BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Karakter merupakan nilai perilaku
seseorang manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungannya dan kebangsaan yang ada dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan atas agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat. Dasar pembentukan karakter adalah nilai-nilai baik
(energi positif) atau nilai buruk ( energi negatif). Karakter manusia bersifat
tarik menarik antara nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai keburukan Nilai yang
baik yang bersumber pada keyakinan terhadap Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai
yang buruk nilai yag bersumber pada ajaran anti terhadap adanya Tuhan. Local
Wisdom merupakan nilai lokal yang mempunyai nilai tinggi, baik nilai yang
berasal dari leluhur yang diwariskan oleh ajaran-ajaran dan nilai budaya nenek
moyang. Kearifan lokal (Local Wisdom) mempunyai nilai luhur, tinggi, bahkan
internasional.
Karakter baik atau akhlak mulia
merupakan hal yang amat penting dalam membangun sumber daya manusia yang kuat
dan diperlukan pendidikan karakter yang tepat. Oleh karena itu, kepedulian dari
berbagai pihak diperlukan, baik dari pemerintah, masyarakat, keluarga maupun
sekolah. Kondisi ini akan terbangun jika semua pihak memiliki kesadaran bersama
dalam membangun pendidikan karakter. Makalah ini akan menekankan pada Strategi
Pembentukan Karakter.
B. Rumusan
Masalah
1.
Seperti
apa Keteladanan yang dilakukan oleh guru untuk membentuk karakter siswa?
2.
Bagaimana Penanaman atau Penegakan
Kedisiplinan?
3.
Bagaimana cara penanaman Pembiasaan yang
dilakukan guru untuk
membentuk karakter siswa?
4. Bagaimana
peran guru dalam Menciptakan Suasana yang Kondusif?
5. Apa
yang dimaksud Integrasi dan Internalisasi untuk membentuk karakter siswa?
C. Tujuan
Masalah
1. Tujuan Umum dari Penulisan ini
adalah untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter
mengenai Strategi Pembentuan Karakter.
2. Tujuan Khusus dari Penulisan ini
adalah untuk mengetahui :
a.
Keteladanan
b.
Penanaman atau Penegakan Kedisiplinan
c.
Pembiasaan
d. Menciptakan
Suasana yang Kondusif
e. Integrasi
dan Internalisasi
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Keteladanan
1. Pentingnya Keteladanan
Begitu pentingnya
keteladanan sehingga Tuhan menggunakan menggunakan pendekatan dalam mendidik
umatnya melalui model yang harus dan layak di contoh. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa keteladanan merupakan pendekatan pendidikan yang ampuh. Dalam
lingkungan keluarga misalnya, orang tua yang diamanahi berupa anak-anak, maka
harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anak. Orang tua harus bisa menjadi
figur yang ideal bagi anak-anak dan harus menjadi panutan yang bisa mereka
andalkan dalam mengarungi kehidupan ini. Jadi, jika orang tua menginginkan
anak-anaknya rajin beribadah maka orang tua harus juga rajin beribadah juga, sehingga
aktivitas itu akan terlihat oleh anak-anak. Akan sulit untuk melahirkan
generasi yang taat beragama jika kedua orang tuanya sering berbuat maksiat.
Keteladanan memiliki
kontribusi yang besar dalam mendidik karakter. Keteladanan guru dalam berbagai aktivitasnya
akan menjadi cermin bagi siswanya. Oleh karena itu, sosok guru yang bisa
diteladani oleh siswa sangat penting. Guru yang suka dan terbiasa membaca dan
meneliti, disiplin, ramah, berakhlak misalnya akan menjadi teladan yang baik
siswa, demikian sebaliknya pula.
2.
Bisa Diteladani
Seorang guru yang bisa
diteladani adalah seorang guru yang memiliki :
a. Kesiapan untuk Dinilai dan Dievaluasi
Kesiapan untuk dinilai berarti adanya
kesiapan menjadi cermin bagi dirinya maupun orang lain. Kondisi ini akan berdampak
pada kehidupan sosial di masyarakat, karena ucapan, sikap, dan perilaku menjadi
sorotan dan teladan.
b. Memiliki Kompetensi Minimal
Seseorang akan dapat menjadi teladan jika memiliki ucapan, sikap, dan
perilaku yang layak untuk diteladani. Oleh karena itu, kompetensi yang dimaksud
adalah kondisi minimal ucapan, sikap, dan perilaku yang harus dimiliki seorang
guru sehingga dapat dijadikan cermin bagi dirinya maupun orang lain. Demikian
juga bagi seorang guru, kompetensi minimal sebagai guru harus dimiliki agata
dapat menumbuhkan dan menciptkan keteladanan, teruatma bagi peserta didiknya.
c. Memiliki Intergritas Moral
Integritas moral adalah adanya kesamaan antara ucapan dan tindakan atau
satunya kata dan berbuatan. Inti dari integritas moral adalah terletak pada
kualitas istiqomahnya.
3. Guru Sebagai Cermin
Guru yang dapat diteladani
berarti ia dapat juga manjadi cermin bagi orang lain. Cermin secara filosofi
memiliki makna sebagai berikut :
a. Tempat yang Tepat Untuk Introspeksi
Jika kita bercermin, maka kita akan melihat potret diri kita sesuai dengan
keadaan yang ada. Sebagai seorang guru, kita harus siap menjadi tempat mawas
diri, koreksi diri, atau introspeksi. Untuk itu, kita harus siap menjadi
curahan.
b. Menerima dan Menampakan Apa Adanya
Cermin memiliki karakteristik bersedia menerima dan memperlihatkan apa
adanya. Untuk itu, hal ini dapat dimaknai sebagai pribadi yang memiliki
sifat-sifat, seperti sederhana, jujur, dan lain-lain.
c. Menerima dalam Keadaan Apapun dan Kapanpun
Cermin memiliki karakteristik mersedia menerima kapanpun dalam keadaan
apapun. Artinya dalam mendidik harus memiliki sifat-sifat, seperti jiwa
pengabdian, setia, sabar, dan lain-lain.
d. Tidak Pilih Kasih dan Tidak Diskriminatif
Cermin memiliki sifat tidak pernah pilih-pilih, siapa saja yang mau
bercermin pasti diterima. Artinya cermin memiliki sifat tidak pilih kasih,
tidak membeda-bedakan atau tidak pernah diskriminatif. Oleh karena itu, sebagai
guru harus memiliki jiwa mendidik kepada siapapun tanpa pandang bulu, semua
anak (manusia) apapun kondisinya harus dididik, tanpa kecuali. Bahkan kita
tidak dibenarkan memisah-misahkan atau memilih-milih kondisi siswa ekslusif,
tetapi kita dalam mendidik bersifat inklusif.
e. Pandai Menyimpan Rahasia
Cermin tidak pernah memperlihatkan siapa yang telah bercermin kepadanya,
baik yang bercermin itu kondisinya baik atau buruk. Berarti cermin memiliki
sifat pandai menyimpan rahasia berarti dia juga memiliki sifat-sifat seperti,
ukhwah atau persaudaraan, peduli, kebersamaan, tidak menjatuhkan, tidak
mempermalukan orang lain, mengorangkan, dan lain-lain.
B. Penanaman atau Penegakan
Kedisiplinan
Disiplin pada hakikatnya adalah suatu ketaatan yang sungguh-sungguh yang
didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas kewajiban serta berperilaku
sebagaimana mestinya menurut aturan-aturan atau tata kelakuan yang seharusnya
berlaku didalam suatu lingkungan tertentu. Realisasinya harus terlihat
(menjelma) dalam perbuatan atau tingkah laku yang nyata, yaitu perbuatan
tingkah laku yang sesuai dengan aturan-aturan atau tata kelakuan yang
semestinya (Amireodin Sjarif, 1983: 21)
Menanamkan prinsip agar peserta didik memiliki pendirian
yang kokoh merupakan bagian yang sangat penting dari strategi menegakan
disiplin. Dengan demikian, penegakan disiplin dapat juga diarahkan pada
penanaman nasionalisme, cinta tanah air, dan lain-lain
Banyak cara dalam menegakan kedispilinan, terutama di
sekolah. Misalnya dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, guru selalu
memanfaatkan pada saat perjalanan dari sekolah menuju lapangan olahraga, murid
diminta baris secara rapi dan tertib, sehingga tampak kompak dan menarik jika
dibanding dengan jalan sendiri-sendiri. Jika hal ini dapat dilakukan, maka
pengguna jalan akan menghormati dan mempersilakan berjalan terlebih dahulu,
bahkan dapat mengurangi resiko keamanan yang tidak diinginkan.
Penegakan disiplin antara lain dapat dilakukan dengan
beberapa cara, seperti, peningkatan motivasi, pendidikan dan latihan,
kepemimpinan, penerapan reward and punishment, penegakan peraturan.
C. Pembiasaan
Dorothy Law Nolte dalam Dryden dan Vos (2000: 104) menyatakan bahwa anak
belajar dari kehidupannya.
·
Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia belajar memaki
·
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
·
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
·
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia akan menyesali diri
·
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia akan belajar menyesali diri
·
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
·
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
·
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
·
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
·
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
·
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
·
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
·
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
·
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran
dan keadilan
·
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
·
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
·
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam
kehidupan
·
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran
Ungkapan Dorothy Low Nolte tersebut
menggambarkan bahwa anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan yang mengajarinya
dan lingkungan tersebut juga merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan yang
dihadapinya setiap hari. Jika seorang tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya
berbuat baik, maka diharapkan ia selalu melakukan perbuatan baik.
Oleh
karena itu, tanggung jawab orang tua adalah memberikan lingkungan terbaik bagi
pertumbuhan anak-anknya, karenakenangan utama bagi anak-anak adalah kepribadian
ayah-bundanya.
D.
Menciptakan
Suasana yang Kondusif
Pada dasarnya tanggung
jawab pendidikan karakter ada pada semua pihak yang mengitarinya, mulai dari
keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah.
1.
Peran
Semua Unsur Sekolah
Terciptanya suasana
kondusif akan memberikan iklim yang memungkinkan terbentuknya karakter. Oleh
karena itu, berbagai hal yang terkait dengan upaya pembentukan karakter harus
dikondisikan, terutama individu-individu yang ada di sekolah.
Pendidikan karakter harus dilakukan
oleh semua unsur di sekolah Pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab guru
agama, guru bimbingan dan konseling (BK), dan/atau guru kewarganegaraan. Semua
guru harus memiliki sikap peduli dalam mendidik karakter anak. Oleh karena itu,
semua guru harus memiliki sikap proaktif dalam mendidik karakter siswanya.
2.
Kerja
Sama Sekolah dengan Orang Tua
Sejak anak mendaftarkan untuk
memasuki sekolah orang tua diinformasikan mengenai hal-hal yang menjadi
tanggung jawabnya. Perlu ditegaskan lagi bahwa sekolah harus mampu
mengkondisika kepada orang tua untuk melakukan pendampingan atau pembimbingan
terhadap berbagai aktivitas anak baik yang bersifat prefentif maupun kuratif.
3.
Kerja
Sama Sekolah dengan Lingkungan
Sekolah diharapkan
mampu memberikan pengaruh positif terhadap lingkungannya, setidak-tidaknya
keberadaan sekolah itu tidak menjadi masalah atau beban masyarakat.
E.
Integrasi
dan Internalisasi
Pendidikan
karakter membutuhkan proses internalisasi nilai-nilai. Untuk itu diperlukan
pembiasaan diri untuk masuk ke dalam
hati agar tumbuh dari dalam. Nilai-nilai karakter seperti menghargai orang
lain, disiplin, jujur, amanah, sabar, dan lain-lain dapat diintegrasikan dan
dinternalisasikan ke dalam seluruh kegiatan sekolah baik atau dalam kegiatan intrakulikuler
dan kegiatan lain.
Pentingnya pndidikan atau
pembelajaran terintegrasi atau terpadu didasarkan pada beberapa asumsi dan
dasar pemikiran sebagai berikut.
Pertama,
fenomena yang ada tidak berdiri sendiri. Fenomena atau fakta yang ada di
dalam kehidupan dan di lingkungan kita selalu terkait dengan fenomena atau
aspek lain. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa fenomena yang ada selalu
berintegrasi dengan aspek-aspek lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
adanya saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara fenomena satu dengan
yang lain. Oleh karena itu, fenomena tersebut dapat dipandang sebagai suatu
sistem, kesatuan, dan keterpaduan. Implikasi dan kondisi tersebut adalah bahwa
dalam memandang dan mengkaji suatu fenomena harus dikaitkan dengan konteks yang
ada.
Kedua,
memandang objek sebagai keutuhan. Oleh karena fenomena yang ada tidak
berdiri sendiri dan terkait dengan aspek-aspek lain, maka dalam memandang dan
mengkaji suatu objek kajian harus secara utuh dan tidak secara parsial. Jika
hal ini yang dijadikan pendekatan, maka akan berimplikasi bahwa dalam dalam
mengkaji dan menyikapi objek kajian harus bersifat holistik, artinya berbagai
aspek yang terkait dengan objek tersebut juga harus menjadi objek kajian.
Ketiga,
tidak dikotomi. Jika objek kajian dipandang sebagai fenomena yang tidak
berdiri sendiri dan sekaligus merupakan suatu keutuhan, maka objek kajian
tersebut tidak dapat dipisahkan atau didikotomikan.
Pendekatan pelaksanaan pendidikan
karakter sebaiknya dilakukan secara terintegrasi dan terinternalisasi ke dalam
seluruh kehidupan sekolah. Terintegrasi, karena pendidikan karakter memang
tidak dapay dipisahkan dengan aspek lain dan merupakan landasan dari seluruh
aspek termasuk seluruh mata pelajaran. Terintenalisasi, karena pendidikan
karakter harus mewarnai seluruh aspek kehidupan.
Adapun
lngkah-langkah pengintegrasian adalah :
a) Mendeskripsikan
kompetensi dasar tiap mata pelajaran
b) Mengidentifikasikan
aspek-aspek atau materi-materi pendidikan karakter yang akan diintegrasikan ke
dalam mata pelajaran
c) Mengintegrasikan
butir-butir ppendidikan karakter ke dalam kompetensi dasar (materi pembelajaan)
yang dipandang relevan atau ada kaitannya
d) Melaksanakan
pembelajaran
e) Menentukan
metode pembelajaran
f) Menentukan
evaluasi pembelajaran
g) Menentukan
sumber belajar
Adapun
beberapa catatan dalam implementasi
a) Perlu
diingat bahwa yang diintegrasikan/diinternalisasikan adalah konsep atau nilai
dari pendidikan karakter
b) Kemungkinan
tidak semua kompetensi dasar dapat diintegrasikan/diinternalisasikan
c) Agar
tidak terlalu membebani mata pelajaran yang diintegrasikan/diinternalisasikan,
maka dapat dirancang kira-kira butir-butir yang akan
diinternalisasikan/diintegrasikan maksimal beberapa persen
d) Agar
tidak terjadi tumpang tundih, maka perlu diadakan cross check dengan mata
pelajaran sain dan juga dengan mata pelajaran yang sama tetapi berbeda jenjang
kelasnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam lingkungan keluarga misalnya, orang
tua yang diamanahi berupa anak-anak, maka harus menjadi teladan yang baik bagi
anak-anak. Orang tua harus bisa menjadi figur yang ideal bagi anak-anak dan
harus menjadi panutan yang bisa mereka andalkan dalam mengarungi kehidupan ini.
Jadi, jika orang tua menginginkan anak-anaknya rajin beribadah maka orang tua
harus juga rajin beribadah juga, sehingga aktivitas itu akan terlihat oleh
anak-anak. Akan sulit untuk melahirkan generasi yang taat beragama jika kedua
orang tuanya sering berbuat maksiat.
Disiplin pada hakikatnya adalah suatu
ketaatan yang sungguh-sungguh yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan
tugas kewajiban serta berperilaku sebagaimana mestinya menurut aturan-aturan
atau tata kelakuan yang seharusnya berlaku didalam suatu lingkungan tertentu.
Oleh karena itu, tanggung jawab
orang tua adalah memberikan lingkungan terbaik bagi pertumbuhan anak-anknya,
karenakenangan utama bagi anak-anak adalah kepribadian ayah-bundanya.
B.
Saran
Sebagai
mahasiswa jurusan pendidikan harus mengerti mengenai karakter pada peserta
didik dengan latar belakang yang berbeda-beda sehingga kita sebagai calon
pendidik mulai mengajarkan karakter sebagai pondasi anak untuk bertingkah laku
di kehidupan keluarga, masyarakat dan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber
Buku :
Hidayatullah, Furqon. 2010.
Pendidikan Karakter : Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta : Yuma Pustaka
Sumber Jurnal :
Lista Wahyuni. PENGIMPLEMENTASIAN
PENDIDIKAN KARAKTER OLEH GURU SEJARAH. Program Studi
Pendidikan Sejarah, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Malang Jl. Semarang no 5 Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar