Senin, 19 Januari 2015

ALIRAN SOSIOLOGI PRANCIS : EMILE DURKHEIM


1.      Pengantar Karya Durkheim
Aliran sosiologi Prancis diciptakan oleh Emile Durkheim (1858-1917). Diusia muda menjadi mahaguru Sorbonne di Paris pada jurusan Paedagogik. Di Sorbonne tidak hanya berkembang sosiologi dan etnologi tetapi juga filsafat dan ilmu hukum. Tema sentral dalam karya Durkheim adalah mempertanyaan apa yang mempersatukan masyarakat. Masyarakat dibentuk oleh manusia tetapi mempunyai kehidupan sendiri. Sebelum individu dilahirkan, masyarakat sudah ada sehingga masyarakat memberi bahasa dan kerangka-kerangka cara pemikirannya. Kembali ke pertanyaan dari Durkheim soal pertalian dalam masyarakat dalam bukunya tentang pembagian kerja atau tugas sosial. Pertalian atau persatuan didasarkan pada solidaritas para anggota persekutuan. Dalam masyarakat primitive tidak ada pembedaan dan semuanya berpikir serta bertindak sama. Solidaritas adalah hasil emosional yang kuat yang menjadi akibat dari saling kebersamaan. Kebersamaan yang terjalin secara sederhana bisa disebut sebagai solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis hanya terdiri dari masyarakat yang kecil dan tradisional sehingga pembagian kerja atau spesialisasi kerja sangat rendah. Berbeda dengan masyarakat modern yang memiliki tingkat kemajemukan dalam berbagai bidang sehingga dalam masalah pekerjaan sudah ada pembagian kerja berdasarkan keahlian ata pengetahuan. Hal itulah yang disebut solidaritas organis. Pertentangan antara kedua tipe tersebut jelas terwujud dalam dua tipe kewajiban moral.
Bagi Durkehim terdapat pertanyaan lagi mengenai konflik yang ditimbulkan antara individu denagn persekutuannya. Jika persekutuan itu baik maka tidak akan terjadi konflik. Jika terjadi konflik maka ada sebuah anomi yaitu keadaan tanpa aturan yang berarti keadaan sangat kacau. Gagasan kolektif diterima benar oleh individu, tidak menghilangkan kenyataan bahwa individu mendapat gagasan kolektif ini dari luar maupun dari dalam lalu lintas masyarakat. Karena itu fakta sosial tidak boleh dianggap sebagai gagasan tetapi sebagai fakta. Fakta-fakta sosial tunduk pada hukum kausalitas dan kausalitas harus dicari di bidang sosial.   

2.      Bentuk masyarakat yang berkuasa atas pemikiran
Menurut Durkheim pikiran manusia bukan merupakan persoalan logika murni dan pilihan perorangan akan tetapi merupakan persoalan yang sangat dikuasai oleh bentuk masyarakat. Durkheim menjelaskan berdasarkan  bentuk-bentuk religi umat manusia dan bentuk-bentuk klasifikasi yang berbeda-beda. Karangan Durkheim dan Mauss tentang beberapa bentuk klasifikasi primitive. Banyak negara-negara yang menggunakan dasar religi dalam pemikirannya. Seperti contoh negara Australia. Masyarakat terbentuk dua moiety. Di Wakelburra seorang ahli sihir dari moiety Mallera untuk keperluan maginya hanya dapat menggunakan benda-benda Mallera. Kalau ada orang yang meninggal, mayatnya akan dibaringkan diatas sebuah panggung yang dibuat dari batang-batang pohon yang menjadi moiety. Hal ini lebih rumit lagi jika dihubungkan dengan pembagian klan maupun pembagian kosmos. Bagi Durkheim dan Mauss gagasan tersebut masih mempunyai nilai-nilai lain yang lebih dalam. Gagasan tersebut ada kaitannya dengan pembagian moiety dalam klan. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pemikiran mengikiti struktur masyarakat. Menurut Durkheim ilmu pengetahuan timbul dari religi. Ilmu pengetahuan mendapatkan bentuk-bentuk klasifikasi dan kategori. Kategori dari pemikiranya dari religi dan dengan demikian dari bentuk masyarakat. Kategori tersebut adalah produk dari jumlah kelompok (klan) yang kebetulan yang membuat masyarakat menjadi terbagi.
Durkheim berusaha mencari fungsi religi, ia tetap berpegang pada Regels van de Methode. Ia mulai mendefinisikan gejala religi secara zakelijk dan netral. Suatu sistem gagasan tentang kepercayaan dan praktek kepercayaan yang ada hubungannya dengan urusan sakral artinya urusan yang dikhususkan dan terlarang. Obyek religi itu adalah dunia para Dewa artinya masyarakat itu sendiri.

3.      Arti sakral dalam karya para pegikut Durkheim
Menurut Durkheim sakral sebagai hal yang terlarang dan terpisah. Sebagai contoh menurut upacara Veda dan menurut upacara Ibrani. Korban adalah urusan persembahan yang bersifat ajaib. Korban memberi manfaat pada pembawa korban atau untuk kepentingan lembaga diadakan persembahan korban itu. Korban dimusnahkan dalam suatu tindakan dimana tiga tingkat dapat dibedakan :
a.       Masuknya à korban ditempatkan dalam keadaan terpisah dan dilarang berpuasa. Tempat persembahan korban dikuduskan, dikonsekrasi. Korban tidak boleh cacat. Kalau korban itu seekor binatang, binatang itu kadang-kadang dihias atau dimandikan. Kemudian binatang itu diikat didekat mezbah, binatang itu menjadi begitu suci sehingga pembawa korban tidak boleh lagi menyentuhnya. Dalam korban menurut masyarakat Ibrani pembawa korban meletakkan tangannya diatas korban. Di India persembahan korban dikerjakan oleh imam untuk menyatakan hubungan antara pembawa koraban dan korbannya.
b.      Korban itu sendiri à persembahan korban itu merupakan suatu kejahatan dari si penyembelih. Sesudah selesai harus membersihkan diri dengan cara yang mengingatkan kita kepada penebusan dosa seorang penjahat. Sesudah disembelih mulailah korban dibagi, kadang-kadang seluruhnya diberikan kepada dewa, kadang-kadang kepada imam atau dibagi antara imam dengan pembawa korban. Kalau si pembawa korabn mendapat bagian maka harus dimakan ditempat dan waktu itu juga.
c.        Sortie (pemberangkatan) à sisanya dibakar dan tempat persembahan korban dibongkar. Di India, imam dan pembawa korban berkumpul bersama dan membersihkan diri dengan mencuci tangan, suatu tindakan yang mempunyai tujuan ganda yaitu menyucikan kesalahan yang mungkin dilakukan dengan mempersembahkan korban sekaligus suatu tindakan untuk melepaskan kesucian atau keadaan sakral.
Jadi korban digunakan untuk banyak tujuan yang berlawanan. Dipergunakan untuk sakralisasi dan desakralisasi, mengangkut dosa dan mengganjarkan kesucian. Pokok utama ialah persembahan korban itu mempersekutukan dunia yang sakral dan yang profan. Korban yang dianggap sakral maka harus dimusnahkan. Korban sembelihan itu melindungi si pembawa korban dan menebusnya. Korban itu berfungsi sebagai perantara.
Jadi jasa karangan juga tidak terletak dalam pendekatan teoritisnya akan tetapi dalam pelukisan yang jelas tentang gejala bagaimana magi itu menyerupai religi. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa magi ditujukan pada yang profane dan yang kongkret sedangkan religi cenderung terpusat pada cita-cita umum yang sifatnya lebih abstrak.

4.      Les Formes elementaires de la Vie religieuse (Bentuk-bentuk elementer kehidupan religius)
Religi resmi gereja juga mengenal ibadah perorangan yang merupakan bagian dari sistem kepercayaan. Hal ini terjadi pada doa. Sedangkan magi terbatas pada praktek yang ditandai oleh relasi sangat individual antara dukun-pelanggan. Selain itu lebih penting dalam penemuan untuk memisahkan sakral dari profane dan religi. Sebagai titik olak dipilihnya totemisme yaitu religi dari daerah kebudayaan yang paling primitiv didunia sebagai contoh Australia dengan struktur sosial yang lebih sederhana dari tempat yang lain. Totemisme disini tidak hanya hanya menolong klan tetapi juga dalam soal lambang. Sesuatu yang dianggap keramat tidak hanya disebut totem saja tetapi juga lambang dari totem. Lambang-lambang totem biasanya dihias dan disimpan ditempat-tempat rahasia. Pada umumnya klan hidup secara terpisah-pisah dan mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Dari sumber pemujaan totem bisa menyangkut tentang animism maupun pemujaan terhadap dewa-dewa.
Durkheim membedakan kultus negative dan positif. Negative terdiri dari usaha untuk mengadakan tabu. Tujuan dari bentuk kultus ini ialah membuat yang sakral tetap terpisah dari yang profane dan menyiapkan manusia untuk mengadakan kontak dengan sakral melalui penyucian. Bahwa sakral itu harus diidentifikasi dengan kolektivitas sedangkan yang profane dengan individu.

5.      Kritik
Dalam mengkritik terlebih dahulu harus mempelajari teori secara keseluruhan. Didalamnya harus mencakup realisme yang lebih besar sebagai akibat dari keinginan untuk memandang religi sebagai fakta sosial sebagai hal yang harus dipelajari. Penemual lain yang mengatakan bahwa religi mempunyai fungsi yang bernilai sosial. Ritus memperkokoh kesatuan diantara anggota masyarakat denagn mengkaitkan yang sakral dalam masyrakat dan profan dengan individu. Memang pertentangan antara sakral dan profane sama seperti pertentangan antara masyarakat dengan individu yang telah dibawa ke aspek lain, akan tetapi bersamaan itu telah direlatifkan oleh para tokoh bahwa yang sakral itu juga ada pada diri individu. Dengan alasan seperti itu dapat dilakukan kritik terhadap terjadinya religi dari totemisme, definisi tentang sakral, pembatasan mutlak antara kategori sosial dari kategori psikologi, korelasi yang terlalu sempit antara religi dan masyarakat, ketidakmampuan menempatkan magi, pelukisan Durkheim tentang totemisme sebagaimana adanya.

6.      Lucien Levy-Bruhl
Seorang ahli filsafat pada Universitas Sorbonne dalam bidang etnologi yang mengatakan bahwa titik tolak pertentangan antara gagasan kolektif dan gagasan perorangan seperti yang dirumuskan oleh Durkheim, akan tetapi konsekuensinya diterapkan lebih jauh dari Durkheim. Durkheim telah menjelaskan kategori-kategori pemikiran itu sebagai produk pemikiran kolektif akan tetapi dalam mengolah pikiran ini Durkheim tidak memberitahukan adanya perbedaan yang jelas dalam sistem klasifikasi dan perbedaan arti dalam peran yang dipegang oleh emosionalitas. Dalam persekutuan primitive, emosionalitas menentukan bagi pertalian kemasyarakatan (solidaritas). Emosionalitas tersebt dipegang oleh religi yang dalam masyarakat primitive memiliki peran yang lebih besar daripada dalam masyarakat modern dimana solidaritasnya adalah produk dari spesialisasi dan pembagian kerja. Levy memperinci lebih lanjut perbedaan-perbedaan prinsipil dalam mentalitas yang berkaitan dengan emosional yang diduga lebih besar. Ia bertitik tolak dari pengalaman bahwa orang-orang primitive, meskipun dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu yang berpikir hampir sama seperti kita, namun dalam gagasan kolektif mereka itu sama sekali berbeda. Jadi yang menjadi persoalan adalah gagasan kolektif yang cirri-cirinya dapat dikenali karena umum bagi semua anggota persekutuan, diwariskan dalam angkatan ke angkatan, menekan terhadap individu dan menimbulkan rasa hormat, takut, pemujaan terhadap obyeknya.

7.      David dan Mauss tentang kontrak dan hadiah
Seluruh karya Durkheim dan pengikutnya lebih memberi perhatian kepada kondisi dimana solidaritas mekanis dari persekutuan primitive itu terjadi. Semua perhatian telah dipusatkan kepada religi sebagai sarana untuk mengukuhkan ikatan emosional diantara mereka yang dipercaya. Solidaritas karena pembagian kerja (solidaritas organis) baru kemudian mendapat perhatian yang lebih luas. Hal itu terjadi karena seringnya kebersamaan yang ada pada masyarakat primitive karena masyarakat primitive sudah terbiasa dengan masalah hubungan hutang diantara para kelompok sehingga dalam hubungan dapat ditentukan dengan jelas prinsip-prinsip solidaritas lewat saling ketergantungan. Pertukaran hadiah yang berkaitan dengan perkawinan adalah suatu contoh yang amat sesuai.

Masyarakat modern sebagai solidaritas organis tentu saja bahwa daam masyarakat dengan diferensiasi yang kuat, saling ketergantungan. Para ahli sosiologi Prancis menyadarinya dengan baik. Mereka selalu mempertahankan bahwa relasi yang bersifat kontrak itu adalah akibat dari spesialisasi dan pembagian kerja akhirnya bersandar pada ikatan moral. Memenuhi kontrak merupakan suatu kewajiban.