BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wayang merupakan sebuah
karya seni pertujukan tradisional yang lekat dengan nuansa keraton. Pertunjukan
wayang sering diiringi dengan alunan musik yang berirama berupa gamelan dan
sinden sebagai pelengkapnya. Seni wayang pertama kali dipertunjukan di keraton
Kasunan Surakarta. Pertunjukan wayang biasanya menceritakan sebuah dongeng,
kisah percintaan dan peperangan. Perkenalan terhadap seni wayang di Surakarta
dianggap belum maksimal.
Untuk memperkenalkan lebih luas lagi,
dari pihak keraton Kasunan Surakarta berinisiatif untuk memperkenalkannya ke
keraton Kasunanan Yogyakarta. Cara ini dirasa efektif untuk menyebarluaskan
kesenian wayang. Kesenian wayang merupakan sebuah budaya yang perlu
dilestarikan, tidak hanya dinikmati oleh kalangan keraton saja akan tetapi bisa
dinikmati oleh khalayak umum. Pada zaman dahulu abdi dalem dan rakyat di
sekitar keraton seringkali membuat pertunjukan wayang. Karena dengan seringnya
pagelaran wayang maka dengan cepat kesenian wayang terkenal ke masyarakat luas.
Seiring berjalannya waktu dan era modern
yang menjamur, maka penikmat wayang semakin sedikit. Hal ini menjadi perhatian
khusus bagi para pencetus seni wayang untuk menyelamatkan wayang agar tetap
lestari. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pelestarian
Wayang Orang yang masih tetap bertahan di tengah kebudayaan asing.
B. Rumusan
Masalah
1. Sejarah
Wayang Orang Sriwedari
2. Perlengkapan
Kostum dan Rias yang digunakan
3. Alasan
Masih Diselenggarakannya Wayang di GWO Sriwedari
C. Tujuan
Penelitian
1. Tujuan umum penelitian ini adalah
untuk memenuhi tugas Kebudayaan yaitu mengenai Pelestarian
Kebudayaan Wayang Orang Melalui Pagelaran Seni di Gedung Wayang Orang
Sriwedari.
2. Tujuan Khusus penelitian ini adalah
untuk mengetahui tentang :
a.
Sejarah Wayang Orang Sriwedari
b.
Perlengkapan Kostum dan Rias yang
digunakan
c.
Alasan Masih Diselenggarakannya Wayang
di GWO Sriwedari
BAB II
HASIL
SURVEI LAPANGAN
A. Sejarah Wayang Orang Sriwedari
Sebagai
sebuah genre yang digolongkan ke dalam drama tari, sesungguhnya wayang wong
merupakan personifikasi dari wayang kulit purwa yang ceritanya mengambil epos
Ramayana dan Mahabharata. Kehadirannya di Istana Mangkunegaran dan di
Kasultanan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-18 menurut para ahli merupakan renaissance
wayang wwang yang telah berkembang pada masa kerajaan Majapahit, bahkan
diduga sudah berkembang pada masa sebelumnya seperti diketemukan pada prasasti
Wimalasrama pada tahun 930 A.D., tentang penggunaan istilah wayang wwang. Kata
wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti "bayangan", sedang
kata wwang berarti "orang atau manusia". Jadi wayang wwang
dapat diartikan sebuah pertunjukkan wayang yang pelaku-pelakunya dimainkan
oleh manusia. Apabila informasi itu benar, maka perkembangan wayang wong telah
mengalami perjalanan yang panjang dengan segala problematiknya. Hanya saja
karena sifat pertunjukan adalah seni sesaat dan tidak adanya sistem
pendokumentasian, kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam melacak atau
merekonstruksi bentuk penyajiannya. Namun demikian jika gaya dan teknik
tarinya dapat dikembalikan kepada visualisasi relief-relief candi Borobudur
dan candi Prambanan zaman Mataram kung, kemungkinan besar fakta ini dapat memberi
petunjuk sejauh mana perkembangan gaya dan bentuk tari pada masa itu, terutama
dikaitkan dengan perkembangan wayang wwang.
Keterkaitan
antara epos Ramayana dan Mahabharata sebagai acuan utama lakon wayang wwang
dengan ritus-ritus keagamaan Hindu, membawa konsekuensi terhadap kesinambungan
nilai-nilai wayang dan sekaligus bentuk pertunjukannya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan rekaman cerita epos Ramayana dan Mahabharata pada
relief-relief di candi-candi Jawa Timur semasa kerajaan Singasari dan
Majapahit. Misalnya relief candi jago yang melukiskan cerita Arjuna Wiwaha dan
cerita Bale Sigalagala, dibuat untuk tempat pemakaman abu jenasah raja
Wisnuwardana. Relief Arluna Wiwaha pada Candi Tigawangi. Relief Ramayana pada
candi Panataran. Contoh pertama dibuat pada zaman kerajaan Majapahit
pendokumentasian wira-carita Ramayana dan Mahabharata itu menunjukkan adanya
kedudukan kedua cerita itu mempunyai hubungan erat dengan system keagamaan
Hindu dan kedudukan raja yang merupakan titisan dewa.
Pengaruh
agama Hindu dengan bentuk wayangriya mengalami kemunduran sejak kerajaan
Majapahit runtuh di bawah penguasaan kerajaan Demak yang menganut agama Islam.
Sisa-sisa dari kebudayaan Hindu dapat Bali dijumpai di sampai sekarang,
termasuk wayang wwang (wayang wong). Hanya saja nama yang diberikan untuk
cerita yang dibawakan berbeda. Wayang wong secara khusus digunakan untuk
menyebut dramatari yang bertopeng dan membawakan cerita Ramayana, sedang parwa
untuk menyebut dramatari yang tidak bertopeng dan ceritanya mengambil dari
Mahabharata.
Kembali
kepada perkembangan wayang wong, Clifford Geertz menyebutkan bahwa munculnya
wayang wong pada pertengahan abad ke-18 merupakan bagian dari kebangkitan seni
klasik Jawa setelah mendapat pukulan karena masuknya agama Islam. Pernyataan
Geertz itu kiranya cukup beralasan mengingat bahwa pada masa kerajaan Demak,
kemudian Kerajaan Pajang dan diteruskan Kerajaan Mataram Islam sampai Kerajaan
Mataram Kartasura tidak ditemukan data-data ten-tang pertunjukan wayang wong.
Baru sesudah perjanjian Giyanti yang ditandai pecahnya kerajaan Mataram dibagi
menjadi dua yaitu Kerajaan Kasunanan Surakarta. dan Kasunanan Yogyakarta,
kemudian Kerajaan Kasunanan dibagi lagi menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kadipaten Mangkunegaran pada perjanjian Salatiga tahun 1757, secara bersamaan
Sri Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792) dan Sri Mangkunegara I (1757-1795)
menciptakan wayang wong sebagai suatu atribut kebesaran pemerintahannya.
Persamaan
ide memunculkan kembali wayang wong dalam kehidupan kultural keraton baik di
istana Mangkunegaran maupun istana Yogyakarta, diduga antara keduanya
mempunyai persaingan pribadi dan politik selama perjuangan melawan pemerintah
kolonial Belanda. Perlu diketahui bahwa Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas
Said adalah menantu dan sekaligus wazir Pangeran Mangkubumi ketika masa
perjuangan. Fenomena ini sudah barang tentu wajar lantaran raja harus
menegakkan wibawanya lewat simbol-simbol. Mengenai jalan hidup ini dicoba
didekati dengan meminjam teori Huizinga. Menurut Huizinga,
"Manusia
yang kurang pugs dengan kenyataan sehari-hari, di mana-mana dan dizaman apa pun
selalu mengangan-angankan kehidupan yang lebih mulia dan lebih indah."
Huizinga
mengisyaratkan tiga jalan. Pertama, manusia dapat menjauhkan diri dari
kenyataan. Kedua, menyempurnakan kenyataan yang menjabarkan usaha pembaharuan
bentuk pranata kemasyarakatan atau kenegaraan. Ketiga, dinamakan jalan
"khayalan" yakni jalan yang paling mudah namun selalu tetap jauh dari
tujuan. Jalan yang ketiga tampaknya relevan dengan kehidupan kesenian di
lingkungan istana. Identifikasi nilai-nilai itu ialah suatu terra sederhana
sudah cukuplah, khayalan kepahlawanan, tema tentang orang-orang bijaksana,
atau kehidupan di tengah-tengah slam yang selaras. Di sini ada kecenderungan
bahwa bentuk-bentuk kehidupan itu diekspresikan menjadi bentuk-bentuk seni.
Dalam konteks legitimasi kekuasaan paham feodal lebih lanjut dijelaskan oleh
Burger,
Rasa kekuasaan di dalam
dunia yang feodal dan berhirarkis belum berakar kuat, terutama barn pada kekayaan.
Rasa itu lebih bersifat pribadi. Supaya diakui, kekuasaan itu harus
diperlihatkan dengan kemegahan, berupa iring-iringan pengikut setia yang amat
banyak, dandanan yang mewah serta tingkah laku yang agung berwibawa dari orang
yang berkuasa itu. Kesadaran akan keunggulannya dari orang lain selalu dipupuk
oleh kaum feodal dengan bentuk hidup berupa sembah sambil berlutut dan
pengabdian, penghormatan yang khidmat serta kebesaran yang menakjubkan, yang
kesemuanya sekaligus menyebabkan keunggulan itu terasa sebagai sesuatu yang
sungguh nyata dan dapat dibenarkan.
Apa
yang dikemukakan oleh Huizinga sebagaimana dikutip oleh Burger itu, kiranya
dapat digunakan sebagai suatu pemikiran untuk melihat perkembangan kehidupan
seni di lingkungan istana sebagai salah satu atribut kebesaran raja.
Adapun
yang dimaksud dengan wayang wong gaya Surakarta ialah wayang wong yang
berkembang di istana Mangkunegaran yang secara politik kedudukannya berada di
bawah Kasunanan Surakarta. Oleh karena pada induknya yaitu itu, gaya seninya
masih mengacu pada induknya yaitu kesenian dari keraton Kasunanan Surakarta.
Perkembangan seni istana Mangkunegaran rnencapai bentuknya yang khas yaitu
niasa penierintahan Sri Mangkunegara VII (1916-1944) karena adanya akulturasi
budaya dengan banyaknya pengaruh dari gaya Yogyakarta.
Periode
awal perkembang wayang wong di istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Sri
Mangkunegara I hanya ada sedikit informasi. Menurut Th. B. van Lelyveld bahwa
lakon pertarna yang dicipta oleh Sri Mangkunegara I adalah Wijanarka, sedang
Sri Sultan Hamengku Buwana I mencipta lakon pertama dengan judul Gandawardaya.
Informasi ini kiranya cukup memberi gambaran tentang lakon yang dibawakan dan
kemungkinan besar merupakan bentuk simbolisme tema-tema kepahl awanan yang diduga ada hubungannya
dengan identifikasi atas dirinya. Namun informasi tentang deskripsi bentuk
pertunjukan, berapa pendukungnya, berapa besar dana yang diperlukan untuk
produksi itu, atau siapa saja yang boleh menonton pertunjukan itu dan kapan pertunjukan
itu berlangsung tidak ada bekasnya.
Latar
belakang pemilihan lakon kemungkinan besar mempunyai alasan, terutama tema yang
dibawakan identik dengan tema kepahlawanan atas dirinya. Lakon Wijanarka atau
lengkapnya Bambang Wijanarka mencari Tirta Kamandanu (air kehidupan) untuk
menyembuhkan Dewi Sitisundari. Apabila dirinya tidak berhasil mendapatkan air
itu, maka ia tidak diakui sebagai putra Raden Harjuna. Atas pertolongan Begawan
Kapiraya, Bambang Wijanarka berhasil mendapatkan Tirta Kamandanu. Namun di
tengah perjalanan dikeroyok oleh Kurawa yang menginginkan air itu. Meskipun air
itu berhasil direbut Kurawa, tetapi atas pertolongan Begawan Kapiraya pula air
itu dapat direbut kembali dan diserahkan kepada Bambang Wijanarka. Akhir cerita
Dewi Sitisundari dapat disem-buhkan dan dikawinkan dengan Raden Abimanyu,
sedang Wijanarka diakui sah sebagai anak Raden Harjuna." Kisah ini diduga
ada kaitannya dengan upaya R.M. Said untuk mendapatkan legitimasi atas dirinya
sebagai keturunan raja Mataram yang sah. Mengapa dipilih lakon Wijanarka?
Wijanarka adalah anak Raden Harjuna. Menurut mitos Raden Harjuna adalah leluhur
raja-raja Jawa, termasuk raja-raja pertama Mataram.
Meskipun
identifikasi nilai-nilai mitos ini jauh dari kebenaran sejarah, namun peran dan
kedudukan wayang erat kaitannya dengan pengesahan kedudukan raja. Seperti
dikemukakan oleh Kuntowijoyo dalam buku berjudul Budaya dan Masyarakat (1987),
bahwa dalam kategori patrimonial yang ideologinya "kawula gusti"
berlaku norma-norma legitimasi dan memberikan kontrol negara atas masyarakat
dalam bentuk-bentuk simbolis yang berupa babad, tabu, mite dan karya seni yang
dikeramatkan.
Di
samping beberapa dugaan di atas, kehadiran wayang wong dalam sistem budaya
keraton mempunyai sistem nilai dalam pranata ksatria Jawa yang telah kena
pengaruh Hindu dan Islam. Menurut Stutterheim seperti dikutip oleh Burger,
bahwa wayang merupakan suatu khazanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai kesopanan
dan bentuk hidup. Sebagai ekpresi budaya Jawa, wayang memiliki cita rasa hidup
tentang watak dan sikap hidup yang memberi ilham kepada kehidupan pribadi dan
ini patut diteladani. Di sini mengandung citacita yang indah dan halus dari
ksatria yang tak gentar serta tanpa cela, cita-cita kesetiaan kepada raja,
kesederhanaan dan ketabahan hati, serta mampu menahan diri yang sempurna. Oleh
karena itu konsep paham ksatria dalam kebudayaan Jawa bukan sebuah unsur kebudayaan
yang berdiri sendiri, tetapi terjalin erat secara luas dan selaras dalam
hubungan dengan susunan masyarakat yaitu menghubungkan antara dunia makro
kosmos dan mikro kosmos. Kemuliaan keraton Jawa karena pendewaan raja-rajanya
atau raja sebagai titisan dewa, jadi mengandung sifat kemuliaan keagamaan. Maka
cukup beralasan apabila Sri Mangku-negara I sebagai pendiri dinasti
Mangkunegaran mem-bangkitkan kembali nilainilai ksatria dalam wayang.
Berdasarkan
nilai-nilai wayang yang telah diyakini masyarakat Jawa yang erat kaitannya
dengan kemuliaan keagamaan, kiranya pemahaman itu mempunyai daya dukung untuk
melegitimasikan kekuasaannya. Daya dukung yang dimaksud ialah keterkaitan karya
seni yang mampu memberi motivasi dan spirit hidup untuk tujuan politik.
Seperti dikemukakan oleh Duvignaud bahwa dorongan semangat hidup yang
diekspresikan lewat karya seni, sebenarnya merupakan perlambang yang
dimaksudkan untuk melindungi spirit hidupnya untuk beberapa tujuan politik. Di
camping karya seni wayang wong, Sri Mangkunegara I juga mencipta bentuk beksan
bedhaya Anglir Mendung yang temanya mengangkat kisah kepahlawanan Sri
Mangkunegara I yang terkenal mendapat sebutan Pangeran Sambernyawa. Apabila
latar belakang penciptaan bedhaya Anglir Mendhung mengangkat kisah
kepahlawanan Sri Mangkunegara I, maka latar belakang penciptaan wayang wong
menurut R.T. Kusumakesawa dimaksudkan untuk memberi dorongan spirit hidup bagi
perjuangannya melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk
melacak perkembangan wayang wong pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara I
memang sulit mengingat tidak didukung oleh sumber data yang akurat. Namun dapat
diduga perkembangan wayang wong pada waktu masih relatif sederhana. Menurut
teori evolusi perubahan bahwa sesuatu itu berkembang secara berkesinambungan,
teratur dan pasti, dalam proses penyesuaian terhadap lingkungan tertentu.
Berangkat dari teori itu, kiranya perkembangan wayang wong pada face awal
masih menunjukkan tanda-tanda yang masih sederhana. Pertimbangan ini didasarkan
pada situasi sosio-ekonomi, dan politik pada sebuah kerajaan yang baru saja
didirikan. Raja sebagai penguasa tunggal harus lebih banyak mengkonsentrasikan
langkah-langkah kebijaksanaan menurut ukuran Skala prioritas. Secara ekonomis
diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan kas keuangan kerajaan untuk
membiayai anggaran belanja dan pengeluaran kerajaan. Secara politik diperlukan
dana yang besar untuk pembentukan pasukan keamanan. Dukungan politik dalam hal
ini sangat diperlukan untuk menegakkan kewibawaan kekuasannya. Realisasinya dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk simbolis atau praktis pada sistem penyelenggaraan
pemerintahan tradisional. Maka dapat dibayangkan berapa besar dukungan dana
untuk mencapai tujuan politik itu. Adalah logic jika perkembangan wayang wong
baru mengalami tahap pembentukan dan perkembangan awal.
Perkembangan
wayang wong pada masa pemerintahan berikutnya tampak masih tetap menunjukkan
fenomena yang belum jelas karena sedikitnya data, baik semasa pemerintahan Sri
Mangkunegara II maupun Sri Mangkunegara III. Masa pemerintahan Sri Mangkunegara
IV (1853-1881) perkembangan seni sastra maupun seni tari mengalami tingkat
kemajuan yang pesat. Dalam tradisi Mangkunegaran, masa pemerintah Sri
Mangkunegara IV (1853-1881) disebut zaman Kala Sumbaga. 20 Kala berarti waktu
atau zaman, sedang sumbaga berarti termashur.21 Jadi kala sumbaga berarti zaman
kemashuran. Dikatakan demikian karena Sri Mangkunegara IV adalah pembina utama
kemashuran nama serta peletak dasar kekayaan kerabat Mangkunegaran. Pada masa
itu diselenggarakan perkebunan-perkebunan kopi dan tebu hampir di seluruh
wilayah Mangkunegaran, serta didirikan pabrik-pabrik gula di Tasikmadu dan
Colomadu yang masih memproduksi hingga sekarang.
Kemashuran
Sri Mangkunegara IV tidak saja sebagai seorang negarawan dan ekonom, tetapi
juga seorang filosof dan seniman besar. Dalam kedudukannya sebagai seorang
filosof dan seniman, banyak karyanya yang dikagumi. Dalam bidang seni sastra
antara lain: Tripama, Manuhara, Nayakawara, Yogatama, Tamiminta, Pralambang
Lam Kenya, Tafiwara, Rerepan Prayangkara, Rerepan Prayasmara, Sendhon
Langenswara, dan karya yang paling terkenal ialah serat Wedhatama. Dalam bidang
seni tari ialah opera Langendriyan, fragmen-fragmen epos Ramayana dan
Mahabharata, serta Beksan Wireng. Dalam bidang wayang ialah mencipta Kyai Sebet
yaitu wayang kulit pusaka Mangkunegaran dan pergelaran Wayang Madya.
Adapun
ahli tari yang ikut mendampingi Sri Mangkunegara IV selama pemerintahannya
ialah R.M.H. Tandakusuma. Selain sebagai menantu Sri Mangkunegara IV, R.M.H.
Tandakusuma adalah cucu Kanjeng Pangeran Harya Purbonagoro seorang Bupati
Kediri, putra Sri Mangkunegara 1. Karya seni monumental karya R.M.H.
Tandakusuma semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV ialah Langendriya
Mandraswara, yang hingga sekarang masih tetap dilestarikan. Pengabdian R.M.H.
Tandakusuma juga masih tetap berlanjut ketika Sri Mangkunegara V menggantikan
ayahandanya (1881-1896).
Dengan
bantuan R.M.H. Tandakusuma dan para seniman lainnya, Sri Mangkunegara V tidak
saja meneruskan bentuk kesenian yang diwarisinya, tetapi mencoba lebih
memantapkan atau menyempurnakan. Tata busana wayang wong gaya Surakarta yang
berkembang dewasa ini adalah salah satu kreasinya. Menurut Th.B.van Lelyveld
bahwa wayang wong di Istana Mangkunegaran mencapai puncak perkembangannya
ketika Sri Mangkunegara V bertahta, yang ditandai adanya pembakuan
(standarisasi) tata busana wayang wong dengan diilhami tata busana wayang
kulit purwa dan gambar Bima pada relief candi Sukuh. Secara tradisi kreasi tata
busana itu merupakan ciptaan raja yang sedang berkuasa, seperti ditunjukkan
dalam sebuah manuskrip yang berjudul "Pratelan Busananing Ringgit
Tiyang",
"Punika
pretelaning ringgit Hyang purwa akabyan gedhog sabusananipun budha, yasanipun
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Prabu Prangwadana, ingkang kaping lima,
ing nagari Surakarta Hadiningrat".
(Ini
menerangkan wayang wong purwo dan gedhog, beserta busananya budha, ciptaan
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Prabu Prangwodono, yang ke-5, di negara
Surakarta Hadiningrat).
Rupa-rupanya
pembakuan (standarisasi) tata busana wayang wong gaya Surakarta lebih dahulu
daripada pembakuan tata busana wayang wong gaya Yogyakarta yaitu sekitar
perempat abad ke-20 pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
(19231939). Hanya saja perkembangan tata busana wayang wong gaya Yogyakarta
menunjukkan lebih lengkap terutama untuk tokoh kera dan raksasa yang memakai
topeng serta kreasi tata busana binatang.
Masa
kejayaan wayang wong gaya Surakarta tidak terbatas pada bentuk baku tata
busana, tetapi juga pada penciptaan naskah lakon dan pertunjukkannya. Namun
sangat disayangkan akhir masa pemerintahan Sri Mangkunegara V terdapat
tanda-tanda kemunduran akibat pengaruh kemunduran perusahaan perkebunan kopi
yang dilanda hams penyakit dan munculnya komoditi gula bit di Eropa.
Sebagaimana diketahui bahwa masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV merupakan
periode pertumbuhan ekonomi dan kekayaan Kadipaten Mangkunegaran karena pada
waktu itu banyak didirikan perkebunan kopi dan gula, serta pabrik gula
Tasikmadu dan Colomadu. Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara V sebagai
pengganti Sri Mangkunegara IV karena didukung ekonomi yang berlimpah, tidak
mengherankan apabila wayang wong khususnya dan seni tari pada umumnya
mengalami perkembangan yang pesat.
Periode
pemerintahan Sri Mangkunegara VI (1896-1916) merupakan periode kemunduran
kesenian sebagai konsekuensi logis dampak kemorosotan ekonomi Kadipaten
Mangkunegaran masa pemerintahan sebelumnya. Adalah wajar apabila masa
pemerintahannya lebih memprioritaskan stabilitas ekonomi dan politik daripada
stabilitas seni-budaya. Untuk membangun kembali kekayaan Istana Mangkunegaran,
Sri Mangkunegara VI melakukan langkah-langkah kebijaksanaan antara lain :
melakukan terobosan di bidang ekonomi yaitu menyediakan rumah-rumah sewa,
menghapus perkebunan kopi karena tidak mendatangkan keuntungan lagi,
memisahkan kas negara dan kas istana, mengurangi penghasilan menjadi sebesar f
3.000,- untuk dirinya sendiri (Sri Mangkunegara V dulu digaji f 5.000,-),
mendirikan kantor pajak tanah, mengurangi jumlah pasukan Legiun atau bahkan
ada yang dihapuskan, menyederhanakan berbagai kegiatan upacara dan pertunjukan
kesenian (termasuk meniadakan pertunjukan wayang wong). Langkah-langkah itu
dimaksudkan untuk mengadakan penghematan yang lebih ketat sejalan dengan
kebijaksanaan pengawasan keuangan oleh pemerintah Belanda. Di samping itu
dilakukan juga penjualan tambak terbaya dan perkebunan nila di Mayaretna yang
diganti dengan perusahaan besar agar dapat membantu pangan para kerabat Pura
Mangkunegaran.
Dampak
kemorosotan keuangan Istana Mangkunegaran dan langkah kebijaksanaan Sri
Mangkunegara VI membawa arti tersendiri bagi perkembangan wayang wong. Wayang
wong tidak lagi menjadi monopoli di dalam tembok istana, tetapi mengalami
mobilitas budaya menjadi seni pertunjukan kota yang bersifat komersial.
Fenomena penyebaran wayang wong ke luar tembok istana terjadi sekitar tahun
1895, masa terakhir pemerintahan Sri Mangkunegara V. Menurut James R. Brandon
bahwa perkembangan wayang wong sampai tahun 1895 hampir tidak pernah dijumpai
di luar tembok keraton dan pada tahun itu juga sebuah grup wayang wong profesional
pertama didirikan oleh seorang pengusaha Cina yang kaya yaitu bernama Gan
Kam." Dengan demikian tahun 1895 merupakan titik awal perubahan dan penyebaran
wayang wong ke luar tembok istana. Dalam proses pembentukan wayang wong
profesional ini para seniman istana terutama bekas pada abdi dalem wayang wong
mempunyai peranan besar dan strategic mengingat pada waktu itu profesi seniman
relatif terbatas. Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Ringkas Wayang, R.M.
Sayid mengemukakan bahwa pemerintahan Sri Mangkunegara VI yang sedang mengalami
krisis keuangan dalam kebijaksanaan kesenian melakukan nyederhanaan pertunjukan
dan memberhentikan sebagian besar abdi dalem wayang wong. Para bekas abdi
dalem di kampung-kampung mendirikan grup wayang wong atau menjadi anggota grup
wayang wong barangan.
Di
luar istana dalam keduclukannya sebagai seni komersial, wayang wong tidak lagi
pentas di arena pendapa sebagaimana ketika masih di dalam istana atau di rumah
para bangsawan, tetapi pentas pada sebuah panggung berlayar yang lugs relatif
terbatas. Transformasi tata teknik pentas model Eropa ini diperkirakan karena
adanya pengaruh pertunjukan-pertunjukan rombongan kesenian dari Malaysia yang
sedang mengadakan lawatan di Jawa. Namun bentuk panggung prosenium ini
kemungkinan besar juga mendapat pengaruh dari gedung pertunjukan yang didirikan
di pusat kota. Pusat gedung pertunjukan yang kini sebagian besar menjadi gedung
bioskop seperti U.P. Theater, Dhady Theater, Trisaksi Theater (kini menjadi
gedung bank BPD), Fajar Theater, adalah sisa-sisa bangunan panggung prosenium.
Gedung-gedung pertunjukan itu merupakan bagian dari struktur pusat kota yang
meliputi rumah residen, kantor-kantor, gereja, gedung pertunjukan, gedung-gedung
sekolah, toko-toko, dan benteng Vastenburg.
Berangkat
dari pertimbangan bisnis, maka pertunjukan wayang wong hanya dipentaskan di
tempattempat yang ramai seperti pasar malam atau tempat rekreasi umum.
Biasanya sebuah rombongan wayang wong profesional melakukan lawatan ke berbagai
kota di Jawa selama beberapa bulan lamanya. Sebuah bangunan tobong didirikan
yaitu sebuah panggung prosenium dan auiditorium yang dibuat sementara. Para
anak wayang tidur pada kamar-kamar kecil yang dibuat di sekitar panggung.
Namun tidak jarang beberapa rombongan wayang wong profesional menyelenggarakan
pentas rutin di tempat yang permanen, misalnya Wayang wong Sriwedari di
Surakarta, Wayang wong Ngesti Pandawa di Semarang, Wayang wong Bharata di
Jakarta, Wayang wong Sri Wandawa di Surabaya, dan sebagainya. Dalam tulisan
Brandon (1967) diperkirakan berkembang sekitar 20 grup wayang wong profesional
besar yang tersebar di kota-kota besar di Jawa.
B.
Perlengkapan
Kostum dan Rias yang digunakan
Untuk
memberi gambaran yang jelas mengenai bagian-bagian kelengkapan tata busana
wayang wong gaya Surakarta, berikut ini akan diuraikan secara singkat:
1. Irah-irahan
Merupakan kelengkapan tata busana wayang
wong yang berfungsi sebagai penutup kepala dan sekaligus merupakan salah satu
atribut tokoh tertentu yang mempunyai status sosial tertentu. Adapun
macam-macam irah-irahan antara lain :
a. Teropong
yaitu dipakai untuk peran raja kecuali Puntadewa, Gatutkaca, Saleya dan
Duryudana
b. Gelung
yaitu dipakai untuk peran putra alus
luruh dan lanyap serta beberapa
tokoh peran putra gagah seperti Gatutkaca, Setiyaki, Jayajatra, dan Indrajit.
c. Gelung
keeling yaitu dipakai untuk peran putri luruh
dan lanyap
d. Pogokan
yaitu dibagi menjadi pokoageng untuk
Duryudana, pogoktanggung untuk
Antasena dan pogokdhepok untuk
Abimanyu.
e.
Keton yaitu dibagi menjadi keton
biasa untuk peran Adhipati dan keton
keyongan untuk peran Dewa-dewa.
f.
Kera yaitu untuk peran kera yang
dibentuk seperti irah-irahan gelung
g.
Gimbal yaitu peran untuk raksasa
rucah, sedang raksasa patih memakai irah-irahan
pogokan.
h.
Irah-irahan bugis dan irah-irahan
khusus untuk Punokawan.
Warna dasar dasar dari thothok pada
masing-masing irah-irahan tergantung
dari perwatakan tari, misalnya Kresna menggunakan teropong degan warna dominan hitam, Rahwana dan Baladewa
menggunakan warna merah, serta Rama dengan warna hijau.
2.
Sumping
Bentuk sumping pada
dasarnya dibedakan 3 macam, yaitu: sumping untuk putri, sumping untuk peran
putra, dan sumping khusus untuk Werkudara dan Anoman yang dsebut sumping pudak,
sedang sumping untuk peran putra dugangan disebut sumping gajah ngoling.
3.
Kalung
Kalung ada 3 macam,
yaitu: kalung sungsun, kalung ulur, dan kalung kecah. Dalam perkembangannya,
kalung sungsun jarang sekali dipakai dan diganti dengan kalung biasa. Sementara
itu, terjadi pula pemakaian yang salah kaprahi, yaitu kalung ulur dan kalung
kaceh dipakai secara bersama-sama.
4.
Klat Bahu
Klat Bahu dibagi
menjadi 3 macam, yaitu: klat bahu gurda, klat bahu putra (biasa), dan klat bahu
nagabanda yang secara khusus dipakai oleh Werkudara dan Anoman. Namun dalam
pelaksanaannya, sering juga dipakai oleh Dursasana, Kumbakarna, dan Raksasa.
Adapun tokoh dalam wayang wong yang tidak memakai klat bahu ialah Puntadewa,
Dewi Sembadra, dan Dewi Sinta.
5.
Praba
Praba merupakan salah
satu atribut wayang wong yang sebenarnya dipakai oleh tokoh-tokoh yang
mempunyai perbawa / sinar, misalnya Kresna, Rahwana, Baladewa, Adipati Karna,
Gatutkaca, dsb.
6.
Srempang
7.
Mekak
Khusus dipergunakan
oleh peran wanita atau peran putra yang dimainkan oleh wanita.
8.
Kantong Gelung
Menurut tradisi kantong
gelung hanya dipakai untuk peran yang memakai irah-irahan pogok dan untuk
menyimpan rambut peran putra yang dimainkan oleh wanita.
9.
Ilat
Dipakai untuk menutupi
sambungan mekak yang letaknya di tengah dada (khusus untuk peran putrid dan
peran putra yang dimainkan oleh wanita).
10.
Simbar Dhadha (khusus untuk peran putra
gagah)
11.
Srempang (dipakai pada bahu, diampirkan
sampai pinggang kiri)
12.
Sabuk
13.
Epek Timang (khusus untuk peran putra, sedang
ntuk peran putrid disebut slete degan ceplok).
14.
Bara-samir (khusus untuk peran putra)
15.
Kain
Pemakaian kain pada
wayang wong disesuaikan denan karakter tokoh yang dibawakan. Misalnya lereng
barog untuk peran Raja, kain kawung alit untuk emban, kain lereng alit untuk
peran ptri, kain ereng tnggung untuk pera putra, kain poleng untuk peran
Werkudara dan Anoman, kain bintulu untuk peran Raksasa rucah, dan kain kawung
tanggung untuk peran dagelan. Adapun cara pemakaiaannya yaitu berupa wiron
prajuritan / ksatrian untuk peran putra alus luruh dan lanya, supit urang untuk
peran putra gagah, samparan untuk peeran putrid, candingan prajuritan (
cancutan) utuk peran Raja dengan perwatakan tari gagah atau peran putrid
seperti sarpa kenaka, dan mustakaweni serta Srikandi, Rapekan untuk peran
raksasa Raja dan rucah, serta untuk peran dagelan atau dewa.
16.
Uncal Badong
Khusus hanya dipakai
untuk peran putra yang berfungsi sebagai hiasandan sekaligus perisai alat
kelamin.
17.
Gelang
18.
Binggel
19.
Jubah (khusus untuk pendeta dan dewa)
20.
Rumpi (khusus untuk peran cantrik dan
dagean)
21.
Sampur (khusus untuk putra motif
gendaragiri dan putrid samur polos)
22.
Keris (betuk ladragan dan gayaman)
Untuk peran raksasa
rucah, prahasta, mangmungmurka, Kumbakarna, niwata kawaka tidak memakai keris. Keris
gayaman untuk peran pendeta, dewa, sedang keris ladrangan untuk peran putra
alus, dugangan nin raksaa, dan peran putrid terutama non prajurit memakai
patern. Di samping keris, terdapat tokoh terentu, misalnya Pasopati milik
Arjuna, Guanawijaya milik Rama, dsb.
Tata
rias wong menurut jenisnya digolongkan kedalam rias panggung, yaitu rias wajah
yang cenderung memperjelas atau mempertebal garis-garis wajah seperti permukaan
wajah diberi bedak dan rouge lebih tebal, garis mata diperjelas, alis dibuat
lebih tebal,dan sebaginya. Dalam wayang wong tata rias disesuaian dengan
karakterisasi tokoh yang dibawakan yaitu mengacu pada karakterisasi ikonografi
boneka-boneka wayang kulit. Karakterisasi ini dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu : (1) kelompok karakter halus yang memiliki criteria berpawakan kecil dan
langsing, hidung sangat mancung (ambangir), mata berbentuk setengah tertutup
(liyepan), (2) kelompok kararakter yang memiliki tubuh sedang dan kuat, hidung
biasa (sembada), serta mata biasa (kedhelen atau kedhondhongan). (3) kelompok
karakter yang memiliki tubuh besar-tinggi-kuat, hidung besar (dhempok) dan mata
terbuka lebar (thelengan atau plelengan). Setiap kelompok karakter masih dibagi
lagi menurut pandangan wajah serta nada berbicara, yaitu : (1) pandangan wajah
tumungkul (wajah memandang diagonal kebawah), berbicara dengan suara rendah
(nada 6 besar atau 1) (2) pandangan wajah longok (wajah memandang lurus
kedepan), berbicar dengan suara nada tengah (nada 2/3) (3) pandangan wajh
langak (wajah sedikit memandang ketas), berbicara dengan suara nada tinggi
(nada 3/5). Meskipun karakterisasi ikonografis mengacu pada wayang kulit akan
tetapi dalam hal tertentu terutama tentang warna muka wayang kulit tidak ditiru
dalam wayang wong seperti warna hitam dalam tokoh Bima, Gatutkaca, Arjuna dan
sebagainya. Tata rias wayang wong yang dikategorikan dalam tata rias karakter,
sebenarnya dapat dibedakan lagi menjadi 2 yaitu tat arias realistis dan non
realistis. Tata rias realistis pada umumnya dipakai oleh karakter tokoh wayang
yang berwujud manusia, sedang tata rias non realistis hanya berlaku untuk
tokoh-tokoh tertentu seperti peran raksasa. Tata rias peran putri pada
hakikatnya dibedakan untuk peran luruh (oyi) dan peran lanyap, namun dalam
kenyataannya perbedaan itu tidak tampak. Tata rias peran putri bentuk alisnya dibuat memanjang keatas yang disebut
ilatkedhal, mata dibuat garis hitam mengikuti tepi mata atas dan bawah yang
kedua ujungnya bertemu dibentuk runcing seperti wayang kulit, kedua pipi
setelah diberi bedak dipolesi rouge samar-samar, bibir diberi lipstick, dan
godhek berbentuk ngudhup turi. Tata rias peran putra alus yang dibedakan
menjadi alus luluh dan lanyap sebagaimana dalam tata rias peran putrid
sebenaranya tidak ada perbedaan yang prinsip, lebih-lebih pada tradisi transfestite dalam wayang wong terutama
peran alus yang perankan oleh wanita. Bentuk alis cenderung tidak ada
perbedaan, dan perbedaan hanya terdapat pada godhek yaitu ngundhup turi untuk
alus luruh dan alus lanyap yang disebut pangot. Tata rias peran putra madyataya sebenarnya tidak banyak
berbeda dengan tata rias putra agal
dugangan meskipun punya sifat putra alus. Pada karakter ini tata rias pada
unsur alus tetapi alis agal lebih besar, rouge lebih tebal, ada kumis dan
cambang, serta godhek cenderung tebal yang bentuknya berbeda dengan ngudhup
turi atau pangot. Untuk tata rias peran putra agal dibedakan menjadi tiga golongan, tata rias dugangan, kera, dan
kasaran atau raksasa. Rias dugangan sama
seperti tata rias peran madyataya, tetapi rouge cenderug lebih merah, alis
peran madyataya, tetapi rouge cenderung lebih merah, alis dan godhek lebh
tebal, memakai kumis dan cambang, sehingga tampak member kesan galak dan
jantan, misalnya Gatutkaca, Dursasana, dan sebagainya. Tata rias kera gaya
Surakarta tidak memakai topeng seperti wayang wong gaya Yogyakarta, tetapi
wajah muka bagian atas diriasi sesuai dengan karakter kera, sedang bagian bawah
memakai penutup mulut yang disebut cangkeman.
Untuk tata rias putra peran kasaran yaitu peran raksasa. Tata rias raksasa
masuk kategori tat arias non realistis. Bentuknya cenderung menakutkan yaitu
dengan membuat garis-garis wajah diperbesar baik garis mata maupun hidung yang
kontras karena komposisi warna hiam, putih dan merah. Pada mulut secara khusus
memakai cangkemani dengan bentuk gigi
yang besar-besar dan taring disebelah bibir kanan-kiri. Alis hampir tidak
pernah dijumpai pada tat arias raksasa raja yang bentuknya seperti alis dugangan, hidung diberi variasi garis
tebal yang memberi kesan galak, dan bagian bibir bawah kanan-kiri diberi gigi
taring (siung) serta jawes yang
menggambarkan rambut yang tumbuh pada bibir bawah. Baik suing maupun jawes diberi garis hitam yang melingkari
yang disebut kawet. Tata rias lain
pada wayang wong adalah tata rias peran gecul
yang memiliki rias wajah khas yaitu untuk peran Punakawan dan tata rias yang
mempunyai ciri khas yang cenderung jelek seperti Sengkuni, Durna dan Narada.
Untuk tata rias raksasa cakil memakai tata rias dugangan kasaran, tetapi cangkemannya memiliki bentuk yang khas
yaitu rahang bawah maju kedepan dengan dua buah taring yang mencuat keatas,
mata diberi sindhetan dan hidung
serta pipi diberi garis-garis tambahan agar memberi kesan galak.
Adapun
bahan –bahan yang dipakai untuk tata rias Wayang Wong Sriwedari ialah
memanfaatkan bahan-bahan rias tradisional, disamping yang modern. Bahan-bahan
rias tradisional yang dimaksud antara lain: (1) Singwit yaitu bahan rias yang dibuat dari serbuk untuk bahan cat
dengan cara diolah beberapa hari melalui perebusan dan pengeringan, biasanya
warna yang digunakan adalah merah, putih, kuning, hijau, biru dan orange ; (2) langes yaitu bahan rias yang dibuat
gumpalan asap lampu minyak tanah dengan dicampur minyak rambut atau air teh kental
dan gula pasir atau ada juga yang mencampur dengan air tape dan gula pasir; (3)
pidih yaitu alat untuk membuat
garis-garis wajah yang dibuat dari bahan bambu atau rotan yang fungsinya
sebagai pengganti pensil alis. Alat-alat tata rias modern antara lain cleansing milk, foundation, bedak, lipstick,
penil ais dan eye shadow.
C. Alasan Masih Diselenggarakannya
Wayang di GWO Sriwedari
Banyak alasan yang melatarbelakangi
mengapa masih diadakannya wayang orang, salah satunya adalah untuk tetap melestarikan
kebudayaan Surakarta yang sudah mulai tidak digemari oleh para generasi muda
dna terkikis oleh adanya budaya baru. Orang-orang yang masih peduli dan masih
antusias melestarikan kebudayaan ini akan terus berupaya dalam mempertunjukan sesuatu
yang sudah dianggap asing. Jika dilihat dari sejarahnya,wayang orang pertama
kali diperkenalkan di Mangkunegaran, setelah itu penyebaran wayang mulai
merambah ke Yogyakarta, memang pada awalnya orang Cina yang berada di Surakarta
lebih terlihat antusias untuk mempelajari Wayang Orang ini, karena pada saat
itu Cina lebih mendominasi dalam berbagai bidang khususnya budaya dan ekonomi.
Dari situlah, orang-orang yang mengerti sejarah tetap harus menjaga budaya
Wayang ini agar tidak didominasi oleh penduduk asing yang berada di Surakarta.
Alasan mengenai penyelenggaran wayang
orang ini lebih dominan pada pelestarian budaya. Selain itu juga sifat dari
masyarakat Indonesia sendiri yang lebih mudah untuk menerima budaya asing yang
dianggap lebih modern dan lebih menjadi trend di masa sekarang, karena mereka
menganggap kebudayaan wayang seperti itu sudah dianggap kebudayaan kolot dan
tidak sesuai zaman. Para pemain wayang sendiri juga mulai berpikir keras
mengenai bagaimana menarik minat generasi sekarang dengan diselenggarakannya
pertunjukan wayang setiap hari, tetapi walaupun begitu animo masyarakat masih
dibawah standart untuk masuk dalam kategori peminat kebudayaan wayang.
Sebenarnya ada banyak alasan untuk setiap orang agar penyelenggraan wayang ini
dilakukan secara terus-menerus tetapi hanya akan menjadi alasan ketika tidak
ada pengimplementasian dalam upaya pelestarian wayang orang tersebut.
Alasan yang sama juga dikemukakan oleh
pihak yang antusias, yaitu karena tuntutan dalam obyek wisata yang ada di
Surakarta ini. Sungguh mengecewakan jika ada kunjungan baik dari turis domestic
maupun luar negerti yang akan menikmati pertunjukan wayang orang ini tetapi
tidak ada pagelarannya. Jadi alasan
itulah yang juga menjadi perhitungan unuk tetap mengadakan pertunjuka wayang
orang setiap hari. Jika penonton antusias dan memenuhi kursi yang disediakan
maka akan menjadi suplemen tersendiri bagi pemain wayang untuk lebih semangat
dalam menampilkan peran yang dibawakannya.
Banyak cara untuk mengenalkan wayang
orang ini kepada khalayak banyak, tetapi itu juga tergantung dari antusias
masyarakat itu sendiri dalam menanggapi kebudayaan ini. Kecanggihan teknologi
juga tidak henti-hentinya digalakkan untuk mempromosikan kebudayaan terutama
Wayang Orang. Menurut Narasumber yang ikut andil dalam pengenalan wayang ini
juga menambahkan bahwa harus adanya Tim untuk mengenalkan ke berbagai media. Di
era modern ini banyak jejaring sosial yang dimanfaatkan oleh anak muda untuk
ajang promo/jualan secara online, begitu juga pengenalan wayang ini. Dengan
memanfaatkan media sosial sperti facebook, twitter, BBM, dan lain sebagainya
juga menjadi ajang bahwa masih ada pagelaran wayang yang dilakukan setiap hari
di Gedung Wayang Orang Sriwedari yang jika dilihat dari letaknya sangat
strategis yaitu berada di jantung kota Surakarta. Berbagai media Televisi lokal
juga berlomba-lomba menayangkan pagelaran seni wayang orang, misalnya saja saat
hari jadi kota Surakarta atau pada perlombaan seni di kota ini. Salah satu dari
promotor wayang orang ini dengan mencetak dalam bentuk Baliho/Pamfet yang
dipasang didepan rumah, disudut kota yang banyak dilihat oleh orang banyak.
Pengenalan wayang Orang juga bisa
dilakukan dengan adanya perkumpulan wayang orang seindonesia yang melihatkan
keaslian wayang orang dari wilayah masing-masing. Hal itu menjadi point penting
dalam mengenalkan wayang orang Surakarta. Wayang orang mulai menjadi perhatian
ketika di Solo ada suatu acara yang menyangkut tentang kebudayaan tetapi tidak
hanya terbatas pada suat acara, di Solo memang menjadi pusat wisata budaya
sehingga turis local maupun mancanegara bisa melihat kebudayaan Solo setiap
hari.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pelestarian
wayang orang harus tetap digalakkan, agar tidak hilang dalam diri masyarakat
terutama yang berada diwilayah Surakarta. Bisa dilihat dari sejarahnya bahwa
wayang orang merupakan budaya yang mendasar yang dimiki oleh orang berada dalam
lingkup kraton. Pelestarian bisa dilakukan dengan cara tetap mengadakan
pagelaran wayang orang setiap hari seperti yang dilakukan oleh seniman Wayang
Orang yang berada diwilayah Sriwedari. Selain itu juga pemanfaatan tekonologi
yang bisa menjadi sarana untuk memperomosikan kebudayaan wayang orang ini
kepada masyarakat terutama generasi muda yang mulai tidak mengenal dan enggan
untuk ikut andil dalam melestarikan kebudayaan ini. Banyaknya budaya baru yang
membanjiri negara Indonesia inilah yang menjadi pemicu tergesernya rasa
melestarikan di pribadi anak muda.
Dalam pelestarian ini juga didukung oleh
adanya antusias dari seluruh elemen masyarakat sehingga pertunjukan wayang
orang tidak identik dengan dengan pertunjukan untuk orang tua. Sehingga wayang
orang bisa dinikmati oleh semua kalangan, karena tema dari wayang orang itu
sendiri tidak monoton dan juga bisa mengikuti perkembangan jaman.
B.
Saran
Dalam
pelestarian Wayang Orang ini harus ada keterlibatan dan kontribusi dari seluruh
elemen masyarakat Surakarta itu sendiri, karena dengan begitu akan menimbulkan
semangat bagi para pemain Wayang Orang dan Penonton yang tetap bertahan untuk
ikut andil dalam melestarikan kebudayaan yang sudah mulai terkikis oleh
kebudayaan yang bisa dikatakan lebih modern. Selain itu perlu adanya
sosialisasi besar-besaran dan rutin agar generasi muda lebih memahami
pentingnya kebudayaan Wayang agar tidak hilang dan diakui oleh bangsa lain.
Dengan begitu maka Wayang Orang Surakarta tetap ada dan dilestarikan melalui
Pagelaran seni di Gedung Wayang Orang Sriwedari.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber
Lisan :
Hasil
wawancara dengan Mas Purbo (Ndaru) sebagai promoter dalam mempromosikan wayang
di berbagai media.
Hasil
wawancara dengan penonton yang masih memiliki rasa untuk melestarikan
kebudayaan wayang ini.
Hasil
wawancara dengan salah satu PNS yang masih aktif terlibat dalam pertunjukan
Wayang Orang Sriwedari
Sumber
Buku :
Kaplan
David, Manners A Robert. 2002. The Theory
of Culture. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar