuran berakhir, gerombolan pemberontak itu sudah dimusnahkan, terkecuali beberapa orang yang berhasil menyelamatkan diri. Maka berakhirlah tragedi yang mengerikan itu. Di pihak pasukan pemerintah jatuh beberapa korban; empat orang mendapat luka-luka, seorang di antaranya dalam keadaan cukup parah. Pada pukul sepuluh pagi hari tanggal 30 Juli pasukan itu meninggalkan Sumur dengan membawa kesebelas mayat pemberontak yang tewas. Kemudian di Cilegon, mayat-mayat itu diidentifikasikan sebagai pemberontak-pemberontak yang sedang dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah, termasuk Haji Wasid, Kiyai Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dan Haji Usman. Perlu ditambahkan bahwa dua mayat telah jatuh ke dalam sungai dan karenanya dianggap hilang, sementara di kemudian hari ditemukan lagi satu mayat. Selanjutnya diperkirakan bahwa enam pemberontak telah berhasil meloloskan diri : mereka adalah Haji Jafar, Haji Ala, Haji Saban, Akhmad, Yahya dan Saliman. Mereka dapat bergerak bebas untuk beberapa waktu, namun pada akhirnya dapat ditangkap juga.
Namun tidak hanya sampai di sini karena para pengikut pemberontak tidak hanya tinggal diam saja, tetapi mereka memberontak untuk balas dendam karena kyai yang mereka panut, malah dibunuh oleh pemerintah. Namun pemberontakkan mereka dapat dengan mudah dilenyapkan.



D.     Dampak Gerakan Pemberontakan Petani
Pemberontakan telah memaksa pemerintah kolonial meninjau kembali pembaruan-pembaruan kebijakan yang telah diadakan. Diantara kebijakan yang dirubah tersebut antara lain:
1.      Pengaturan-pengaturan administratif.
Pengaturan yang paling mendesak adalah mengenai pengangkatanseorang asisten residen di afdeling Anyer untuk mengisi lowongan yang disebabkan oleh kematian Gubbels. Menurut van Vleuten, orang yang paling cocok untuk jabatan itu adalah van Hasselt, yang saat itu masih menjabat sebagai asisten residen di Sumedang. Van Hasselt pernah bertugas di Banten sebagai asisten residen Caringin selama kuranglebih tujuh tahun, dan telah berpengalaman dalam hal bekerja sama dengan pejabat-pejabat Banten, baik tinggi maupun rendah. Ia kelihatannya akan mampu untuk memulihkan hubungan baik antara pejabat-pejabat eropa dan pribumi di Caringin.
Langkah berikutnya adalah membebaskan Raden Penna dari tugasnya. Kedudukannya sebagai Patih Afdeling Anyer tidak dapat dipertahankan lagi setelah adanya peristiwa pemberontakan itu, dan dengan cara apapun ia harus dipindahkan dari sana.Seperti halnya bupati Serang R.A.P. Gondokusumo yang juga dianggap bertanggung jawab atas pecahnya pemberontakan itu. Tidak lama setelah pemberontakan, terdengar desas-desus ia mengundurkan diri.
2.      Penempatan Detasemen-detasemen tentara.
Hasrat melakukan pembalasan yang berkobar, seringkali dilampiaskan terhadap haji yang pertama ditemui oleh Belanda. Oleh karena sudah tidak merasa aman lagi, sementara orang Belanda mempersenjatai diri dan yang lainnya banyak yang pindah ke kota.
Tidaklah mengherankan bahwa di dalam suasana seperti kekuatan militer dianggap penting. Pada akhir tahun masih terdapat detasemen-detasemen tentara di tempat-tempat dimana telah dikerahkan kontingen-kontingen pemberontak dalam jumlah yang besar selama pemberontakan, seperti Cilegon, Bojonegoro, dan Balagendung. Detasemen-detasemen itu masing-masing berkekuatan 17 orang dan hanya akan ditarik setelah hukuman yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung terhadap kaum pemberontak dilaksanakan.
3.      Masalah Kedudukan Kepala Desa.
Masalah yang dihadapi adalah bagaimana mengkonsolidasi kedudukan kepala desa, yang ditempat-tempat lainnya di Pulau Jawa merupakan “palladium”, ketentraman dan ketertiban. Oleh karena itu langkah-langkah harus diambil untuk memperkuat kedudukan kepala desa dan membuatnya lebih menarik.
Sering kali terjadi, ada kepala desa yang minta berhenti sementara banyak kepala Desa lainnya dengan tidak sabar lagi menantikan saatnya mereka dibebaskan dari jabatan mereka. Semua itu disebabkan karena beban dan resiko yang melekat pada jabatan mereka tidak mendapat imbalan secukupnya.
Ia menyarankan agar kepala desa diberi imbalan dalam bentuk pembebasan dari sewa tanah sampai sejumlah 25 Gulden, anggota-anggota pamong lainnya agar dibebaskan dari sewa tanah sampai sejumlah 15 Gulden. Oleh karena ada kerabatan-kerabatan terhadap usul residen itu, Direktur departemen dalam Negeri menganjurkan agar kepala desa dan anggota-anggota pamong desa lainnya diberi tanah jabatan.
4.      Masalah Pajak.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk membuat satu system perpajakan yang dapat dilaksanakan dan, terutama setelah pemberontakan, perhatian pihak berwajib ditujukan terhadap persoalan itu. Seperti telah disebutkan diatas, Komisaris pemerintah di dalam laporannya menganggap pemungutan sewa tanah secara komunal sebagai salah satu sumber ketidak puasan dikalangan penduduk. Dan mengusulkan agar orang kembali kepada pemungutan secara perseorangan. Akan tetapi residen Banten berpendapat bahwa pemerintah tak mungkin kembali kepada system pemungutan sewa tanah secara perseorangan tahun itu dan kiaranya tidak menguntungkan untuk mengambil langkah itu dalam masa depan yang dekat.
Ia berpendapat bahwa untuk sementara waktu akan cukup kiranya untuk meluruskan pemungutan sewa tanah itu, terutama di afdeling-afdeling Anyer dan Serang, dimana sering kali dicatat adanya ketidak puasan dikalangan pembayar pajak.
Komite-komite itu juga harus memastikan apakah penduduk diperlakukan secara adil oleh pamong desa pada saat pembagian beban pajak itu. Dalam waktu yang bersamaan, hendaknya dikumpulkan data-data mengenai harga padi, produktivitas lahan, dan dengan sendirinya ukuran yang tepat dari lahan-lahan itu. Selain ketiga faktor itu, keadaan tanaman lahan yang bersangkutan juga harus diperhitungkan dalam menetapkan besarnya pajak.
Residen mengemukakan usul-usul balasan sebagai berikut : untuk mengatasi keberatan-keberatan terhadap pembagian beban pajak menurut system “repartitie” hendaknya dilakukan pengukuran dan pembuatan gambar peta mengenai lahan-lahan yang juga menunjukan batas-batas setiap lahan, sementara taksiran mengenai beban pajak yang harus dipikul oleh setiap lahan oleh pemerintahan pusat.
5.      Masalah Pencacaran Kembali
Oleh karena telah disuarakan keluhan-keluhan mengenai pencacaran kembali, kita juga harus mencurahkan perhatian kepada langkah-langkah untuk perbaikan kesehatan rakyat tanpa menimbulkan ketakutan dengan jalan mengatasi prasangka-prasangka mereka.
Umum mengetahui bahwa rakyat Banten sangat lambat mengerti bahwa vaksinasi merupakan suatu keharusan untuk memerangi penyakit dan memajukan kesejahteraan rakyat. Seperti diketahui, protes-protes yang menentang vaksinasi terhadap wanita dan gadis melibatkan manifestasi rakyat yang sangat keras. Oleh karena ada tentangan dari penduduk maka pencacaran dilakukan disaksikan oleh pejabat pamong praja yang pengaruhnya diperlukan agar kampanye itu bisa efektif. Menurut laporan Kepala Dinas Kesehatan umum, dalam tahun 1889 pencacaran dapat dilaksanakan di Banten tanpa campur tangan atau keluhan dari rakyat.
6.      Masalah-masalah urusan Agama.
Setelah terjadinya peristiwa berdarah di Cilegon, orang dicekam oleh perasaan ngeri dan kampanye yang menghendaki agar kaum pemberontak ditumpas tanpa ampun menapat sambutan hangat dan dukungan yang luas di sebagian besar masyarakat Belanda, kampanye itu menuntut agar orang dilarang mengenakan pakaian haji, agar peserta-peserta dalam pemberontakan dihukum keras dan agar guru-guru agama diawasi secara ketat.
Akan tetapi sebagai tanggapan atas rekomendasi yang lantang itu, pemerintah pusat menolak setiap tindakan yang melibatkan pengejaran terhadap kaum haji hanya karena mereka melakukan kewajiban-kewajiban agama mereka.
Sesudah Snouck Hurgronje bertindak sebagai penasihat, pemerintah mulai dengan tindakan pembaruan dalam urusan agama, dan dijadikan pegangan  adalah pandangan Snouck hurgronje.
Kemudian asisten residen anyar mengeluarkan larangan untuk mengadakan arak-arakan dan hiburan musik dalam pesta-pesta dan peneyelenggaraan dzikir tidak boleh mengganggu lingkungan. Van Vleuten berpendapat bahwa sekolah-sekolah agama telah menimbulkan keresahan. Kemudian diadakan pembatasan-pembatasan terhadap praktek-praktek yang mereka anggap tidak baik dan merendahkan yang dikaitkan dengan pendidikan agama. Dianjurkan agar tidak saja guru-guru agama diklasifikasikan dalam berbagai kategori, melainkan juga agar diadakan ujian untuk menentukan apakah seseorang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai guru agama.
Holle, penasehat kehormatan mengenai urusan pribumi mengemukakan pandangannya mengenai apa yang harus dilakukan dalam rangka apa yang ia namakan “kebijakan jalan tengah”. Menurut pendapatnya, tindakan –tindakan keras yang diambil di Banten telah menimbulkan dendam kesumat di kalangan penduduk. Cara yang paling aman adalah mengambil langkah-langkah preventif dan memebrikan reaksi terhadap inovasi-inovasi tanpa ribut-ribut. Pemerintah hendaknya jangan melakukan sesuatau yang menimbulkan kesan paksaan atau pengejaran.
Setelah peristiwa pemberontakan di Cilegon pemerintah memutuskan untuk mengangkat sebagai penasehat mengenai soal-soal Arab dan Pribumi dan untuk menantikan kedatangannya sebelum diambil langkah-langkah yang menentukan di bidang agama. Snouck Hurgronje menganggap tidak ada gunanya untuk membuang sekian banyaknya orang yang dicurigai sebagai pemberontak, yang tidak dapat dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena tidak ada bukti. Ia memperingatkan residen jangan bertindak keras tanpa alasan yang cukup dan menyerukan agar jumlah orang-orang yang dibuang dikurangi sampai sekecil mungkin.
Menurut Snouck Hurgronje, pemerintah dapat menggunakan cara-cara lain untuk memberantas keburukan fanatisme, dan setiap tindakan harus diambil secara bijaksana dan tanpa menggunakan kekerasan sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan di kaum Muslim bahwa pemerintah Belanda memusuhi Islam dan berusaha menghina penganut-penganutnya. 
Menurut Snouck Hurgronje, perintah utama yang terkandung dalam prinsip untuk bersikap netral tehadap agama adalah bahwa praktek-praktek keagamaan yang beraneka ragam itu harus dibiarkan, akan tetapi penyalahgunaan agama untuk tujuan-tujuan politik tidak boleh dibiarkan. Menurut pendapatnya, pemerintah harus mengambil lebih banyak tindakan administratif untuk memperbaiki administrasi soal-soal keagamaan.
Snouck Hurgronje beranggapan bahwa pemerintah harus hati-hati sekali dalam mengangkat penghulu, orang macam bagaimana yang memegang jabatan itu merupakan soal yang akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang sangat besar di masa dekat mendatang apabila para penghulu itu diberi tugas untuk mengawasi pendidikan agama.
*      Kondisi administrasi
Snouck Hurgronje menyadari bahwa kondisi –kondisi yang buruk, penyelewengan-penyelewengan administratif serta admininstrasi yang tidak efektif merupakan lingkaran setan. Menurut pendapatnya  kesalahan utama terletak pada kecenderungan untuk membiarkan pejabat-pejabat Eropa menyelenggarakan sendiri seluruh administrasi menurut ide-ide mereka. Pejabat pribumi tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka dari atas dan mengambil sikap menurut istilah mereka sendiri “turut angin”.
Snouck Hurgronje berpendapat bahwa keterbatasan cakrawala intelektual mereka itu untuk sebagian besar disebabkan oleh kenyataan bahwa pemerintah telah sangat mengabaikan pendidikan modern bagi priyayi Banten. Dalam hubungan ini, pengiriman anak-anak priyayi Banten ke sekolah Menak di Bandung yang dinamakan “hoofdenschool”, sekolah tempat anak-anak priyayi dididik untuk menjadi pamong praja dapat dianggap sebagai satu langkah yang penting untuk mengisi kekosongan pendidikan modern itu. Namun demikian, baru dalam tahun 1910 sekolah tersebut dibuka di Serang.
Dikarenakan terjadi persengketaan intern diantara anggota-anggota priyayi Banten, yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang melawan hukum atau tidak terhormat dalam perlombaan yang memperebutkan jabatan-jabatan adminstratif di daerah itu. Oleh sebab itu, maka sikap membudak, favoritisme, kecurigaan, dan intrik tumbuh subur, dan ketiadaan kerjasama dikalangan pejabat pribumi menimbulkan hambatan sehingga adminstrasi tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
Kemudian usaha-usaha dilakukan tidak hanya untuk mengurangi hal-hal yang tidak menyenangkan penduduk, akan tetapi juga memperbaiki taraf hidup di daerah itu. Satu diantara usaha-usaha itu adalah membangun atau memperbaiki jembatan-jembatan dan jalan-jalan yang diperlukan mutlak untuk pengangkutan.
Yang paling dipikirkannya rupanya adalah soal memulihkan ketentraman dan ketertiban, perbaikan kehidupan rakyat di bidang materi baginya merupakan soal kedua. Namun demikian, sulit untuk memperkirakan perbaikan-perbaikan apa saja yang terjadi sesudah itu dalam taraf penduduk  Banten.
Dampaknya bagi rakyat adalah timbulnya trauma yang mendalam sebagai akibat dibakarnya desa-desa secara dramatis benar-benar telah menyebabkan merosotnya moril penduduk setempat. Selama berlangsungnya penumpasan pemberontakan, rakyat tetap bersikap pasif, meskipun mereka masih menunjukkan sikap baik yang hati-hati terhadap kaum pemberontak.


BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Pemberontakan petani di Banten yang berpusat di Cilegon ini merupakan satu dari sekian banyak pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di jawa pada masa itu. Pemberontakan ini dipimpin oleh golongan agama yakni para tokoh agama islam dan beberapa elit desa yang sudah tidak memiliki prestise politik akibat desakan pemerintah kolonial. Penyebab terjadinya pemberontakan adalah masalah penarikan pajak, permasalahan urusan agama, kemiskinan akibat kegagalan panen sebagai dampak dari wabah penyakit dan gempa bumi yang terjadi pada waktu itu, dan kesewenang-wenangan pegawai pemerintah.
Pajak yang harus dibayar meliputi sewa tanah yang sangat berat, pajak kepala, dan pajak usaha. Mereka yang tidak membayar pajak diseret ke pengadilan dan didenda. Dalam permasalah urusan agama,  diberlakukannya peraturan yang ketat mengenai praktek keagamaan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pemberontakan. Masalah-masalah lain yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan itu adalah tidak dihiraukannya kehormatan kaum wanita yang menimbulkan kemarahan di kalangan rakyat.
Pemberontakan ini dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 1888 sesuai kesepakatan para pemimpin. Sebelum pemberontakan terjadi, beberapa bulan sebelumnya telah dilakukan persiapan-persiapan berupa rapat-rapat rahasia dan pelatihan bela diri yang juga dilakukan secara rahasia dengan berkedok acara adat seperti kenduri dan acara-acara hajatan sehingga tidak memancing kecurigaan pemerintah kolonial. Pemberontakan dilakukan secara sistematis dengan pembagian kelompok untuk menyerang rumah-rumah dan kantor para pegawai pemerintah yang dibenci oleh rakyat. Dimulai dari juru tulis pemerintah, jaksa, asisten residen dan sebagainya. Semuanya didatangi oleh pemberontak dan dibantai bersama keluarganya. Karena penyerangan ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang sangat banyak dari kalangan penduduk maupun para pegawai pemerintah beserta keluarganya.


DAFTAR PUSTAKA


Sumber Buku :
Sartono Kartodijo. 1984. Pemberontakan Petani 1888. Jakarta : PT dunia Pustaka Jaya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar