Jumat, 20 Juni 2014

Pelestarian Kebudayaan Wayang Orang Melalui Pagelaran Seni di Gedung Wayang Orang Sriwedari


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
 Wayang merupakan sebuah karya seni pertujukan tradisional yang lekat dengan nuansa keraton. Pertunjukan wayang sering diiringi dengan alunan musik yang berirama berupa gamelan dan sinden sebagai pelengkapnya. Seni wayang pertama kali dipertunjukan di keraton Kasunan Surakarta. Pertunjukan wayang biasanya menceritakan sebuah dongeng, kisah percintaan dan peperangan. Perkenalan terhadap seni wayang di Surakarta dianggap belum maksimal.
Untuk memperkenalkan lebih luas lagi, dari pihak keraton Kasunan Surakarta berinisiatif untuk memperkenalkannya ke keraton Kasunanan Yogyakarta. Cara ini dirasa efektif untuk menyebarluaskan kesenian wayang. Kesenian wayang merupakan sebuah budaya yang perlu dilestarikan, tidak hanya dinikmati oleh kalangan keraton saja akan tetapi bisa dinikmati oleh khalayak umum. Pada zaman dahulu abdi dalem dan rakyat di sekitar keraton seringkali membuat pertunjukan wayang. Karena dengan seringnya pagelaran wayang maka dengan cepat kesenian wayang terkenal ke masyarakat luas.
Seiring berjalannya waktu dan era modern yang menjamur, maka penikmat wayang semakin sedikit. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi para pencetus seni wayang untuk menyelamatkan wayang agar tetap lestari. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pelestarian Wayang Orang yang masih tetap bertahan di tengah kebudayaan asing. 

B.  Rumusan Masalah
1.      Sejarah Wayang Orang Sriwedari
2.      Perlengkapan Kostum dan Rias yang digunakan
3.      Alasan Masih Diselenggarakannya Wayang di GWO Sriwedari



C.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas Kebudayaan yaitu mengenai Pelestarian Kebudayaan Wayang Orang Melalui Pagelaran Seni di Gedung Wayang Orang Sriwedari.
2.      Tujuan Khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang :
a.       Sejarah Wayang Orang Sriwedari
b.      Perlengkapan Kostum dan Rias yang digunakan
c.       Alasan Masih Diselenggarakannya Wayang di GWO Sriwedari


BAB  II
HASIL SURVEI LAPANGAN

A.    Sejarah Wayang Orang Sriwedari
Sebagai sebuah genre yang digolongkan ke dalam drama tari, sesungguhnya wayang wong merupakan personifikasi dari wayang kulit purwa yang ceritanya mengambil epos Ramayana dan Mahabharata. Kehadirannya di Istana Mangkunegaran dan di Kasultanan Yog­yakarta pada pertengahan abad ke-18 menurut para ahli merupakan renaissance wayang wwang yang telah berkembang pada masa kerajaan Majapahit, bahkan diduga sudah berkembang pada masa sebelumnya seperti dike­temukan pada prasasti Wimalasrama pada tahun 930 A.D., tentang penggunaan istilah wayang wwang. Kata wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti "bayangan", sedang kata wwang berarti "orang atau ma­nusia". Jadi wayang wwang dapat diartikan sebuah per­tunjukkan wayang yang pelaku-pelakunya dimainkan oleh manusia. Apabila informasi itu benar, maka per­kembangan wayang wong telah mengalami perjalanan yang panjang dengan segala problematiknya. Hanya saja karena sifat pertunjukan adalah seni sesaat dan tidak adanya sistem pendokumentasian, kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam melacak atau merekonstruk­si bentuk penyajiannya. Namun demikian jika gaya dan teknik tarinya dapat dikembalikan kepada visualisasi re­lief-relief candi Borobudur dan candi Prambanan zaman Mataram kung, kemungkinan besar fakta ini dapat mem­beri petunjuk sejauh mana perkembangan gaya dan ben­tuk tari pada masa itu, terutama dikaitkan dengan per­kembangan wayang wwang.
Keterkaitan antara epos Ramayana dan Mahabha­rata sebagai acuan utama lakon wayang wwang dengan ritus-ritus keagamaan Hindu, membawa konsekuensi terhadap kesinambungan nilai-nilai wayang dan sekali­gus bentuk pertunjukannya. Hal ini dapat dibuktikan de­ngan rekaman cerita epos Ramayana dan Mahabharata pada relief-relief di candi-candi Jawa Timur semasa kerajaan Singasari dan Majapahit. Misalnya relief candi jago yang melukiskan cerita Arjuna Wiwaha dan cerita Bale Sigalagala, dibuat untuk tempat pemakaman abu jenasah raja Wisnuwardana. Relief Arluna Wiwaha pada Candi Tigawangi. Relief Ramayana pada candi Panata­ran. Contoh pertama dibuat pada zaman kerajaan Maja­pahit pendokumentasian wira-carita Ramayana dan Mahabharata itu menunjukkan adanya kedudukan kedua cerita itu mempunyai hubungan erat dengan system keagamaan Hindu dan kedudukan raja yang merupakan titisan dewa.
Pengaruh agama Hindu dengan bentuk wayangriya mengalami kemunduran sejak kerajaan Majapahit runtuh di bawah penguasaan kerajaan Demak yang menganut agama Islam. Sisa-sisa dari kebudayaan Hindu dapat Bali dijumpai di sampai sekarang, termasuk wayang wwang (wayang wong). Hanya saja nama yang diberikan untuk cerita yang dibawakan berbeda. Wayang wong secara khusus digunakan untuk menyebut drama­tari yang bertopeng dan membawakan cerita Ramayana, sedang parwa untuk menyebut dramatari yang tidak bertopeng dan ceritanya mengambil dari Mahabharata.
Kembali kepada perkembangan wayang wong, Clifford Geertz menyebutkan bahwa munculnya wayang wong pada pertengahan abad ke-18 merupakan bagian dari kebangkitan seni klasik Jawa setelah mendapat pukulan karena masuknya agama Islam. Pernyataan Geertz itu kiranya cukup beralasan mengingat bahwa pada masa kerajaan Demak, kemudian Kerajaan Pajang dan diteruskan Kerajaan Mataram Islam sampai Keraja­an Mataram Kartasura tidak ditemukan data-data ten-tang pertunjukan wayang wong. Baru sesudah perjanjian Giyanti yang ditandai pecahnya kerajaan Mataram di­bagi menjadi dua yaitu Kerajaan Kasunanan Surakarta. dan Kasunanan Yogyakarta, kemudian Kerajaan Kasu­nanan dibagi lagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran pada perjanjian Salatiga tahun 1757, secara bersamaan Sri Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792) dan Sri Mangkunegara I (1757-1795) menciptakan wayang wong sebagai suatu atribut kebesaran pe­merintahannya.
Persamaan ide memunculkan kembali wayang wong dalam kehidupan kultural keraton baik di istana Mangkunegaran maupun istana Yogyakarta, diduga an­tara keduanya mempunyai persaingan pribadi dan po­litik selama perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda. Perlu diketahui bahwa Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said adalah menantu dan sekaligus wa­zir Pangeran Mangkubumi ketika masa perjuangan. Fe­nomena ini sudah barang tentu wajar lantaran raja harus menegakkan wibawanya lewat simbol-simbol. Mengenai jalan hidup ini dicoba didekati dengan meminjam teori Huizinga. Menurut Huizinga,
"Manusia yang kurang pugs dengan kenyataan sehari-hari, di mana-mana dan dizaman apa pun selalu mengangan-a­ngankan kehidupan yang lebih mulia dan lebih indah."
Huizinga mengisyaratkan tiga jalan. Pertama, ma­nusia dapat menjauhkan diri dari kenyataan. Kedua, me­nyempurnakan kenyataan yang menjabarkan usaha pembaharuan bentuk pranata kemasyarakatan atau kenegaraan. Ketiga, dinamakan jalan "khayalan" yakni jalan yang paling mudah namun selalu tetap jauh dari tujuan. Jalan yang ketiga tampaknya relevan dengan kehidupan kesenian di lingkungan istana. Identifikasi nilai-nilai itu ialah suatu terra sederhana sudah cukup­lah, khayalan kepahlawanan, tema tentang orang-orang bijaksana, atau kehidupan di tengah-tengah slam yang selaras. Di sini ada kecenderungan bahwa bentuk-bentuk kehidupan itu diekspresikan menjadi bentuk-bentuk se­ni. Dalam konteks legitimasi kekuasaan paham feodal lebih lanjut dijelaskan oleh Burger,
Rasa kekuasaan di dalam dunia yang feodal dan berhirarkis belum berakar kuat, terutama barn pada kekayaan. Rasa itu lebih bersifat pribadi. Supaya diakui, kekuasaan itu harus diperlihatkan dengan kemegahan, berupa iring-iringan pengikut setia yang amat banyak, dandanan yang mewah serta tingkah laku yang agung berwibawa dari orang yang berkuasa itu. Kesadaran akan keunggulannya dari orang lain selalu dipupuk oleh kaum feodal dengan bentuk hidup berupa sembah sambil berlutut dan pengabdian, peng­hormatan yang khidmat serta kebesaran yang menakjubkan, yang kesemuanya sekaligus menyebabkan keunggulan itu terasa sebagai sesuatu yang sungguh nyata dan dapat dibenarkan.
Apa yang dikemukakan oleh Huizinga sebagaimana dikutip oleh Burger itu, kiranya dapat digunakan seba­gai suatu pemikiran untuk melihat perkembangan ke­hidupan seni di lingkungan istana sebagai salah satu atribut kebesaran raja.
Adapun yang dimaksud dengan wayang wong gaya Surakarta ialah wayang wong yang berkembang di istana Mangkunegaran yang secara politik kedudukannya berada di bawah Kasunanan Surakarta. Oleh karena pada induknya yaitu itu, gaya seninya masih mengacu pada induknya yaitu kesenian dari keraton Kasunanan Surakarta. Perkem­bangan seni istana Mangkunegaran rnencapai bentuknya yang khas yaitu niasa penierintahan Sri Mangkunegara VII (1916-1944) karena adanya akulturasi budaya dengan banyaknya pengaruh dari gaya Yogyakarta.
Periode awal perkembang wayang wong di istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara I hanya ada sedikit informasi. Menurut Th. B. van Lelyveld bahwa lakon pertarna yang dicipta oleh Sri Mangkunegara I adalah Wijanarka, sedang Sri Sultan Hamengku Buwana I mencipta lakon pertama dengan judul Gandawardaya. Informasi ini kiranya cukup memberi gambaran tentang lakon yang dibawakan dan kemungkinan besar merupakan bentuk simbolisme tema-tema kepahl         awanan yang diduga ada hubungannya dengan identifikasi atas dirinya. Namun informasi tentang deskripsi bentuk pertunjukan, berapa pendukungnya, berapa besar dana yang diperlukan untuk produksi itu, atau siapa saja yang boleh menonton pertunjukan itu dan kapan pertunjukan itu berlangsung tidak ada bekasnya.
Latar belakang pemilihan lakon kemungkinan besar mempunyai alasan, terutama tema yang dibawakan identik dengan tema kepahlawanan atas dirinya. Lakon Wijanarka atau lengkapnya Bambang Wijanarka mencari Tirta Kamandanu (air kehidupan) untuk menyembuhkan Dewi Sitisundari. Apabila dirinya tidak berhasil menda­patkan air itu, maka ia tidak diakui sebagai putra Raden Harjuna. Atas pertolongan Begawan Kapiraya, Bambang Wijanarka berhasil mendapatkan Tirta Kamandanu. Na­mun di tengah perjalanan dikeroyok oleh Kurawa yang menginginkan air itu. Meskipun air itu berhasil direbut Kurawa, tetapi atas pertolongan Begawan Kapiraya pula air itu dapat direbut kembali dan diserahkan kepada Bambang Wijanarka. Akhir cerita Dewi Sitisundari dapat disem-buhkan dan dikawinkan dengan Raden Abima­nyu, sedang Wijanarka diakui sah sebagai anak Raden Harjuna." Kisah ini diduga ada kaitannya dengan upaya R.M. Said untuk mendapatkan legitimasi atas dirinya sebagai keturunan raja Mataram yang sah. Mengapa dipilih lakon Wijanarka? Wijanarka adalah anak Raden Harjuna. Menurut mitos Raden Harjuna adalah leluhur raja-raja Jawa, termasuk raja-raja pertama Mataram.
Meskipun identifikasi nilai-nilai mitos ini jauh dari kebenaran sejarah, namun peran dan kedudukan wayang erat kaitannya dengan pengesahan kedudukan raja. Seperti dikemukakan oleh Kuntowijoyo dalam buku berjudul Budaya dan Masyarakat (1987), bahwa dalam kategori patrimonial yang ideologinya "kawula gusti" berlaku norma-norma legitimasi dan memberikan kon­trol negara atas masyarakat dalam bentuk-bentuk simbo­lis yang berupa babad, tabu, mite dan karya seni yang dikeramatkan.
Di samping beberapa dugaan di atas, kehadiran wayang wong dalam sistem budaya keraton mempunyai sistem nilai dalam pranata ksatria Jawa yang telah kena pengaruh Hindu dan Islam. Menurut Stutterheim seperti dikutip oleh Burger, bahwa wayang merupakan suatu khazanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai keso­panan dan bentuk hidup. Sebagai ekpresi budaya Jawa, wayang memiliki cita rasa hidup tentang watak dan si­kap hidup yang memberi ilham kepada kehidupan pri­badi dan ini patut diteladani. Di sini mengandung cita­cita yang indah dan halus dari ksatria yang tak gentar serta tanpa cela, cita-cita kesetiaan kepada raja, keseder­hanaan dan ketabahan hati, serta mampu menahan diri yang sempurna. Oleh karena itu konsep paham ksatria dalam kebudayaan Jawa bukan sebuah unsur kebuda­yaan yang berdiri sendiri, tetapi terjalin erat secara luas dan selaras dalam hubungan dengan susunan masyara­kat yaitu menghubungkan antara dunia makro kosmos dan mikro kosmos. Kemuliaan keraton Jawa karena pen­dewaan raja-rajanya atau raja sebagai titisan dewa, jadi mengandung sifat kemuliaan keagamaan. Maka cukup beralasan apabila Sri Mangku-negara I sebagai pendiri dinasti Mangkunegaran mem-bangkitkan kembali nilai­nilai ksatria dalam wayang.
Berdasarkan nilai-nilai wayang yang telah diya­kini masyarakat Jawa yang erat kaitannya dengan kemu­liaan keagamaan, kiranya pemahaman itu mempunyai daya dukung untuk melegitimasikan kekuasaannya. Daya dukung yang dimaksud ialah keterkaitan karya se­ni yang mampu memberi motivasi dan spirit hidup un­tuk tujuan politik. Seperti dikemukakan oleh Duvignaud bahwa dorongan semangat hidup yang diekspresikan lewat karya seni, sebenarnya merupakan perlambang yang dimaksudkan untuk melindungi spirit hidupnya untuk beberapa tujuan politik. Di camping karya seni wayang wong, Sri Mangkunegara I juga mencipta ben­tuk beksan bedhaya Anglir Mendung yang temanya me­ngangkat kisah kepahlawanan Sri Mangkunegara I yang terkenal mendapat sebutan Pangeran Sambernyawa. Apabila latar belakang penciptaan bedhaya Anglir Men­dhung mengangkat kisah kepahlawanan Sri Mangkune­gara I, maka latar belakang penciptaan wayang wong menurut R.T. Kusumakesawa dimaksudkan untuk mem­beri dorongan spirit hidup bagi perjuangannya melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk melacak perkembangan wayang wong pa­da masa pemerintahan Sri Mangkunegara I memang sulit mengingat tidak didukung oleh sumber data yang akurat. Namun dapat diduga perkembangan wayang wong pada waktu masih relatif sederhana. Menurut teori evolusi perubahan bahwa sesuatu itu berkembang secara berkesinambungan, teratur dan pasti, dalam proses pe­nyesuaian terhadap lingkungan tertentu. Berangkat da­ri teori itu, kiranya perkembangan wayang wong pada face awal masih menunjukkan tanda-tanda yang masih sederhana. Pertimbangan ini didasarkan pada situasi so­sio-ekonomi, dan politik pada sebuah kerajaan yang baru saja didirikan. Raja sebagai penguasa tunggal harus lebih banyak mengkonsentrasikan langkah-langkah kebijaksa­naan menurut ukuran Skala prioritas. Secara ekonomis diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan kas keuangan kerajaan untuk membiayai anggaran belanja dan pengeluaran kerajaan. Secara politik diperlukan da­na yang besar untuk pembentukan pasukan keamanan. Dukungan politik dalam hal ini sangat diperlukan untuk menegakkan kewibawaan kekuasannya. Realisasinya da­pat diwujudkan dalam berbagai bentuk simbolis atau praktis pada sistem penyelenggaraan pemerintahan tra­disional. Maka dapat dibayangkan berapa besar du­kungan dana untuk mencapai tujuan politik itu. Adalah logic jika perkembangan wayang wong baru mengalami tahap pembentukan dan perkembangan awal.
Perkembangan wayang wong pada masa peme­rintahan berikutnya tampak masih tetap menunjukkan fenomena yang belum jelas karena sedikitnya data, baik semasa pemerintahan Sri Mangkunegara II maupun Sri Mangkunegara III. Masa pemerintahan Sri Mangkune­gara IV (1853-1881) perkembangan seni sastra maupun seni tari mengalami tingkat kemajuan yang pesat. Dalam tradisi Mangkunegaran, masa pemerintah Sri Mangkunegara IV (1853-1881) disebut zaman Kala Sumbaga. 20 Kala berarti waktu atau zaman, sedang sumbaga berarti termashur.21 Jadi kala sumbaga berarti zaman kema­shuran. Dikatakan demikian karena Sri Mangkunegara IV adalah pembina utama kemashuran nama serta pele­tak dasar kekayaan kerabat Mangkunegaran. Pada masa itu diselenggarakan perkebunan-perkebunan kopi dan tebu hampir di seluruh wilayah Mangkunegaran, serta didirikan pabrik-pabrik gula di Tasikmadu dan Coloma­du yang masih memproduksi hingga sekarang.
Kemashuran Sri Mangkunegara IV tidak saja seba­gai seorang negarawan dan ekonom, tetapi juga seorang filosof dan seniman besar. Dalam kedudukannya sebagai seorang filosof dan seniman, banyak karyanya yang di­kagumi. Dalam bidang seni sastra antara lain: Tripama, Manuhara, Nayakawara, Yogatama, Tamiminta, Pralam­bang Lam Kenya, Tafiwara, Rerepan Prayangkara, Rere­pan Prayasmara, Sendhon Langenswara, dan karya yang paling terkenal ialah serat Wedhatama. Dalam bidang seni tari ialah opera Langendriyan, fragmen-fragmen epos Ramayana dan Mahabharata, serta Beksan Wireng. Dalam bidang wayang ialah mencipta Kyai Sebet yaitu wayang kulit pusaka Mangkunegaran dan pergelaran Wayang Madya.
Adapun ahli tari yang ikut mendampingi Sri Mangkunegara IV selama pemerintahannya ialah R.M.H. Tandakusuma. Selain sebagai menantu Sri Mangku­negara IV, R.M.H. Tandakusuma adalah cucu Kanjeng Pangeran Harya Purbonagoro seorang Bupati Kediri, putra Sri Mangkunegara 1. Karya seni monumental karya R.M.H. Tandakusuma semasa pemerintahan Sri Mang­kunegara IV ialah Langendriya Mandraswara, yang hingga sekarang masih tetap dilestarikan. Pengabdian R.M.H. Tandakusuma juga masih tetap berlanjut ketika Sri Mangkunegara V menggantikan ayahandanya (1881-1896).
Dengan bantuan R.M.H. Tandakusuma dan para seniman lainnya, Sri Mangkunegara V tidak saja mene­ruskan bentuk kesenian yang diwarisinya, tetapi menco­ba lebih memantapkan atau menyempurnakan. Tata bu­sana wayang wong gaya Surakarta yang berkembang dewasa ini adalah salah satu kreasinya. Menurut Th.B.van Lelyveld bahwa wayang wong di Istana Mang­kunegaran mencapai puncak perkembangannya ketika Sri Mangkunegara V bertahta, yang ditandai adanya pembakuan (standarisasi) tata busana wayang wong de­ngan diilhami tata busana wayang kulit purwa dan gambar Bima pada relief candi Sukuh. Secara tradisi kreasi tata busana itu merupakan ciptaan raja yang sedang berkuasa, seperti ditunjukkan dalam sebuah manuskrip yang berjudul "Pratelan Busananing Ringgit Tiyang",
"Punika pretelaning ringgit Hyang purwa akabyan gedhog sabusananipun budha, yasanipun Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Prabu Prangwadana, ingkang kaping lima, ing nagari Surakarta Hadiningrat".
(Ini menerangkan wayang wong purwo dan gedhog, beserta busananya budha, ciptaan Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Prabu Prangwodono, yang ke-5, di negara Surakarta Hadiningrat).
Rupa-rupanya pembakuan (standarisasi) tata bu­sana wayang wong gaya Surakarta lebih dahulu dari­pada pembakuan tata busana wayang wong gaya Yogyakarta yaitu sekitar perempat abad ke-20 pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1923­1939). Hanya saja perkembangan tata busana wayang wong gaya Yogyakarta menunjukkan lebih lengkap teru­tama untuk tokoh kera dan raksasa yang memakai to­peng serta kreasi tata busana binatang.
Masa kejayaan wayang wong gaya Surakarta ti­dak terbatas pada bentuk baku tata busana, tetapi juga pada penciptaan naskah lakon dan pertunjukkannya. Namun sangat disayangkan akhir masa pemerintahan Sri Mangkunegara V terdapat tanda-tanda kemunduran akibat pengaruh kemunduran perusahaan perkebunan kopi yang dilanda hams penyakit dan munculnya komoditi gula bit di Eropa. Sebagaimana diketahui bahwa masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV merupakan periode pertumbuhan ekonomi dan kekayaan Kadipaten Mangkunegaran karena pada waktu itu banyak didiri­kan perkebunan kopi dan gula, serta pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu. Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara V sebagai pengganti Sri Mangkunegara IV karena didukung ekonomi yang berlimpah, tidak mengherankan apabila wayang wong khususnya dan se­ni tari pada umumnya mengalami perkembangan yang pesat.
Periode pemerintahan Sri Mangkunegara VI (1896-1916) merupakan periode kemunduran kesenian sebagai konsekuensi logis dampak kemorosotan ekono­mi Kadipaten Mangkunegaran masa pemerintahan sebelumnya. Adalah wajar apabila masa pemerintahannya lebih memprioritaskan stabilitas ekonomi dan politik daripada stabilitas seni-budaya. Untuk membangun kembali kekayaan Istana Mangkunegaran, Sri Mangku­negara VI melakukan langkah-langkah kebijaksanaan an­tara lain : melakukan terobosan di bidang ekonomi yaitu menyediakan rumah-rumah sewa, menghapus perke­bunan kopi karena tidak mendatangkan keuntungan la­gi, memisahkan kas negara dan kas istana, mengurangi penghasilan menjadi sebesar f 3.000,- untuk dirinya sen­diri (Sri Mangkunegara V dulu digaji f 5.000,-), mendi­rikan kantor pajak tanah, mengurangi jumlah pasukan Legiun atau bahkan ada yang dihapuskan, menyeder­hanakan berbagai kegiatan upacara dan pertunjukan kesenian (termasuk meniadakan pertunjukan wayang wong). Langkah-langkah itu dimaksudkan untuk me­ngadakan penghematan yang lebih ketat sejalan dengan kebijaksanaan pengawasan keuangan oleh pemerintah Belanda. Di samping itu dilakukan juga penjualan tam­bak terbaya dan perkebunan nila di Mayaretna yang di­ganti dengan perusahaan besar agar dapat membantu pangan para kerabat Pura Mangkunegaran.
Dampak kemorosotan keuangan Istana Mangku­negaran dan langkah kebijaksanaan Sri Mangkunegara VI membawa arti tersendiri bagi perkembangan wayang wong. Wayang wong tidak lagi menjadi monopoli di dalam tembok istana, tetapi mengalami mobilitas budaya menjadi seni pertunjukan kota yang bersifat komersial. Fenomena penyebaran wayang wong ke luar tembok is­tana terjadi sekitar tahun 1895, masa terakhir pemerin­tahan Sri Mangkunegara V. Menurut James R. Brandon bahwa perkembangan wayang wong sampai tahun 1895 hampir tidak pernah dijumpai di luar tembok keraton dan pada tahun itu juga sebuah grup wayang wong pro­fesional pertama didirikan oleh seorang pengusaha Cina yang kaya yaitu bernama Gan Kam." Dengan demikian tahun 1895 merupakan titik awal perubahan dan penye­baran wayang wong ke luar tembok istana. Dalam proses pembentukan wayang wong profesional ini para seni­man istana terutama bekas pada abdi dalem wayang wong mempunyai peranan besar dan strategic meng­ingat pada waktu itu profesi seniman relatif terbatas. Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Ringkas Wayang, R.M. Sayid mengemukakan bahwa pemerintahan Sri Mangkunegara VI yang sedang mengalami krisis keuangan dalam kebijaksanaan kesenian melakukan nyederhanaan pertunjukan dan memberhentikan seba­gian besar abdi dalem wayang wong. Para bekas abdi dalem di kampung-kampung mendirikan grup wayang wong atau menjadi anggota grup wayang wong barang­an.
Di luar istana dalam keduclukannya sebagai seni komersial, wayang wong tidak lagi pentas di arena pen­dapa sebagaimana ketika masih di dalam istana atau di rumah para bangsawan, tetapi pentas pada sebuah pang­gung berlayar yang lugs relatif terbatas. Transformasi tata teknik pentas model Eropa ini diperkirakan karena adanya pengaruh pertunjukan-pertunjukan rombongan kesenian dari Malaysia yang sedang mengadakan la­watan di Jawa. Namun bentuk panggung prosenium ini kemungkinan besar juga mendapat pengaruh dari gedung pertunjukan yang didirikan di pusat kota. Pusat gedung pertunjukan yang kini sebagian besar menjadi gedung bioskop seperti U.P. Theater, Dhady Theater, Trisaksi Theater (kini menjadi gedung bank BPD), Fajar Theater, adalah sisa-sisa bangunan panggung proseni­um. Gedung-gedung pertunjukan itu merupakan bagian dari struktur pusat kota yang meliputi rumah residen, kantor-kantor, gereja, gedung pertunjukan, gedung-ge­dung sekolah, toko-toko, dan benteng Vastenburg.
Berangkat dari pertimbangan bisnis, maka per­tunjukan wayang wong hanya dipentaskan di tempat­tempat yang ramai seperti pasar malam atau tempat rekreasi umum. Biasanya sebuah rombongan wayang wong profesional melakukan lawatan ke berbagai kota di Jawa selama beberapa bulan lamanya. Sebuah bangu­nan tobong didirikan yaitu sebuah panggung prosenium dan auiditorium yang dibuat sementara. Para anak wa­yang tidur pada kamar-kamar kecil yang dibuat di se­kitar panggung. Namun tidak jarang beberapa rombong­an wayang wong profesional menyelenggarakan pentas rutin di tempat yang permanen, misalnya Wayang wong Sriwedari di Surakarta, Wayang wong Ngesti Pandawa di Semarang, Wayang wong Bharata di Jakarta, Wayang wong Sri Wandawa di Surabaya, dan sebagainya. Dalam tulisan Brandon (1967) diperkirakan berkembang sekitar 20 grup wayang wong profesional besar yang tersebar di kota-kota besar di Jawa.

B.     Perlengkapan Kostum dan Rias yang digunakan
Untuk memberi gambaran yang jelas mengenai bagian-bagian kelengkapan tata busana wayang wong gaya Surakarta, berikut ini akan diuraikan secara singkat:
1.      Irah-irahan
Merupakan kelengkapan tata busana wayang wong yang berfungsi sebagai penutup kepala dan sekaligus merupakan salah satu atribut tokoh tertentu yang mempunyai status sosial tertentu. Adapun macam-macam irah-irahan antara lain :
a.       Teropong yaitu dipakai untuk peran raja kecuali Puntadewa, Gatutkaca, Saleya dan Duryudana
b.      Gelung yaitu dipakai untuk peran putra alus luruh dan lanyap serta beberapa tokoh peran putra gagah seperti Gatutkaca, Setiyaki, Jayajatra, dan Indrajit.
c.       Gelung keeling yaitu dipakai untuk peran putri luruh dan lanyap
d.      Pogokan yaitu dibagi menjadi pokoageng untuk Duryudana, pogoktanggung untuk Antasena dan pogokdhepok untuk Abimanyu.
e.       Keton yaitu dibagi menjadi keton biasa untuk peran Adhipati dan keton keyongan untuk peran Dewa-dewa.
f.        Kera yaitu untuk peran kera yang dibentuk seperti irah-irahan gelung
g.      Gimbal yaitu peran untuk raksasa rucah, sedang raksasa patih memakai irah-irahan pogokan.
h.      Irah-irahan bugis dan irah-irahan khusus untuk Punokawan.
Warna dasar dasar dari thothok pada masing-masing irah-irahan tergantung dari perwatakan tari, misalnya Kresna menggunakan teropong degan warna dominan hitam, Rahwana dan Baladewa menggunakan warna merah, serta Rama dengan warna hijau.
2.      Sumping
Bentuk sumping pada dasarnya dibedakan 3 macam, yaitu: sumping untuk putri, sumping untuk peran putra, dan sumping khusus untuk Werkudara dan Anoman yang dsebut sumping pudak, sedang sumping untuk peran putra dugangan disebut sumping gajah ngoling.
3.      Kalung
Kalung ada 3 macam, yaitu: kalung sungsun, kalung ulur, dan kalung kecah. Dalam perkembangannya, kalung sungsun jarang sekali dipakai dan diganti dengan kalung biasa. Sementara itu, terjadi pula pemakaian yang salah kaprahi, yaitu kalung ulur dan kalung kaceh dipakai secara bersama-sama.
4.      Klat Bahu
Klat Bahu dibagi menjadi 3 macam, yaitu: klat bahu gurda, klat bahu putra (biasa), dan klat bahu nagabanda yang secara khusus dipakai oleh Werkudara dan Anoman. Namun dalam pelaksanaannya, sering juga dipakai oleh Dursasana, Kumbakarna, dan Raksasa. Adapun tokoh dalam wayang wong yang tidak memakai klat bahu ialah Puntadewa, Dewi Sembadra, dan Dewi Sinta.
5.      Praba
Praba merupakan salah satu atribut wayang wong yang sebenarnya dipakai oleh tokoh-tokoh yang mempunyai perbawa / sinar, misalnya Kresna, Rahwana, Baladewa, Adipati Karna, Gatutkaca, dsb.
6.      Srempang
7.      Mekak
Khusus dipergunakan oleh peran wanita atau peran putra yang dimainkan oleh wanita.
8.      Kantong Gelung
Menurut tradisi kantong gelung hanya dipakai untuk peran yang memakai irah-irahan pogok dan untuk menyimpan rambut peran putra yang dimainkan oleh wanita.
9.      Ilat
Dipakai untuk menutupi sambungan mekak yang letaknya di tengah dada (khusus untuk peran putrid dan peran putra yang dimainkan oleh wanita).
10.  Simbar Dhadha (khusus untuk peran putra gagah)
11.  Srempang (dipakai pada bahu, diampirkan sampai pinggang kiri)
12.  Sabuk
13.  Epek Timang (khusus untuk peran putra, sedang ntuk peran putrid disebut slete degan ceplok).
14.  Bara-samir (khusus untuk peran putra)
15.  Kain
Pemakaian kain pada wayang wong disesuaikan denan karakter tokoh yang dibawakan. Misalnya lereng barog untuk peran Raja, kain kawung alit untuk emban, kain lereng alit untuk peran ptri, kain ereng tnggung untuk pera putra, kain poleng untuk peran Werkudara dan Anoman, kain bintulu untuk peran Raksasa rucah, dan kain kawung tanggung untuk peran dagelan. Adapun cara pemakaiaannya yaitu berupa wiron prajuritan / ksatrian untuk peran putra alus luruh dan lanya, supit urang untuk peran putra gagah, samparan untuk peeran putrid, candingan prajuritan ( cancutan) utuk peran Raja dengan perwatakan tari gagah atau peran putrid seperti sarpa kenaka, dan mustakaweni serta Srikandi, Rapekan untuk peran raksasa Raja dan rucah, serta untuk peran dagelan atau dewa.
16.  Uncal Badong
Khusus hanya dipakai untuk peran putra yang berfungsi sebagai hiasandan sekaligus perisai alat kelamin.
17.  Gelang
18.  Binggel
19.  Jubah (khusus untuk pendeta dan dewa)
20.  Rumpi (khusus untuk peran cantrik dan dagean)
21.  Sampur (khusus untuk putra motif gendaragiri dan putrid samur polos)
22.  Keris (betuk ladragan dan gayaman)
Untuk peran raksasa rucah, prahasta, mangmungmurka, Kumbakarna, niwata kawaka tidak memakai keris. Keris gayaman untuk peran pendeta, dewa, sedang keris ladrangan untuk peran putra alus, dugangan nin raksaa, dan peran putrid terutama non prajurit memakai patern. Di samping keris, terdapat tokoh terentu, misalnya Pasopati milik Arjuna, Guanawijaya milik Rama, dsb.
Tata rias wong menurut jenisnya digolongkan kedalam rias panggung, yaitu rias wajah yang cenderung memperjelas atau mempertebal garis-garis wajah seperti permukaan wajah diberi bedak dan rouge lebih tebal, garis mata diperjelas, alis dibuat lebih tebal,dan sebaginya. Dalam wayang wong tata rias disesuaian dengan karakterisasi tokoh yang dibawakan yaitu mengacu pada karakterisasi ikonografi boneka-boneka wayang kulit. Karakterisasi ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : (1) kelompok karakter halus yang memiliki criteria berpawakan kecil dan langsing, hidung sangat mancung (ambangir), mata berbentuk setengah tertutup (liyepan), (2) kelompok kararakter yang memiliki tubuh sedang dan kuat, hidung biasa (sembada), serta mata biasa (kedhelen atau kedhondhongan). (3) kelompok karakter yang memiliki tubuh besar-tinggi-kuat, hidung besar (dhempok) dan mata terbuka lebar (thelengan atau plelengan). Setiap kelompok karakter masih dibagi lagi menurut pandangan wajah serta nada berbicara, yaitu : (1) pandangan wajah tumungkul (wajah memandang diagonal kebawah), berbicara dengan suara rendah (nada 6 besar atau 1) (2) pandangan wajah longok (wajah memandang lurus kedepan), berbicar dengan suara nada tengah (nada 2/3) (3) pandangan wajh langak (wajah sedikit memandang ketas), berbicara dengan suara nada tinggi (nada 3/5). Meskipun karakterisasi ikonografis mengacu pada wayang kulit akan tetapi dalam hal tertentu terutama tentang warna muka wayang kulit tidak ditiru dalam wayang wong seperti warna hitam dalam tokoh Bima, Gatutkaca, Arjuna dan sebagainya. Tata rias wayang wong yang dikategorikan dalam tata rias karakter, sebenarnya dapat dibedakan lagi menjadi 2 yaitu tat arias realistis dan non realistis. Tata rias realistis pada umumnya dipakai oleh karakter tokoh wayang yang berwujud manusia, sedang tata rias non realistis hanya berlaku untuk tokoh-tokoh tertentu seperti peran raksasa. Tata rias peran putri pada hakikatnya dibedakan untuk peran luruh (oyi) dan peran lanyap, namun dalam kenyataannya perbedaan itu tidak tampak. Tata rias peran putri bentuk alisnya  dibuat memanjang keatas yang disebut ilatkedhal, mata dibuat garis hitam mengikuti tepi mata atas dan bawah yang kedua ujungnya bertemu dibentuk runcing seperti wayang kulit, kedua pipi setelah diberi bedak dipolesi rouge samar-samar, bibir diberi lipstick, dan godhek berbentuk ngudhup turi. Tata rias peran putra alus yang dibedakan menjadi alus luluh dan lanyap sebagaimana dalam tata rias peran putrid sebenaranya tidak ada perbedaan yang prinsip, lebih-lebih pada tradisi transfestite dalam wayang wong terutama peran alus yang perankan oleh wanita. Bentuk alis cenderung tidak ada perbedaan, dan perbedaan hanya terdapat pada godhek yaitu ngundhup turi untuk alus luruh dan alus lanyap yang disebut pangot. Tata rias peran putra madyataya sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tata rias putra agal dugangan meskipun punya sifat putra alus. Pada karakter ini tata rias pada unsur alus tetapi alis agal lebih besar, rouge lebih tebal, ada kumis dan cambang, serta godhek cenderung tebal yang bentuknya berbeda dengan ngudhup turi atau pangot. Untuk tata rias peran putra agal dibedakan menjadi tiga golongan, tata rias dugangan, kera, dan kasaran atau raksasa. Rias dugangan sama seperti tata rias peran madyataya, tetapi rouge cenderug lebih merah, alis peran madyataya, tetapi rouge cenderung lebih merah, alis dan godhek lebh tebal, memakai kumis dan cambang, sehingga tampak member kesan galak dan jantan, misalnya Gatutkaca, Dursasana, dan sebagainya. Tata rias kera gaya Surakarta tidak memakai topeng seperti wayang wong gaya Yogyakarta, tetapi wajah muka bagian atas diriasi sesuai dengan karakter kera, sedang bagian bawah memakai penutup mulut yang disebut cangkeman. Untuk tata rias putra peran kasaran yaitu peran raksasa. Tata rias raksasa masuk kategori tat arias non realistis. Bentuknya cenderung menakutkan yaitu dengan membuat garis-garis wajah diperbesar baik garis mata maupun hidung yang kontras karena komposisi warna hiam, putih dan merah. Pada mulut secara khusus memakai cangkemani dengan bentuk gigi yang besar-besar dan taring disebelah bibir kanan-kiri. Alis hampir tidak pernah dijumpai pada tat arias raksasa raja yang bentuknya seperti alis dugangan, hidung diberi variasi garis tebal yang memberi kesan galak, dan bagian bibir bawah kanan-kiri diberi gigi taring (siung) serta jawes yang menggambarkan rambut yang tumbuh pada bibir bawah. Baik suing maupun jawes diberi garis hitam yang melingkari yang disebut kawet. Tata rias lain pada wayang wong adalah tata rias peran gecul yang memiliki rias wajah khas yaitu untuk peran Punakawan dan tata rias yang mempunyai ciri khas yang cenderung jelek seperti Sengkuni, Durna dan Narada. Untuk tata rias raksasa cakil memakai tata rias dugangan kasaran, tetapi cangkemannya memiliki bentuk yang khas yaitu rahang bawah maju kedepan dengan dua buah taring yang mencuat keatas, mata diberi sindhetan dan hidung serta pipi diberi garis-garis tambahan agar memberi kesan galak.
Adapun bahan –bahan yang dipakai untuk tata rias Wayang Wong Sriwedari ialah memanfaatkan bahan-bahan rias tradisional, disamping yang modern. Bahan-bahan rias tradisional yang dimaksud antara lain: (1) Singwit yaitu bahan rias yang dibuat dari serbuk untuk bahan cat dengan cara diolah beberapa hari melalui perebusan dan pengeringan, biasanya warna yang digunakan adalah merah, putih, kuning, hijau, biru dan orange ; (2) langes yaitu bahan rias yang dibuat gumpalan asap lampu minyak tanah dengan dicampur minyak rambut atau air teh kental dan gula pasir atau ada juga yang mencampur dengan air tape dan gula pasir; (3) pidih yaitu alat untuk membuat garis-garis wajah yang dibuat dari bahan bambu atau rotan yang fungsinya sebagai pengganti pensil alis. Alat-alat tata rias modern antara lain cleansing milk, foundation, bedak, lipstick, penil ais dan eye shadow.         

C.    Alasan Masih Diselenggarakannya Wayang di GWO Sriwedari
Banyak alasan yang melatarbelakangi mengapa masih diadakannya wayang orang, salah satunya adalah untuk tetap melestarikan kebudayaan Surakarta yang sudah mulai tidak digemari oleh para generasi muda dna terkikis oleh adanya budaya baru. Orang-orang yang masih peduli dan masih antusias melestarikan kebudayaan ini akan terus berupaya dalam mempertunjukan sesuatu yang sudah dianggap asing. Jika dilihat dari sejarahnya,wayang orang pertama kali diperkenalkan di Mangkunegaran, setelah itu penyebaran wayang mulai merambah ke Yogyakarta, memang pada awalnya orang Cina yang berada di Surakarta lebih terlihat antusias untuk mempelajari Wayang Orang ini, karena pada saat itu Cina lebih mendominasi dalam berbagai bidang khususnya budaya dan ekonomi. Dari situlah, orang-orang yang mengerti sejarah tetap harus menjaga budaya Wayang ini agar tidak didominasi oleh penduduk asing yang berada di Surakarta.
Alasan mengenai penyelenggaran wayang orang ini lebih dominan pada pelestarian budaya. Selain itu juga sifat dari masyarakat Indonesia sendiri yang lebih mudah untuk menerima budaya asing yang dianggap lebih modern dan lebih menjadi trend di masa sekarang, karena mereka menganggap kebudayaan wayang seperti itu sudah dianggap kebudayaan kolot dan tidak sesuai zaman. Para pemain wayang sendiri juga mulai berpikir keras mengenai bagaimana menarik minat generasi sekarang dengan diselenggarakannya pertunjukan wayang setiap hari, tetapi walaupun begitu animo masyarakat masih dibawah standart untuk masuk dalam kategori peminat kebudayaan wayang. Sebenarnya ada banyak alasan untuk setiap orang agar penyelenggraan wayang ini dilakukan secara terus-menerus tetapi hanya akan menjadi alasan ketika tidak ada pengimplementasian dalam upaya pelestarian wayang orang tersebut.
Alasan yang sama juga dikemukakan oleh pihak yang antusias, yaitu karena tuntutan dalam obyek wisata yang ada di Surakarta ini. Sungguh mengecewakan jika ada kunjungan baik dari turis domestic maupun luar negerti yang akan menikmati pertunjukan wayang orang ini tetapi tidak  ada pagelarannya. Jadi alasan itulah yang juga menjadi perhitungan unuk tetap mengadakan pertunjuka wayang orang setiap hari. Jika penonton antusias dan memenuhi kursi yang disediakan maka akan menjadi suplemen tersendiri bagi pemain wayang untuk lebih semangat dalam menampilkan peran yang dibawakannya.
Banyak cara untuk mengenalkan wayang orang ini kepada khalayak banyak, tetapi itu juga tergantung dari antusias masyarakat itu sendiri dalam menanggapi kebudayaan ini. Kecanggihan teknologi juga tidak henti-hentinya digalakkan untuk mempromosikan kebudayaan terutama Wayang Orang. Menurut Narasumber yang ikut andil dalam pengenalan wayang ini juga menambahkan bahwa harus adanya Tim untuk mengenalkan ke berbagai media. Di era modern ini banyak jejaring sosial yang dimanfaatkan oleh anak muda untuk ajang promo/jualan secara online, begitu juga pengenalan wayang ini. Dengan memanfaatkan media sosial sperti facebook, twitter, BBM, dan lain sebagainya juga menjadi ajang bahwa masih ada pagelaran wayang yang dilakukan setiap hari di Gedung Wayang Orang Sriwedari yang jika dilihat dari letaknya sangat strategis yaitu berada di jantung kota Surakarta. Berbagai media Televisi lokal juga berlomba-lomba menayangkan pagelaran seni wayang orang, misalnya saja saat hari jadi kota Surakarta atau pada perlombaan seni di kota ini. Salah satu dari promotor wayang orang ini dengan mencetak dalam bentuk Baliho/Pamfet yang dipasang didepan rumah, disudut kota yang banyak dilihat oleh orang banyak.
Pengenalan wayang Orang juga bisa dilakukan dengan adanya perkumpulan wayang orang seindonesia yang melihatkan keaslian wayang orang dari wilayah masing-masing. Hal itu menjadi point penting dalam mengenalkan wayang orang Surakarta. Wayang orang mulai menjadi perhatian ketika di Solo ada suatu acara yang menyangkut tentang kebudayaan tetapi tidak hanya terbatas pada suat acara, di Solo memang menjadi pusat wisata budaya sehingga turis local maupun mancanegara bisa melihat kebudayaan Solo setiap hari.



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Pelestarian wayang orang harus tetap digalakkan, agar tidak hilang dalam diri masyarakat terutama yang berada diwilayah Surakarta. Bisa dilihat dari sejarahnya bahwa wayang orang merupakan budaya yang mendasar yang dimiki oleh orang berada dalam lingkup kraton. Pelestarian bisa dilakukan dengan cara tetap mengadakan pagelaran wayang orang setiap hari seperti yang dilakukan oleh seniman Wayang Orang yang berada diwilayah Sriwedari. Selain itu juga pemanfaatan tekonologi yang bisa menjadi sarana untuk memperomosikan kebudayaan wayang orang ini kepada masyarakat terutama generasi muda yang mulai tidak mengenal dan enggan untuk ikut andil dalam melestarikan kebudayaan ini. Banyaknya budaya baru yang membanjiri negara Indonesia inilah yang menjadi pemicu tergesernya rasa melestarikan di pribadi anak muda.
 Dalam pelestarian ini juga didukung oleh adanya antusias dari seluruh elemen masyarakat sehingga pertunjukan wayang orang tidak identik dengan dengan pertunjukan untuk orang tua. Sehingga wayang orang bisa dinikmati oleh semua kalangan, karena tema dari wayang orang itu sendiri tidak monoton dan juga bisa mengikuti perkembangan jaman.

B.     Saran 
Dalam pelestarian Wayang Orang ini harus ada keterlibatan dan kontribusi dari seluruh elemen masyarakat Surakarta itu sendiri, karena dengan begitu akan menimbulkan semangat bagi para pemain Wayang Orang dan Penonton yang tetap bertahan untuk ikut andil dalam melestarikan kebudayaan yang sudah mulai terkikis oleh kebudayaan yang bisa dikatakan lebih modern. Selain itu perlu adanya sosialisasi besar-besaran dan rutin agar generasi muda lebih memahami pentingnya kebudayaan Wayang agar tidak hilang dan diakui oleh bangsa lain. Dengan begitu maka Wayang Orang Surakarta tetap ada dan dilestarikan melalui Pagelaran seni di Gedung Wayang Orang Sriwedari. 

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Lisan :
Hasil wawancara dengan Mas Purbo (Ndaru) sebagai promoter dalam mempromosikan wayang di berbagai media.
Hasil wawancara dengan penonton yang masih memiliki rasa untuk melestarikan kebudayaan wayang ini.
Hasil wawancara dengan salah satu PNS yang masih aktif terlibat dalam pertunjukan Wayang Orang Sriwedari

Sumber Buku :
Kaplan David, Manners A Robert. 2002. The Theory of Culture. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR





Tidak ada komentar:

Posting Komentar